Modus
Menentukan Kawan dan Lawan
Rene
L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
02 Juli 2014
SITUASI
status quo politik dan keamanan kawasan Asia berubah drastis ketika Perdana
Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan setuju memberlakukan kebijakan
”pertahanan proaktif bagi perdamaian” dengan tidak lagi membatasi Pasukan
Bela Diri Jepang (JSDF) menggunakan kekuatan militernya.
Keputusan
PM Abe merupakan rangkaian upaya perubahan geopolitik dan geostrategi kawasan
dalam menata konsep keamanan baru bagi kawasan Asia. Kawasan ini kehilangan
kepercayaan strategis dengan kebangkitan Tiongkok, klaim tumpang tindih
wilayah kedaulatan, serta kebangkitan negara besar yang mengubah eksistensi
kekuatan secara global.
Upaya
Jepang mengembangkan pertahanan diri kolektif menjadi bentuk baru mekanisme
pakta militer Jepang-AS, menghadapi apa yang disebut Abe sebagai perubahan
fundamental situasi keamanan Jepang. Kita melihat perubahan kebijakan
pertahanan Jepang sebagai modus baru dalam menentukan siapa kawan, siapa
lawan.
Pertama,
kebijakan ekonomi Jepang melalui Abenomics, walau mampu menunjukkan
pertumbuhan seperti yang diharapkan Abe, pada kenyataannya masih terlalu
lambat menghadapi dinamika globalisasi perubahan yang ingin diproyeksikan
Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia. Ada kesan,
masyarakat Jepang menjadi terlalu tua untuk ”menarik busur” yang disiapkan
Abe guna mendorong pertumbuhan dalam negeri.
Kedua,
paradoks di Kepulauan Senkaku (Tiongkok menyebutnya Diaoyu), Kepulauan
Spratly, dan Kepulauan Paracel merupakan eskalasi konfrontasi maritim,
konflik sumber daya alam, dan persaingan klaim teritorial. Sengketa itu telah
menyeret banyak negara di tengah berbagai perjanjian kerja sama ekonomi dan
perdagangan tingkat tinggi. Paradoks ini menghadirkan kecenderungan
perlombaan senjata di Asia.
Ketiga,
regionalisme Komunitas ASEAN 2015 menjadi proyek politik yang menghadirkan
kenyataan adanya desakan identitas regional yang luas untuk bisa
mengakomodasi negara bangsa yang kuat dan lemah ke dalam bentuk subnasional
baru. Namun, upaya ini secara bersamaan berhadapan dengan perubahan
geopolitik yang tarik-menarik antara ”kebangkitan Tiongkok” dan eksistensi
kekuatan global AS.
Keputusan
mengubah tatanan geopolitik Asia juga ikut mendorong munculnya sumber-sumber
kompetisi dan nasionalisme baru disertai program modernisasi militer. Yang
menjadi pertanyaan, apakah kebijakan pertahanan diri kolektif Jepang harus
memiliki musuh bersama di tengah-tengah ketergantungan kerja sama ekonomi
yang sangat tinggi?
Harus
diakui, tindakan unilateral Tiongkok dalam klaim tumpang tindih kedaulatan
telah memaksa sejumlah negara, termasuk di Asia Tenggara, mengambil posisi
aliansi melalui kerja sama militer untuk menimbulkan daya gentar (deterrence)
yang bisa setiap saat berubah menjadi konfrontasi frontal berbagai kekuatan
militer di kawasan Asia.
Tantangan
keamanan yang dihadapi Jepang pada tingkat global dan regional memang menjadi
pelik ketika harus berhadapan dengan pergeseran perimbangan kekuatan,
proliferasi senjata pemusnah massal, terorisme, dan lainnya. Di tingkat
regional, tendensi Korea Utara dan Tiongkok menjadi ancaman langsung terhadap
eksistensi keamanan nasional Jepang secara menyeluruh.
Aliansi
militer yang dibentuk Jepang dalam kebijakan pertahanan proaktif tak bisa
diukur intensitas penggunaannya. Para politisi Jepang melihat ini sebagai
perubahan dimensi menjadikan Jepang sebagai negara normal. Kita khawatir ini menghilangkan
substansi pasifisme yang dinikmati Jepang dan negara-negara Asia selama lebih
dari 60 tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar