Sabtu, 19 Juli 2014

Demokrasi Dibajak Raja-Raja Kecil

                         Demokrasi Dibajak Raja-Raja Kecil

Rikson Pandapotan Tampubolon  ;   Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik;
Tinggal di Medan
OKEZONENEWS,  17 Juli 2014
                                                


Istilah “raja-raja kecil” yang dialamatkan kepada para kepala daerah, baik itu di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota pascakebijakan otonomi daerah, menyisakan kisah yang sama suramnya dalam pesta demokrasi—Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014—yang baru kita gelar. Pesta demokrasi yang harusnya berjalan langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Sialnya, telah dibajak oleh raja-raja kecil yang berkuasa di daerahnya, tentunya untuk memenuhi syahwat berkuasa.

Disinyalir banyak kepala daerah yang menyalah-gunakan kekuasaanya (abuse of power) untuk mendukung dan memenangkan calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) afiliasinya. Pegawai negeri sipil yang harusnya netral dalam politik praktis digunakan untuk mendukung caleg atau parpol tertentu. Mulai dari pejabat eselon daerah sampai ketingkat pengurus desa dimobilisasi untuk kepentingan politik praktis kepala daerah. Posisi, jabatan dan uang dijadikan “senjata” untuk memaksakan kehendak kepala daerah.

Para kepala daerah yang haus akan kekuasaan, sibuk merancang dinasti politik didaerahnya agar semakin kokoh dan besar. Motifnya, segenap sanak saudara/kerabat dijadikan banteng-banteng politik di jabatan strategis pemerintahan guna mengamankan kekuasaan. Sehingga kelak, tak satupun yang bisa menembus empuknya kursi pemerintahan, kecuali seizin oleh pemilik dinasti.

Rakyat hanya bisa menjadi penonton, tanpa bisa melawan tirani dinasti politik. Rakyat hanya bisa menggerutu, mengumpat tanpa bisa protes sebab semua komponen pengawas dan hukum pun telah dibajak/dibeli oleh sang raja kecil. Inilah yang akan terjadi bila oligarki politik tumbuh subur, mengurat, mengakar di suatu daerah apabila tidak ada perlawanan yang berarti buat benih tirani politik ini.

Sejarah oligarki/dinasti politik tidak akan abadi. Sejarah akan mengutuk rezim yang memperdaya rakyat dengan kekuasaannya. Keruntuhan era Soeharto adalah contoh dari sekian banyak kejatuhan politik dinasti. People power akan siap menanti untuk “turun kejalan”, bila perubahan menghendaki. Begitupun, peran media sebagai pilar demokrasi seyogianya senantiasa menjadi musuh atas tiran yang membangun dinasti.

Lord Acton, pemikir sejarawan politik dalam ungkapan populernya pernah mengatakan “Power tend corrupt”. Artinya, kekuasaan cenderung korup. Bahkan, Lord Acton akhirnya (hampir) sampai pada kesimpulan bahwa, kekuasaan mutlak korup. Selanjutnya dia berkata “…and absolute power corrupt absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority; still more when you superadd the tendency of the certainty of corruption by authority”. Melihat bagaimana empuknya kekuasaan sering membuat orang “lupa diri”.

Untungnya, demokrasi menawarkan antitesa terhadap syahwat berkuasa yang berlebihan. Demokrasi menawarkan prinsip check and balances atas setiap kekuasaan. Demokrasi selaras dengan Lord Acton, menerima dalil apabila kekuasaan tidak diawasi, rentan untuk menyimpang. Untuk itulah, Negara ini mengamanahkan agar harus ada unsur pengawas untuk setiap kekuasaan. Misalnya, konsep politik trias politika—eksekutif, legislatif dan yudikatif--sebagai upaya pemisahan kekuasaan untuk menghindarkan penyalagunaan kekuasaan.

Namun, kepiawaian para pemburu kekuasaan harus kita akui tak kalah liciknya. Tidak hanya mengamankan dinasti politiknya dalam fungsi penyelenggara Negara (eksekutif), tetapi juga berusaha sekuat tenaga untuk membajak fungsi pengawasan—melalui orang perwakilannya alias kerabat dekat/saudara--. Dan bila perlu,—untuk lebih memantapkan kekuasaanya—apabila diperlukan membeli aparat penegak hukum. Kalau sudah demikian, keruntuhan demokrasi telah dekat.

Modus Pembajakan

Harus kita akui pesta demokrasi yang pertama—yang kedua, Pileg 9 Juli 2014--tahun ini, boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu secara nasional. Banyak kecurangan dan pelanggaran yang terjadi di sejumlah daerah yang bersifat massif, sistematis, struktural dan cenderung brutal. Praktik money politic banyak kita jumpai dimana-mana dan seakan tak kuasa menahannya. Motifnya juga bermacam-macam, mulai dari pemberian uang (cash), pemberian kartu asuransi, voucher pulsa, pemberian sembako, sampai pemberian program yang mendompleng program pemerintah dan lain sebagainya.

Pelanggaran itu terjadi baik itu sebelum hari pemilihan dan sesudahnya. Mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang rentan pencoblosan illegal, sampai proses penghitungan (rekapitulasi) di Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) sampai ke KPU daerah dan pusat yang ramai dengan isu jual-beli suara.

Contoh kasus lain yang bisa kita amati, hasil evaluasi pileg kemarin. Nias Selatan, sebuah pulau yang terletak dibagian paling barat Indonesia, yang sering luput dari perhatian nasional, berhasil mencuri perhatian. Bukan karena tentang bencana alam apalagi tentang prestasi daerah, melainkan kekacauan pelaksanaan pileg yang demikian massif dan ditengarai pelanggaran sistematis dan terstruktur.

Perangkat penyelanggara pemilu Nias Selatan dituding beberapa kalangan memiliki “kedekatan” yang tidak biasa dengan kepala daerah. Modus yang sama, jamak digunakan para kepala derah untuk meloloskan keluarga/kerabat kepala daerah menjadi anggota legislatif. Yaitu dengan cara membajak penyelenggara Negara, baik itu Komisi Penyelenggara Umum Daerah (KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) daerah, sampai ketingkat pelaksana di TPS.

Modus pembajakan penyelenggara pemilu daerah dicurigai dimulai dari pemilihan Tim Seleksi (Timsel) yang sudah diatur sedemikian rupa, agar kepala daerah bisa mengarahkan hasil seleksi, tentunya dengan memanfaatkan jasa para akademisi/tokoh bayaran dalam timsel. Atau, memasukkan orang-orang pilihan kepala daerah yang ikut bertarung memperebutkan jabatan penyelenggara. Sampai, mengajak penyelenggara pemilu terpilih untuk “kerjasama” atau membayar penyelenggara tersebut apabila mau ikut “aturan main” kepala daerah.

Fenomena pembajakan demokrasi oleh raja-raja kecil (kepala daerah) rupanya bukan hal yang baru dan jamak terjadi. Sedikitnya ada 13 gubernur patut diduga “bermain” dalam pelaksanaan pemilu. Hal ini dicatat oleh salah satu lembaga pemantau pemilu independen yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang telah disertifikasi oleh KPU RI.

Misalnya saja, Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), Sinyo Harry Sarundajang yang ketiga anak kandungnya, masing-masing Vanda Sarundajang terpilih menjadi anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sulut, Fabian Sarundajang terpilih menjadi anggota DPD RI dapil Sulut dan Eva Sarundajang terpilih menjadi anggota DPRD Sulut dapil Bitung-Minahasa Utara.

Anehnya lagi, kisah anak Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang kini ditahan tersangkut kasus korupsi di KPK, dua anaknya sukses melanggeng ke Senayan. Masing-masing Andhika Hazrumy menjadi anggota DPR RI dan Andara Aprilia Hikmat menjadi anggota DPD RI. Selebihnya, Gubernur Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan.

Kedaulatan Rakyat

Sulitnya membayangkan bagaimana nasib parlemen kita ke depan, apabila caleg-caleg yang terpilih kebanyakan melalui proses yang tidak benar atau korup. Dikhawatirkan orientasi pengabdian parlemen akan digantikan dengan kesibukan mengembalikan modal kampanye atau ongkos politik. Kinerja dewan akan menjadi taruhan dari proses demokrasi yang tidak matang.

Pesta demokrasi sejatinya adalah kedaulatan rakyat seutuhnya. Rakyat yang berdaulat harus mampu menjadi “hakim” atas penjahat-penjahat demokrasi. Rakyat tidak boleh apatis apalagi permisif terhadap pelanggaran pemilu. Pesta demokrasi yang baru saja selesai digelar ini harus jadi pembelajaran politik, agar tidak terulang di pesta demokrasi berikutnya.

Kepala daerah harus dibatasi kewenangannya untuk melakukan intervensi terhadap pelaksanaan pemilu (profesionalisme). Ditambah lagi, penyelenggara pesta demokrasi KPU dan Bawaslu harus tetap independen dan menindak secara tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Begitupun, aparat penyelenggara yang ada di daerah. Seleksi dalam penerimaan penyelenggara Negara juga harus diseleksi secara ketat dan transparan agar publik diberikan kesempatan untuk berpartisipasi menilai calon penyelenggara.

Mari kita lawan tirani yang menghendaki kekuasaan yang absolut. Rakyat harus ekstra mengawasi tingkah para raja-raja kecil di daerah. Demokrasi yang sehat adalah idaman kita semua untuk melaksanakan pesta demokrasi yang hebat dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar