Selasa, 01 Juli 2014

Bupati dan Negara Kesatuan

Bupati dan Negara Kesatuan

Miftah Thoha ;  Guru Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM
KOMPAS, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEJAK negara ini berdiri, niat para pendiri dan pendahulu kita telah sepakat untuk mendirikan negara kesatuan. Diakui, walau keadaan negara kita terdiri dari pelbagai daerah yang berbineka, beraneka budaya, bermacam etnis, pelbagai bahasa, dan lainnya, negara kita ini berprinsip sebagai negara kesatuan  berdasarkan Pancasila. Bung Hatta menyatakan bahwa negara kita terdiri atas pelbagai aneka perbedaan, tetapi kita seikat yang berdaulat rakyatnya, bukan tuanku. Sampai sekarang kita kenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

Prinsip suatu negara kesatuan amat berbeda dengan negara federalistik yang sering kali menggoda kita untuk mencobanya, baik oleh gesekan maupun pengaruh dari perkembangan politik dan manajemen pemerintahan. Pada 1950, kita pernah tergoda untuk mempraktikkan pemerintahan negara federalistik. Tak terlalu lama, kita pun kembali lagi ke sistem negara kesatuan. Akhir-akhir ini juga ada suatu tulisan menimbang kembali praktik sistem federalistik.

Di awal reformasi, semangat melaksanakan sistem pemerintahan federal merebak. Banyak kalangan saat itu menginginkan sistem federalistik ini dipergunakan lagi setelah 32 tahun mengalami suatu pemerintahan negara kesatuan yang sangat sentralistik. Pemerintahan BJ Habibie menjawab keinginan itu dengan mengenalkan sistem pemerintahan yang demokratis. Dibukalah koridor demokrasi itu dengan pertama kali mengesahkan UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers. Rakyat tidak takut lagi berbeda pendapat. Mimbar kebebasan berpendapat dijamin oleh UU ini. Koridor kedua demokrasi dibuka dan disahkan tiga UU politik: UU No 2/1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No 4/199 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Berkat UU politik ini, rakyat tidak lagi takut untuk memilih dan masuk ke serikat politik yang dikehendaki.

Dua koridor demokrasi kebebasan bersuara dan kebebasan politik merupakan jaminan pokok dari sistem demokrasi. Berikutnya, di bidang pemerintahan disahkan UU No 22/1999. UU ini dikenal dengan UU tentang otonomi daerah, dengan menekankan pelaksanaan desentralisasi yang luas kepada daerah. Semua kewenangan pemerintahan berada di pemerintah daerah, hanya lima kewenangan yang berada di pemerintah pusat.

Titik berat otonomi daerah berada di kabupaten dan kota. Partisipasi dan peranan rakyat daerah dan DPRD diberdayakan. Pemilihan kepala daerah ditentukan oleh rakyat daerah sendiri melalui perwakilan di DPRD masing-masing dan akhirnya dilakukan pilkada secara langsung. UU Pemerintahan Daerah ini oleh banyak kalangan ditafsirkan menyerupai keadaan sistem federalistik. Namun, bukan sistem federal yang dipilih pemerintah saat itu, melainkan mengenalkan sistem demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintahan demokrasi dalam  unitary system. Sayangnya, demokrasi yang kita kenal sekarang lebih banyak mengemuka dan mengutamakan prinsip perbedaan dan mayoritas prosedural, tanpa dilandasi prinsip musyawarah yang menjadi karakteristik Pancasila. Lebih banyak menekankan kepentingan sektoral partai politiknya ketimbang kepentingan negara kesatuannya.

”Unitary system”

Di dalam ilmu politik, suatu pemerintahan merupakan suatu bentuk yang sangat dibutuhkan oleh rakyat atau masyarakat. Lawan pemerintahan adalah anarkisme. Doktrin anarkisme sebaliknya tidak membutuhkan pemerintahan itu karena setiap individu memiliki insting untuk mutual cooperation yang tidak membutuhkan keperluan untuk pengarahan dan pengawasan pemerintah.

Bagaimanapun, suatu pemerintahan adalah suatu institusi dan proses untuk mengatur pelbagai macam tujuan, seperti pertahanan, kesejahteraan, dan  kedamaian. Dengan demikian, suatu pemerintahan adalah suatu institusi negara berupa  organisasi dan prosedur di mana hukum ditegakkan, ditetapkan, diterapkan, dan dilaksanakan secara adil. Ketika NKRI ini didirikan sebagai negara yang kita inginkan, Pancasila dijadikan landasan bagi suatu kebijakan yang dibuat sehingga bentuk pemerintahan di pusat dan daerah segaris, senantiasa tidak melupakan Pancasila. Kepentingan pemerintah pusat ada di seluruh wilayah negara kesatuan.

Dari perspektif inilah mulai dipertanyakan cara terbaik untuk mengklasifikasi pelbagai bentuk pemerintahan: mengapa suatu pemerintahan dibutuhkan dan bagaimana hubungan kekuasaan kewenangan pemerintah dengan rakyatnya. Mulai dipikirkan distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan semua pemerintahan lokal atau daerahnya.

Di dalam pemerintahan negara kesatuan disepakati semua kewenangan dan kekuasaan menjalankan pemerintahan  berada di tangan pemerintah pusat. Adapun bentuk kewenangan di pemerintah daerah didasarkan atas prinsip desentralisasi, bukan otonomi. Sebagian dari kewenangan di pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah sehingga tampak sekali kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah segaris.

Posisi bupati dan wali kota

 Seperti telah dijelaskan, kekuasaan dan fungsi pemerintahan di negara kesatuan berada di tangan pemerintah pusat, sedangkan kekuasaan dan fungsi yang dijalankan di dalam pemerintah daerah dijalankan dalam prinsip desentralisasi. Pelaksanaan prinsip desentralisasi ini sangat bergantung bagaimana pemerintah pusat melaksanakannya. Selain itu, dalam pemerintahan suatu negara kesatuan dinyatakan bahwa kepentingan kekuasaan pemerintah pusat itu membentang mulai dari hierarki pemerintahan di atas sampai di hierarki terbawah tidak bisa dihilangkan dan dikurangi. Sekecil apa pun bentuk kepentingan tersebut, kepentingan kekuasaan pemerintah pusat ada dan harus ada di wilayah terbawah ataupun terpencil dalam wilayah negara kesatuan.

Kewenangan pemerintah pusat juga berlaku untuk seluruh wilayah negara kesatuan tersebut. Kewenangan itu dijalankan oleh aparat pemerintah pusat dan aparat pemerintah daerah di seluruh daerah dari wilayah negara. Sistem yang digunakan untuk menjalankan kewenangan tersebut didasarkan atas asas atau dasar yang dipakai, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan perbantuan (medebewind).  Tiga asas ini dahulu pernah kita gunakan dalam UU No 5/1974. Sekarang pun dipergunakan, tetapi lain perspektifnya.

Menurut UU No 22/1999 maupun UU No 32/2004, kewenangan pemerintah pusat hanya diwakili oleh gubernur dan kantor wilayah yang menjalankan perpanjangan dari enam kewenangan pemerintah pusat. Akan tetapi, di pemerintah kabupaten/kota—karena dinyatakan sebagai titik berat otonomi—kewenangan pemerintah pusat tidak terwakili dalam struktur pemerintahan. Adanya kepincangan struktur pemerintahan dalam negara kesatuan seperti ini yang membuat bupati/wali kota sebagai kepala daerah dan orang daerah yang merasa tidak atau kurang terikat oleh ketentuan-ketentuan pemerintah pusat. Mereka sepertinya mewakili golongan atau daerahnya, dan mereka seperti personifikasi partai politik yang mengusungnya  di daerah otonom di luar prinsip negara kesatuan.

 Saya mengibaratkan kewenangan pemeritah pusat di daerah itu seperti kayu penjalin kecil dari wayang kulit, yang membujur dari atas sampai ke bawah. Kayu itu kecil, tetapi efektif sampai ke bawah sehingga dalang wayang kulit bisa menjalankan wayang yang lemes itu dengan lincah dan efektif. Desentralisasi dan otonomi yang diikuti oleh UU No 22 /1999 dan UU No 32/2004 membuat kayu wayang kulit itu tidak sampai ke bawah, tetapi sampai ke lutut yang berada di titik jabatan gubernur tersebut.

Dari ilustrasi wayang kulit itu, dapat kita amati bahwa pelaksanaan otonomi di negara kesatuan perlu ditinjau kembali. Mengingat hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan semua terkonsolidasikan pada level pemerintah nasional, maka kekuasaan yang berada di pemerintah daerah janganlah hanya dibatasi pada jabatan gubernur dan kanwil yang belum dihapus, melainkan harus sampai pada tingkatan daerah terbawah.

 Dalam sistem federalistik, peranan negara bagian amat besar. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan negara bagian. Pemerintah federal menerima pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dari negara bagian. Namun, kewenangan pemerintah federal yang sudah disepakati oleh negara-negara bagian itu bisa juga berlaku dan mengintervensi kekuasaan di semua negara bagian.

Oleh karena itu, pemerintah daerah yang dipimpin kepala daerah kiranya juga mewakili kepentingan pemerintah pusat. Janganlah semata-mata menonjolkan dan atau mewakili partai politik, melainkan orang daerah (yang memahami aspirasi rakyat daerah) sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Artinya, bupati/wali kota juga harus paham dan memahami kepentingan pemerintah pusat. Begitu orang politik yang dipilih oleh rakyat daerah menjadi bupati/kepala daerah atau wali kota/kepala daerah, ia tidak lagi terkait atau mengutamakan partai politik yang mencalonkannya.

Bupati/wali kota bukan lagi kader partai politik, tetapi kader pejabat negara yang Pancasilais. Seperti halnya yang banyak dikemukakan para pemikir: bahwa Pemilihan Presiden 2014 ini bukan hanya partai politik lagi yang menjadi pilihan, melainkan kualitas calon. Banyak kepala daerah yang tidak mendukung calon dari koalisi partainya, tetapi calon yang disukai rakyat. Pada hakikatnya bupati/wali kota pantas disebut pejabat negara. Sebutannya adalah bahwa bupati atau wali kota sebagai nomenklatur untuk jabatan wakil pemerintah pusat, sedangkan kepala daerah sebagai nomenklatur untuk sebutan jabatan pejabat daerah. Dengan demikian, kekayaan dan endowment daerah dimanfaatkan untuk sebanyak-banyaknya kepentingan daerah dan kesejahteraan rakyat daerah atas keterpaduan secara sinergik dengan kebijakan dan kepentingan pemerintah pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar