Kamis, 03 Juli 2014

Modus Menentukan Kawan dan Lawan

Modus Menentukan Kawan dan Lawan

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 02 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SITUASI status quo politik dan keamanan kawasan Asia berubah drastis ketika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan setuju memberlakukan kebijakan ”pertahanan proaktif bagi perdamaian” dengan tidak lagi membatasi Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) menggunakan kekuatan militernya.

Keputusan PM Abe merupakan rangkaian upaya perubahan geopolitik dan geostrategi kawasan dalam menata konsep keamanan baru bagi kawasan Asia. Kawasan ini kehilangan kepercayaan strategis dengan kebangkitan Tiongkok, klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan, serta kebangkitan negara besar yang mengubah eksistensi kekuatan secara global.

Upaya Jepang mengembangkan pertahanan diri kolektif menjadi bentuk baru mekanisme pakta militer Jepang-AS, menghadapi apa yang disebut Abe sebagai perubahan fundamental situasi keamanan Jepang. Kita melihat perubahan kebijakan pertahanan Jepang sebagai modus baru dalam menentukan siapa kawan, siapa lawan.

Pertama, kebijakan ekonomi Jepang melalui Abenomics, walau mampu menunjukkan pertumbuhan seperti yang diharapkan Abe, pada kenyataannya masih terlalu lambat menghadapi dinamika globalisasi perubahan yang ingin diproyeksikan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia. Ada kesan, masyarakat Jepang menjadi terlalu tua untuk ”menarik busur” yang disiapkan Abe guna mendorong pertumbuhan dalam negeri.

Kedua, paradoks di Kepulauan Senkaku (Tiongkok menyebutnya Diaoyu), Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Paracel merupakan eskalasi konfrontasi maritim, konflik sumber daya alam, dan persaingan klaim teritorial. Sengketa itu telah menyeret banyak negara di tengah berbagai perjanjian kerja sama ekonomi dan perdagangan tingkat tinggi. Paradoks ini menghadirkan kecenderungan perlombaan senjata di Asia.

Ketiga, regionalisme Komunitas ASEAN 2015 menjadi proyek politik yang menghadirkan kenyataan adanya desakan identitas regional yang luas untuk bisa mengakomodasi negara bangsa yang kuat dan lemah ke dalam bentuk subnasional baru. Namun, upaya ini secara bersamaan berhadapan dengan perubahan geopolitik yang tarik-menarik antara ”kebangkitan Tiongkok” dan eksistensi kekuatan global AS.

Keputusan mengubah tatanan geopolitik Asia juga ikut mendorong munculnya sumber-sumber kompetisi dan nasionalisme baru disertai program modernisasi militer. Yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan pertahanan diri kolektif Jepang harus memiliki musuh bersama di tengah-tengah ketergantungan kerja sama ekonomi yang sangat tinggi?

Harus diakui, tindakan unilateral Tiongkok dalam klaim tumpang tindih kedaulatan telah memaksa sejumlah negara, termasuk di Asia Tenggara, mengambil posisi aliansi melalui kerja sama militer untuk menimbulkan daya gentar (deterrence) yang bisa setiap saat berubah menjadi konfrontasi frontal berbagai kekuatan militer di kawasan Asia.

Tantangan keamanan yang dihadapi Jepang pada tingkat global dan regional memang menjadi pelik ketika harus berhadapan dengan pergeseran perimbangan kekuatan, proliferasi senjata pemusnah massal, terorisme, dan lainnya. Di tingkat regional, tendensi Korea Utara dan Tiongkok menjadi ancaman langsung terhadap eksistensi keamanan nasional Jepang secara menyeluruh.

Aliansi militer yang dibentuk Jepang dalam kebijakan pertahanan proaktif tak bisa diukur intensitas penggunaannya. Para politisi Jepang melihat ini sebagai perubahan dimensi menjadikan Jepang sebagai negara normal. Kita khawatir ini menghilangkan substansi pasifisme yang dinikmati Jepang dan negara-negara Asia selama lebih dari 60 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar