Sabtu, 19 Juli 2014

Netralitas Media Massa

                                            Netralitas Media Massa

Otjih Sewandarijatun  ;   Alumnus Universitas Udayana, Bali
HALUAN,  18 Juli 2014
                                                


Sebelum, menjelang, dan setelah pelak­sanaan Pilpres 2014 yang berjalan dengan aman dan lancar serta diyakini berbagai kalangan sudah berjalan sesuai dengan koridor demokrasi, karena kurangnya kecurangan, telah melegakan kita semua sebagai anak bangsa.

Sebab, sebenarnya tidak mudah untuk menyelenggarakan pilpres yang diikuti hampir 190 juta orang pemilih tersebut. Indonesia sekali lagi dengan keberhasilan pilpres ini juga telah menunjukkan sebagai negara paling demokratis di dunia dan negara yang paling berhasil dalam mengelola perbedaan dan kemajemukan.

Padahal sebelum dan menje­lang serta mungkin setelah pilpres ini, masih diwarnai dengan sejumlah media massa partisan. Termasuk yang paling kasar permainannya adalah di media sosial (blogger, twitter, youtube, path, dll).
Media-media ini terlalu indah dan terlalu agung jika dikelom­pokkan sebagai media, karena mereka sebenarnya tidak menga­kar dan tidak mengangkat kredo jurnalistik atau khittah jurna­listik yang diyakini berbagai kalangan jurnalis adalah untuk kepentingan publik. Beberapa media partisan termasuk lem­baga survei partisan mempunyai kredo politik tergantung siapa yang membayar.

Pers Harus Netral

Belakangan ini ramai dibica­rakan masyarakat maupun dalam pembahasan Dewan Pers tentang dua stasiun televisi swasta yang terkesan tidak netral dalam hal pemberitaan, sehingga menyebabkan kenet­ralan media elektronik itu dipertanyakan. Padahal institusi media tersebut merupakan bagian dari pers sebagaimana yang dikenal dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Pers pada hakikatnya adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melak­sanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia, sesuai pasal 1 angka 1 UU tersebut.

Mengingat media massa sebagai bagian dari pers, harusnya mampu bersikap netral dalam melakukan pembe­ritaan, terlebih-lebih yang berkenaan dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun kenyataannya tidak demikian. Ada media yang tak seimbang porsinya dalam memberitakan pasangan capres dan cawapres yang cenderung memihak pada salah satu pasangan calon. Hal ini tentu melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Ketika kita melihat tayangan dua stasiun televisi berita yang terkesan “melunturkan” nilai-nilai independensi tersebut, kita tentu menilai pemilik media itu memiliki kepentingan, sehingga prinsip etika jurnalisme dilangg­ar. Padahal media harus menjaga “jarak” sehingga ia benar-benar terjaga dari sebuah kepentingan politik yang semu.

Hal yang sama juga saat kita melihat tulisan tajuk sebuah media cetak nasional (bahasa Inggris) yang memihak capres tertentu. Adalah sebuah fakta, media mulai berpihak.

Di zaman sekarang, peran media banyak dipengaruhi oleh pemilik modal atau pemilik media itu sendiri. Nah, apabila pemilik modal terlibat langsung dalam politik, bahkan terang-terangan menjadi pendukung salah satu pasangan capres, maka perusahaan media ter­masuk wartawannya wajib pendukung capres dimaksud.

Namun, sesuai pasal 1 KEJ dijelaskan bahwa wartawan Indonesia ber­sikap inde­pen­den, meng­ha­silkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Dalam penjelasan pa­sal tersebut dise­butkan bahwa yang disebut de­ngan independen ada­lah mem­be­ritakan peris­tiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nu­rani tan­pa campur ta­ngan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pe­milik peru­sahaan pers.

Selain menjunjung tinggi prinsip jurnalistik, KEJ dan menghormati hukum serta nilai-nilai demokrasi, pers Indonesia harusnya selalu mengedepankan prinsip akurasi, verifikasi dan kehati-hatian terutama pada hal-hal yang berpotensi menim­bulkan perpecahan, atau konflik di masyarakat serta menghindari penyebarluasan fitnah dan kebencian.

Bagaimanapun, netralitas adalah garda terdepan yang harus menjadi bagian dari pemberitaan media, sehingga dengan adanya netralitas tersebut, pertanggungjawaban media bisa menjadi jelas.

Namun sebaliknya bila media sudah tidak netral, maka media tersebut bukanlah wahana yang mencerdaskan dan menjaga kode etik, tetapi media yang berpihak demi sebuah kepentingan yang bersifat sesaat, sementara menjaga netralitas pemberitaan jauh lebih bermanfaat bagi kepentingan publik.

Menerka Nasib Media Partisan

Pasca Pilpres 2014, perta­nyaan mendasar bagi kalangan masyarakat yang awam adalah bagaimana nasib media partisan dan lembaga survei partisan. Apakah mereka akan gulung tikar? Mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat? Atau menjadi “common enemy”? Menarik untuk terus diikuti, disaksikan dan dianalisis.

Kita sendiri sudah menge­tahui dari berbagai pemberitaan media massa, “isi hati” kalangan media massa yang tertulis dalam editorial atau tajuk rencananya, bahkan secara terang-terangan sikap media massa tertentu yang mendu­kung salah satu calon tertentu. Kedua pasangan diakui atau tidak sama-sama melakukan psywar, cipta opini bahkan melakukan pendidikan politik yang kurang mencer­minkan peradaban budaya dan warisan bangsa sebelumnya, karena masing-masing sudah “jumawa” dan mereka lupa dengan salah satu prinsip agung yaitu “menang tanpo ngasorake”.

Yang hampir dapat dipas­tikan nasib media-media partisan tersebut, termasuk lembaga survei partisan, akan men­dapatkan sanksi sosial ataupun bahkan menjadi com­mon enemy dan “getah politik” akibat ketidaknetralannya.

Termasuk media-media partisan yang mendukung salah satu capres-cawapres yang nanti pada 22 Juli 2014 diumumkan sebagai pemenang, juga akan menjadi sorotan publik terutama terkait “kue apa yang diperoleh media-media partisan dan lembaga partisan tersebut dari capres-cawapres yang didu­kungnya dan ke­betulan me­nang”. Pertanyaan berikutnya adalah apakah media-media partisan tersebut akan mampu bersikap terus kritis atau malah menjadi oposisi jika “keterlibatan dan dukungannya” selama pilpres, tidak diapresiasi atau tidak digubris oleh presiden dan wapres yang didukungnya. Serta apakah publik masih patut dan layak memercayai media-media partisan ini yang menurut penulis sudah menang­galkan prinsip-prinsip cover both sides selama dalam pemberitaan terkait dengan pilpres.

Yang pasti, media partisan tersebut apakah dari kubu pasangan 1 atau pasangan 2, sebenarnya dengan sikap partisan dan keberpihakannya tersebut sudah tidak layak membesarkan dan meng­agung­kan bahkan meng­klaim tetap mengusung atau menghormati kredo jurnalistik yang semata-mata ditujukan untuk kepen­tingan publik.

Media partisan yang mendu­kung pasangan no 1 atau pasangan no 2 sejatinya tidak pantas mengklaim masih memiliki kredo atau khittah jurnalistik yang indah tersebut. Dan diakui atau tidak, mereka telah mencemarkan kebebasan pers selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar