Kamis, 03 Juli 2014

Menyelisik Peran Purnawirawan di Pilpres

MENYAMBUT HUT KE-68 POLRI

Menyelisik Peran Purnawirawan di Pilpres

Darwan Siregar ;  Mantan Koordinator Staf Ahli Kapolri
MEDIA INDONESIA, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
INDONESIA akan memiliki pemimpin baru tak kurang dari 8 x 24 jam lagi. Pada 9 Juli mendatang rakyat yang memiliki hak pilih akan menentukan siapa yang pantas memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, apakah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ataukah Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Siapa pun yang terpilih, bukan itu esensinya. Presiden terpilih akan menjadi atasan langsung Kepolisian Negara Republik Indonesia yang hari ini tepat berulang tahun ke-68. Sebagai bayangkara negara, Polri jelas memiliki peran penting dalam konstelasi politik negeri ini, utamanya dalam masalah pengamanan.

Sebagaimana TNI, Polri juga harus berada dalam posisi netral. Tidak boleh ada anggota Polri menjadi tim sukses ataupun terlibat langsung di dalamnya. Apalagi sesuai UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok korps bayangkara itu adalah memelihara keamanan dan keter tiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Bisa dibayangkan apa jadinya kalau Polri terlibat langsung dalam menyukseskan salah satu kandidat.

Secara kuantitas, jumlah tak kurang dari 420 ribu anggota yang tersebar di seluruh Indonesia bukanlah jumlah yang sedikit. Terlebih bila ditambah dengan keluarga dari anggota Polri tersebut. Namun, keputusan untuk tidak melibatkan TNI-Polri dalam politik praktis ialah sesuatu yang sudah benar dan fi nal. Bagi mereka yang sudah purnawirawan, tentulah tidak ada alasan untuk melarang bila ingin terlibat dalam politik praktis.

Bagi mantan anggota Polri, bila terjun ke dalam politik praktis dan menjadi think thank atau pun tim sukses dari kandidat capres, tentu mereka memiliki modal yang mumpuni. Modal itu ialah pengetahuan dan pengalaman selama menjadi anggota Polri. Tugas pokok berdasarkan aturan perundangan membuat mereka harus bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, tentulah segudang persoalan dan problem solving bisa didapatkan. Artinya, ketika mereka dimintai pendapat atau saran, bisa menjabarkan dengan gamblang termasuk upaya pemecahan dari masalah/persoalan yang terjadi. Bukankah itu merupakan modal yang luar biasa?

Perang bintang

Belakangan ini kita diberi pemandangan terjadinya `perang bintang' dalam jagat politik nasional. Para purnawirawan yang tergabung dalam tiap kubu memberikan kritik, pembelaan, bahkan juga testimoni terkait dengan calon presiden masing-masing. Dari para pelaku `perang bintang' ternyata tidak terlihat satu pun purnawirawan Polri yang bersuara. Ada apa dengan mereka? Apakah memang tidak ada purnawirawan Polri yang ikut gerbong capres?

Padahal, dalam posisi sudah tidak aktif dalam Polri, mereka bisa memberi warna dengan sejumlah analisis dan pemecahan masalah. Terlebih mereka yang pernah menempati posisi sebagai kepala kepolisian daerah (kapolda) tentu memiliki analisis yang tajam terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat.

Tidak bisa dimungkiri bahwa sejumlah daerah menjadi begitu rawan konflik menjelang pilpres. Setidaknya ada 10 daerah rawan konfl ik di akar rumput berdasarkan data dari Indorating (lembaga pemeringkat independen), tercatat DIY, Aceh, Jatim, Jabar, Sulsel, Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTB (Harianterbit.com 27/6).

Polarisasi kepala/wakil kepala daerah yang berlatar belakang partai pendukung capres, aktivitas bupati/wali kota yang menjadi tim sukses, hingga kampanye masif di sosial media membuat potensi kerusuhan tidak bisa dianggap sebelah mata.
Polisi memang menjadi pihak terdepan dalam menghadapi segala bentuk ancaman keamanan. Sudah selayaknya purnawirawan Polri yang ada di dalam tim sukses kandidat memberikan pandangan-pandangan. Mereka harus menyodorkan analisis dan pemecahan persoalan untuk mengurangi bahkan menghilangkan gesekangesekan tersebut.

Pascapilpres

Ketika sudah dipastikan suksesi kepemimpinan nasional berjalan lancar, tugas Polri tidak akan berhenti, terlebih bagi mereka yang masih aktif, karena tantangan tidak pernah berkurang, bahkan bukan mustahil akan terus bertambah. Yang terbaru ialah mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Polri mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak hingga tengah tahun ini. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Itu baru yang terkait dengan dunia anak-anak, belum yang mencakup urusan wilayah, terorisme, hingga narkoba. Kalau saja tidak tertangani dengan baik, bukan mustahil Polri akan dianggap tidak peduli terhadap keamanan masyarakat.

Polri jelas dituntut untuk lebih bisa menampilkan wajah bersahabat. Apalagi bila melihat rasio polisi dan masyarakat masih dalam kisaran 1:575, tentu hal itu masih jauh dari ideal. Kalau melihat kondisi di masyarakat, rasio ideal di kota-kota besar hendaknya 1:300. Rekrutmen personel memang tidak bisa dilakukan sekaligus karena keterbatasan anggaran dari Rp47 triliun di 2013, menjadi Rp41,5 triliun di 2014.

Semoga saja purnawirawan Polri yang ada di dalam barisan tim sukses capres bisa menjadi jembatan kepada presiden kelak bahwa tantangan kepolisian semakin meningkat. Jadi, jangan hanya menjadi pemerhati dari `perang bintang', tapi harus bisa mengambil peran yang signifikan. Dirgahayu Polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar