Demokrasi
Dibajak Raja-Raja Kecil
Rikson Pandapotan Tampubolon ;
Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik;
Tinggal di Medan
|
OKEZONENEWS,
17 Juli 2014
Istilah “raja-raja kecil” yang dialamatkan kepada para kepala
daerah, baik itu di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota pascakebijakan
otonomi daerah, menyisakan kisah yang sama suramnya dalam pesta
demokrasi—Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014—yang baru kita gelar.
Pesta demokrasi yang harusnya berjalan langsung, umum, bebas, jujur dan adil.
Sialnya, telah dibajak oleh raja-raja kecil yang berkuasa di daerahnya,
tentunya untuk memenuhi syahwat berkuasa.
Disinyalir banyak kepala daerah yang menyalah-gunakan
kekuasaanya (abuse of power) untuk
mendukung dan memenangkan calon legislatif (caleg) dan partai politik
(parpol) afiliasinya. Pegawai negeri sipil yang harusnya netral dalam politik
praktis digunakan untuk mendukung caleg atau parpol tertentu. Mulai dari
pejabat eselon daerah sampai ketingkat pengurus desa dimobilisasi untuk
kepentingan politik praktis kepala daerah. Posisi, jabatan dan uang dijadikan
“senjata” untuk memaksakan kehendak kepala daerah.
Para kepala daerah yang haus akan kekuasaan, sibuk merancang
dinasti politik didaerahnya agar semakin kokoh dan besar. Motifnya, segenap
sanak saudara/kerabat dijadikan banteng-banteng politik di jabatan strategis
pemerintahan guna mengamankan kekuasaan. Sehingga kelak, tak satupun yang
bisa menembus empuknya kursi pemerintahan, kecuali seizin oleh pemilik
dinasti.
Rakyat hanya bisa menjadi penonton, tanpa bisa melawan tirani
dinasti politik. Rakyat hanya bisa menggerutu, mengumpat tanpa bisa protes
sebab semua komponen pengawas dan hukum pun telah dibajak/dibeli oleh sang raja
kecil. Inilah yang akan terjadi bila oligarki politik tumbuh subur, mengurat,
mengakar di suatu daerah apabila tidak ada perlawanan yang berarti buat benih
tirani politik ini.
Sejarah oligarki/dinasti politik tidak akan abadi. Sejarah akan
mengutuk rezim yang memperdaya rakyat dengan kekuasaannya. Keruntuhan era
Soeharto adalah contoh dari sekian banyak kejatuhan politik dinasti. People
power akan siap menanti untuk “turun kejalan”, bila perubahan menghendaki.
Begitupun, peran media sebagai pilar demokrasi seyogianya senantiasa menjadi
musuh atas tiran yang membangun dinasti.
Lord Acton, pemikir sejarawan politik dalam ungkapan populernya
pernah mengatakan “Power tend corrupt”. Artinya,
kekuasaan cenderung korup. Bahkan, Lord Acton akhirnya (hampir) sampai pada
kesimpulan bahwa, kekuasaan mutlak korup. Selanjutnya dia berkata “…and absolute power corrupt absolutely.
Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and
not authority; still more when you superadd the tendency of the certainty of
corruption by authority”. Melihat bagaimana empuknya kekuasaan sering
membuat orang “lupa diri”.
Untungnya, demokrasi menawarkan antitesa terhadap syahwat
berkuasa yang berlebihan. Demokrasi menawarkan prinsip check and balances atas setiap kekuasaan. Demokrasi selaras
dengan Lord Acton, menerima dalil apabila kekuasaan tidak diawasi, rentan
untuk menyimpang. Untuk itulah, Negara ini mengamanahkan agar harus ada unsur
pengawas untuk setiap kekuasaan. Misalnya, konsep politik trias politika—eksekutif,
legislatif dan yudikatif--sebagai upaya pemisahan kekuasaan untuk
menghindarkan penyalagunaan kekuasaan.
Namun, kepiawaian para pemburu kekuasaan harus kita akui tak
kalah liciknya. Tidak hanya mengamankan dinasti politiknya dalam fungsi
penyelenggara Negara (eksekutif), tetapi juga berusaha sekuat tenaga untuk
membajak fungsi pengawasan—melalui orang perwakilannya alias kerabat
dekat/saudara--. Dan bila perlu,—untuk lebih memantapkan kekuasaanya—apabila
diperlukan membeli aparat penegak hukum. Kalau sudah demikian, keruntuhan
demokrasi telah dekat.
Modus Pembajakan
Harus kita akui pesta demokrasi yang pertama—yang kedua, Pileg 9
Juli 2014--tahun ini, boleh jadi yang terburuk sepanjang sejarah
penyelenggaraan pemilu secara nasional. Banyak kecurangan dan pelanggaran
yang terjadi di sejumlah daerah yang bersifat massif, sistematis, struktural
dan cenderung brutal. Praktik money politic banyak kita jumpai dimana-mana
dan seakan tak kuasa menahannya. Motifnya juga bermacam-macam, mulai dari pemberian
uang (cash), pemberian kartu
asuransi, voucher pulsa, pemberian sembako, sampai pemberian program yang
mendompleng program pemerintah dan lain sebagainya.
Pelanggaran itu terjadi baik itu sebelum hari pemilihan dan
sesudahnya. Mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang rentan pencoblosan
illegal, sampai proses penghitungan (rekapitulasi) di Panitia Pemilih
Kecamatan (PPK) sampai ke KPU daerah dan pusat yang ramai dengan isu
jual-beli suara.
Contoh kasus lain yang bisa kita amati, hasil evaluasi pileg
kemarin. Nias Selatan, sebuah pulau yang terletak dibagian paling barat
Indonesia, yang sering luput dari perhatian nasional, berhasil mencuri
perhatian. Bukan karena tentang bencana alam apalagi tentang prestasi daerah,
melainkan kekacauan pelaksanaan pileg yang demikian massif dan ditengarai
pelanggaran sistematis dan terstruktur.
Perangkat penyelanggara pemilu Nias Selatan dituding beberapa
kalangan memiliki “kedekatan” yang tidak biasa dengan kepala daerah. Modus
yang sama, jamak digunakan para kepala derah untuk meloloskan
keluarga/kerabat kepala daerah menjadi anggota legislatif. Yaitu dengan cara
membajak penyelenggara Negara, baik itu Komisi Penyelenggara Umum Daerah
(KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) daerah, sampai ketingkat pelaksana
di TPS.
Modus pembajakan penyelenggara pemilu daerah dicurigai dimulai
dari pemilihan Tim Seleksi (Timsel) yang sudah diatur sedemikian rupa, agar
kepala daerah bisa mengarahkan hasil seleksi, tentunya dengan memanfaatkan
jasa para akademisi/tokoh bayaran dalam timsel. Atau, memasukkan orang-orang
pilihan kepala daerah yang ikut bertarung memperebutkan jabatan
penyelenggara. Sampai, mengajak penyelenggara pemilu terpilih untuk
“kerjasama” atau membayar penyelenggara tersebut apabila mau ikut “aturan main”
kepala daerah.
Fenomena pembajakan demokrasi oleh raja-raja kecil (kepala
daerah) rupanya bukan hal yang baru dan jamak terjadi. Sedikitnya ada 13
gubernur patut diduga “bermain” dalam pelaksanaan pemilu. Hal ini dicatat
oleh salah satu lembaga pemantau pemilu independen yaitu Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI) yang telah disertifikasi oleh KPU RI.
Misalnya saja, Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), Sinyo Harry
Sarundajang yang ketiga anak kandungnya, masing-masing Vanda Sarundajang
terpilih menjadi anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sulut, Fabian
Sarundajang terpilih menjadi anggota DPD RI dapil Sulut dan Eva Sarundajang
terpilih menjadi anggota DPRD Sulut dapil Bitung-Minahasa Utara.
Anehnya lagi, kisah anak Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah
yang kini ditahan tersangkut kasus korupsi di KPK, dua anaknya sukses
melanggeng ke Senayan. Masing-masing Andhika Hazrumy menjadi anggota DPR RI
dan Andara Aprilia Hikmat menjadi anggota DPD RI. Selebihnya, Gubernur
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Yogyakarta,
Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan.
Kedaulatan Rakyat
Sulitnya membayangkan bagaimana nasib parlemen kita ke depan,
apabila caleg-caleg yang terpilih kebanyakan melalui proses yang tidak benar
atau korup. Dikhawatirkan orientasi pengabdian parlemen akan digantikan
dengan kesibukan mengembalikan modal kampanye atau ongkos politik. Kinerja
dewan akan menjadi taruhan dari proses demokrasi yang tidak matang.
Pesta demokrasi sejatinya adalah kedaulatan rakyat seutuhnya.
Rakyat yang berdaulat harus mampu menjadi “hakim” atas penjahat-penjahat
demokrasi. Rakyat tidak boleh apatis apalagi permisif terhadap pelanggaran
pemilu. Pesta demokrasi yang baru saja selesai digelar ini harus jadi
pembelajaran politik, agar tidak terulang di pesta demokrasi berikutnya.
Kepala daerah harus dibatasi kewenangannya untuk melakukan
intervensi terhadap pelaksanaan pemilu (profesionalisme). Ditambah lagi, penyelenggara
pesta demokrasi KPU dan Bawaslu harus tetap independen dan menindak secara
tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Begitupun, aparat penyelenggara yang
ada di daerah. Seleksi dalam penerimaan penyelenggara Negara juga harus
diseleksi secara ketat dan transparan agar publik diberikan kesempatan untuk
berpartisipasi menilai calon penyelenggara.
Mari kita lawan tirani yang menghendaki kekuasaan yang absolut.
Rakyat harus ekstra mengawasi tingkah para raja-raja kecil di daerah.
Demokrasi yang sehat adalah idaman kita semua untuk melaksanakan pesta
demokrasi yang hebat dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar