MENYAMBUT HUT KE-68 POLRI
Menyelisik
Peran Purnawirawan di Pilpres
Darwan
Siregar ; Mantan Koordinator
Staf Ahli Kapolri
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Juli 2014
INDONESIA akan memiliki pemimpin
baru tak kurang dari 8 x 24 jam lagi. Pada 9 Juli mendatang rakyat yang
memiliki hak pilih akan menentukan siapa yang pantas memimpin bangsa ini lima
tahun ke depan, apakah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ataukah Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
Siapa pun yang terpilih, bukan
itu esensinya. Presiden terpilih akan menjadi atasan langsung Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang hari ini tepat berulang tahun ke-68. Sebagai
bayangkara negara, Polri jelas memiliki peran penting dalam konstelasi
politik negeri ini, utamanya dalam masalah pengamanan.
Sebagaimana TNI, Polri juga
harus berada dalam posisi netral. Tidak boleh ada anggota Polri menjadi tim
sukses ataupun terlibat langsung di dalamnya. Apalagi sesuai UU No 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok korps
bayangkara itu adalah memelihara keamanan dan keter tiban masyarakat,
menegakan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Bisa dibayangkan apa jadinya
kalau Polri terlibat langsung dalam menyukseskan salah satu kandidat.
Secara kuantitas, jumlah tak
kurang dari 420 ribu anggota yang tersebar di seluruh Indonesia bukanlah
jumlah yang sedikit. Terlebih bila ditambah dengan keluarga dari anggota
Polri tersebut. Namun, keputusan untuk tidak melibatkan TNI-Polri dalam
politik praktis ialah sesuatu yang sudah benar dan fi nal. Bagi mereka yang
sudah purnawirawan, tentulah tidak ada alasan untuk melarang bila ingin
terlibat dalam politik praktis.
Bagi mantan anggota Polri, bila
terjun ke dalam politik praktis dan menjadi think thank atau pun tim sukses
dari kandidat capres, tentu mereka memiliki modal yang mumpuni. Modal itu
ialah pengetahuan dan pengalaman selama menjadi anggota Polri. Tugas pokok
berdasarkan aturan perundangan membuat mereka harus bersentuhan langsung
dengan masyarakat.
Sebagai pihak yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat, tentulah segudang persoalan dan problem solving
bisa didapatkan. Artinya, ketika mereka dimintai pendapat atau saran, bisa
menjabarkan dengan gamblang termasuk upaya pemecahan dari masalah/persoalan
yang terjadi. Bukankah itu merupakan modal yang luar biasa?
Perang bintang
Belakangan ini kita diberi pemandangan
terjadinya `perang bintang' dalam jagat politik nasional. Para purnawirawan
yang tergabung dalam tiap kubu memberikan kritik, pembelaan, bahkan juga
testimoni terkait dengan calon presiden masing-masing. Dari para pelaku
`perang bintang' ternyata tidak terlihat satu pun purnawirawan Polri yang
bersuara. Ada apa dengan mereka? Apakah memang tidak ada purnawirawan Polri
yang ikut gerbong capres?
Padahal, dalam posisi sudah
tidak aktif dalam Polri, mereka bisa memberi warna dengan sejumlah analisis
dan pemecahan masalah. Terlebih mereka yang pernah menempati posisi sebagai
kepala kepolisian daerah (kapolda) tentu memiliki analisis yang tajam
terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat.
Tidak bisa dimungkiri bahwa
sejumlah daerah menjadi begitu rawan konflik menjelang pilpres. Setidaknya
ada 10 daerah rawan konfl ik di akar rumput berdasarkan data dari Indorating
(lembaga pemeringkat independen), tercatat DIY, Aceh, Jatim, Jabar, Sulsel,
Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTB (Harianterbit.com 27/6).
Polarisasi kepala/wakil kepala
daerah yang berlatar belakang partai pendukung capres, aktivitas bupati/wali
kota yang menjadi tim sukses, hingga kampanye masif di sosial media membuat
potensi kerusuhan tidak bisa dianggap sebelah mata.
Polisi memang menjadi pihak terdepan
dalam menghadapi segala bentuk ancaman keamanan. Sudah selayaknya
purnawirawan Polri yang ada di dalam tim sukses kandidat memberikan
pandangan-pandangan. Mereka harus menyodorkan analisis dan pemecahan
persoalan untuk mengurangi bahkan menghilangkan gesekangesekan tersebut.
Pascapilpres
Ketika sudah dipastikan suksesi
kepemimpinan nasional berjalan lancar, tugas Polri tidak akan berhenti,
terlebih bagi mereka yang masih aktif, karena tantangan tidak pernah
berkurang, bahkan bukan mustahil akan terus bertambah. Yang terbaru ialah
mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Polri mencatat ada 697 kasus
kekerasan seksual terhadap anak hingga tengah tahun ini. Dari jumlah itu,
sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Itu
baru yang terkait dengan dunia anak-anak, belum yang mencakup urusan wilayah,
terorisme, hingga narkoba. Kalau saja tidak tertangani dengan baik, bukan
mustahil Polri akan dianggap tidak peduli terhadap keamanan masyarakat.
Polri jelas dituntut untuk lebih
bisa menampilkan wajah bersahabat. Apalagi bila melihat rasio polisi dan
masyarakat masih dalam kisaran 1:575, tentu hal itu masih jauh dari ideal.
Kalau melihat kondisi di masyarakat, rasio ideal di kota-kota besar hendaknya
1:300. Rekrutmen personel memang tidak bisa dilakukan sekaligus karena
keterbatasan anggaran dari Rp47 triliun di 2013, menjadi Rp41,5 triliun di
2014.
Semoga saja purnawirawan Polri
yang ada di dalam barisan tim sukses capres bisa menjadi jembatan kepada
presiden kelak bahwa tantangan kepolisian semakin meningkat. Jadi, jangan
hanya menjadi pemerhati dari `perang bintang', tapi harus bisa mengambil
peran yang signifikan. Dirgahayu Polri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar