Netralitas
Media Massa
Otjih Sewandarijatun ;
Alumnus Universitas Udayana, Bali
|
HALUAN,
18 Juli 2014
Sebelum, menjelang, dan setelah pelaksanaan Pilpres 2014 yang berjalan
dengan aman dan lancar serta diyakini berbagai kalangan sudah berjalan sesuai
dengan koridor demokrasi, karena kurangnya kecurangan, telah melegakan kita
semua sebagai anak bangsa.
Sebab, sebenarnya tidak mudah
untuk menyelenggarakan pilpres yang diikuti hampir 190 juta orang pemilih
tersebut. Indonesia sekali lagi dengan keberhasilan pilpres ini juga telah
menunjukkan sebagai negara paling demokratis di dunia dan negara yang paling
berhasil dalam mengelola perbedaan dan kemajemukan.
Padahal sebelum dan menjelang
serta mungkin setelah pilpres ini, masih diwarnai dengan sejumlah media massa
partisan. Termasuk yang paling kasar permainannya adalah di media sosial
(blogger, twitter, youtube, path, dll).
Media-media ini terlalu indah
dan terlalu agung jika dikelompokkan sebagai media, karena mereka sebenarnya
tidak mengakar dan tidak mengangkat kredo jurnalistik atau khittah jurnalistik
yang diyakini berbagai kalangan jurnalis adalah untuk kepentingan publik.
Beberapa media partisan termasuk lembaga survei partisan mempunyai kredo
politik tergantung siapa yang membayar.
Pers Harus Netral
Belakangan ini ramai dibicarakan
masyarakat maupun dalam pembahasan Dewan Pers tentang dua stasiun televisi
swasta yang terkesan tidak netral dalam hal pemberitaan, sehingga menyebabkan
kenetralan media elektronik itu dipertanyakan. Padahal institusi media
tersebut merupakan bagian dari pers sebagaimana yang dikenal dalam UU Pers
No. 40 Tahun 1999.
Pers pada hakikatnya adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia, sesuai
pasal 1 angka 1 UU tersebut.
Mengingat media massa sebagai
bagian dari pers, harusnya mampu bersikap netral dalam melakukan pemberitaan,
terlebih-lebih yang berkenaan dengan pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Namun kenyataannya tidak demikian. Ada media yang tak seimbang
porsinya dalam memberitakan pasangan capres dan cawapres yang cenderung
memihak pada salah satu pasangan calon. Hal ini tentu melanggar Kode Etik
Jurnalistik (KEJ).
Ketika kita melihat tayangan
dua stasiun televisi berita yang terkesan “melunturkan” nilai-nilai
independensi tersebut, kita tentu menilai pemilik media itu memiliki
kepentingan, sehingga prinsip etika jurnalisme dilanggar. Padahal media
harus menjaga “jarak” sehingga ia benar-benar terjaga dari sebuah kepentingan
politik yang semu.
Hal yang sama juga saat kita
melihat tulisan tajuk sebuah media cetak nasional (bahasa Inggris) yang
memihak capres tertentu. Adalah sebuah fakta, media mulai berpihak.
Di zaman sekarang, peran media
banyak dipengaruhi oleh pemilik modal atau pemilik media itu sendiri. Nah,
apabila pemilik modal terlibat langsung dalam politik, bahkan terang-terangan
menjadi pendukung salah satu pasangan capres, maka perusahaan media termasuk
wartawannya wajib pendukung capres dimaksud.
Namun, sesuai pasal 1 KEJ
dijelaskan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan
berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Dalam penjelasan
pasal tersebut disebutkan bahwa yang disebut dengan independen adalah memberitakan
peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan,
paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Selain menjunjung tinggi
prinsip jurnalistik, KEJ dan menghormati hukum serta nilai-nilai demokrasi,
pers Indonesia harusnya selalu mengedepankan prinsip akurasi, verifikasi dan
kehati-hatian terutama pada hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan,
atau konflik di masyarakat serta menghindari penyebarluasan fitnah dan
kebencian.
Bagaimanapun, netralitas adalah
garda terdepan yang harus menjadi bagian dari pemberitaan media, sehingga
dengan adanya netralitas tersebut, pertanggungjawaban media bisa menjadi
jelas.
Namun sebaliknya bila media sudah
tidak netral, maka media tersebut bukanlah wahana yang mencerdaskan dan
menjaga kode etik, tetapi media yang berpihak demi sebuah kepentingan yang
bersifat sesaat, sementara menjaga netralitas pemberitaan jauh lebih
bermanfaat bagi kepentingan publik.
Menerka Nasib Media
Partisan
Pasca Pilpres 2014, pertanyaan
mendasar bagi kalangan masyarakat yang awam adalah bagaimana nasib media
partisan dan lembaga survei partisan. Apakah mereka akan gulung tikar?
Mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat? Atau menjadi “common enemy”? Menarik untuk terus diikuti, disaksikan dan
dianalisis.
Kita sendiri sudah mengetahui
dari berbagai pemberitaan media massa, “isi hati” kalangan media massa yang
tertulis dalam editorial atau tajuk rencananya, bahkan secara terang-terangan
sikap media massa tertentu yang mendukung salah satu calon tertentu. Kedua
pasangan diakui atau tidak sama-sama melakukan psywar, cipta opini bahkan melakukan pendidikan politik yang
kurang mencerminkan peradaban budaya dan warisan bangsa sebelumnya, karena
masing-masing sudah “jumawa” dan mereka lupa dengan salah satu prinsip agung
yaitu “menang tanpo ngasorake”.
Yang hampir dapat dipastikan
nasib media-media partisan tersebut, termasuk lembaga survei partisan, akan
mendapatkan sanksi sosial ataupun bahkan menjadi common enemy dan “getah politik” akibat ketidaknetralannya.
Termasuk media-media partisan
yang mendukung salah satu capres-cawapres yang nanti pada 22 Juli 2014
diumumkan sebagai pemenang, juga akan menjadi sorotan publik terutama terkait
“kue apa yang diperoleh media-media
partisan dan lembaga partisan tersebut dari capres-cawapres yang didukungnya
dan kebetulan menang”. Pertanyaan berikutnya adalah apakah media-media
partisan tersebut akan mampu bersikap terus kritis atau malah menjadi oposisi
jika “keterlibatan dan dukungannya” selama pilpres, tidak diapresiasi atau
tidak digubris oleh presiden dan wapres yang didukungnya. Serta apakah publik
masih patut dan layak memercayai media-media partisan ini yang menurut
penulis sudah menanggalkan prinsip-prinsip cover both sides selama dalam pemberitaan terkait dengan pilpres.
Yang pasti, media partisan
tersebut apakah dari kubu pasangan 1 atau pasangan 2, sebenarnya dengan sikap
partisan dan keberpihakannya tersebut sudah tidak layak membesarkan dan mengagungkan
bahkan mengklaim tetap mengusung atau menghormati kredo jurnalistik yang
semata-mata ditujukan untuk kepentingan publik.
Media partisan yang mendukung
pasangan no 1 atau pasangan no 2 sejatinya tidak pantas mengklaim masih memiliki
kredo atau khittah jurnalistik yang indah tersebut. Dan diakui atau tidak,
mereka telah mencemarkan kebebasan pers selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar