Bupati
dan Negara Kesatuan
Miftah
Thoha ; Guru Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM
|
KOMPAS,
30 Juni 2014
SEJAK
negara ini berdiri, niat para pendiri dan pendahulu kita telah sepakat untuk
mendirikan negara kesatuan. Diakui, walau keadaan negara kita terdiri dari
pelbagai daerah yang berbineka, beraneka budaya, bermacam etnis, pelbagai
bahasa, dan lainnya, negara kita ini berprinsip sebagai negara kesatuan berdasarkan Pancasila. Bung Hatta
menyatakan bahwa negara kita terdiri atas pelbagai aneka perbedaan, tetapi
kita seikat yang berdaulat rakyatnya, bukan tuanku. Sampai sekarang kita
kenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
Prinsip
suatu negara kesatuan amat berbeda dengan negara federalistik yang sering
kali menggoda kita untuk mencobanya, baik oleh gesekan maupun pengaruh dari
perkembangan politik dan manajemen pemerintahan. Pada 1950, kita pernah
tergoda untuk mempraktikkan pemerintahan negara federalistik. Tak terlalu
lama, kita pun kembali lagi ke sistem negara kesatuan. Akhir-akhir ini juga
ada suatu tulisan menimbang kembali praktik sistem federalistik.
Di awal
reformasi, semangat melaksanakan sistem pemerintahan federal merebak. Banyak
kalangan saat itu menginginkan sistem federalistik ini dipergunakan lagi
setelah 32 tahun mengalami suatu pemerintahan negara kesatuan yang sangat
sentralistik. Pemerintahan BJ Habibie menjawab keinginan itu dengan
mengenalkan sistem pemerintahan yang demokratis. Dibukalah koridor demokrasi
itu dengan pertama kali mengesahkan UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers.
Rakyat tidak takut lagi berbeda pendapat. Mimbar kebebasan berpendapat
dijamin oleh UU ini. Koridor kedua demokrasi dibuka dan disahkan tiga UU
politik: UU No 2/1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu,
dan UU No 4/199 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Berkat UU
politik ini, rakyat tidak lagi takut untuk memilih dan masuk ke serikat
politik yang dikehendaki.
Dua
koridor demokrasi kebebasan bersuara dan kebebasan politik merupakan jaminan
pokok dari sistem demokrasi. Berikutnya, di bidang pemerintahan disahkan UU
No 22/1999. UU ini dikenal dengan UU tentang otonomi daerah, dengan
menekankan pelaksanaan desentralisasi yang luas kepada daerah. Semua
kewenangan pemerintahan berada di pemerintah daerah, hanya lima kewenangan
yang berada di pemerintah pusat.
Titik
berat otonomi daerah berada di kabupaten dan kota. Partisipasi dan peranan
rakyat daerah dan DPRD diberdayakan. Pemilihan kepala daerah ditentukan oleh
rakyat daerah sendiri melalui perwakilan di DPRD masing-masing dan akhirnya
dilakukan pilkada secara langsung. UU Pemerintahan Daerah ini oleh banyak
kalangan ditafsirkan menyerupai keadaan sistem federalistik. Namun, bukan
sistem federal yang dipilih pemerintah saat itu, melainkan mengenalkan sistem
demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintahan
demokrasi dalam unitary system.
Sayangnya, demokrasi yang kita kenal sekarang lebih banyak mengemuka dan
mengutamakan prinsip perbedaan dan mayoritas prosedural, tanpa dilandasi
prinsip musyawarah yang menjadi karakteristik Pancasila. Lebih banyak
menekankan kepentingan sektoral partai politiknya ketimbang kepentingan
negara kesatuannya.
”Unitary system”
Di dalam
ilmu politik, suatu pemerintahan merupakan suatu bentuk yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat atau masyarakat. Lawan pemerintahan adalah anarkisme.
Doktrin anarkisme sebaliknya tidak membutuhkan pemerintahan itu karena setiap
individu memiliki insting untuk mutual cooperation yang tidak membutuhkan
keperluan untuk pengarahan dan pengawasan pemerintah.
Bagaimanapun,
suatu pemerintahan adalah suatu institusi dan proses untuk mengatur pelbagai
macam tujuan, seperti pertahanan, kesejahteraan, dan kedamaian. Dengan demikian, suatu
pemerintahan adalah suatu institusi negara berupa organisasi dan prosedur di mana hukum
ditegakkan, ditetapkan, diterapkan, dan dilaksanakan secara adil. Ketika NKRI
ini didirikan sebagai negara yang kita inginkan, Pancasila dijadikan landasan
bagi suatu kebijakan yang dibuat sehingga bentuk pemerintahan di pusat dan
daerah segaris, senantiasa tidak melupakan Pancasila. Kepentingan pemerintah
pusat ada di seluruh wilayah negara kesatuan.
Dari
perspektif inilah mulai dipertanyakan cara terbaik untuk mengklasifikasi
pelbagai bentuk pemerintahan: mengapa suatu pemerintahan dibutuhkan dan
bagaimana hubungan kekuasaan kewenangan pemerintah dengan rakyatnya. Mulai
dipikirkan distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan semua
pemerintahan lokal atau daerahnya.
Di dalam
pemerintahan negara kesatuan disepakati semua kewenangan dan kekuasaan
menjalankan pemerintahan berada di
tangan pemerintah pusat. Adapun bentuk kewenangan di pemerintah daerah
didasarkan atas prinsip desentralisasi, bukan otonomi. Sebagian dari
kewenangan di pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah
sehingga tampak sekali kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah
segaris.
Posisi bupati dan wali kota
Seperti telah dijelaskan, kekuasaan dan
fungsi pemerintahan di negara kesatuan berada di tangan pemerintah pusat,
sedangkan kekuasaan dan fungsi yang dijalankan di dalam pemerintah daerah
dijalankan dalam prinsip desentralisasi. Pelaksanaan prinsip desentralisasi
ini sangat bergantung bagaimana pemerintah pusat melaksanakannya. Selain itu,
dalam pemerintahan suatu negara kesatuan dinyatakan bahwa kepentingan
kekuasaan pemerintah pusat itu membentang mulai dari hierarki pemerintahan di
atas sampai di hierarki terbawah tidak bisa dihilangkan dan dikurangi.
Sekecil apa pun bentuk kepentingan tersebut, kepentingan kekuasaan pemerintah
pusat ada dan harus ada di wilayah terbawah ataupun terpencil dalam wilayah
negara kesatuan.
Kewenangan
pemerintah pusat juga berlaku untuk seluruh wilayah negara kesatuan tersebut.
Kewenangan itu dijalankan oleh aparat pemerintah pusat dan aparat pemerintah
daerah di seluruh daerah dari wilayah negara. Sistem yang digunakan untuk
menjalankan kewenangan tersebut didasarkan atas asas atau dasar yang dipakai,
yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan perbantuan
(medebewind). Tiga asas ini dahulu
pernah kita gunakan dalam UU No 5/1974. Sekarang pun dipergunakan, tetapi
lain perspektifnya.
Menurut
UU No 22/1999 maupun UU No 32/2004, kewenangan pemerintah pusat hanya
diwakili oleh gubernur dan kantor wilayah yang menjalankan perpanjangan dari
enam kewenangan pemerintah pusat. Akan tetapi, di pemerintah
kabupaten/kota—karena dinyatakan sebagai titik berat otonomi—kewenangan pemerintah
pusat tidak terwakili dalam struktur pemerintahan. Adanya kepincangan
struktur pemerintahan dalam negara kesatuan seperti ini yang membuat
bupati/wali kota sebagai kepala daerah dan orang daerah yang merasa tidak
atau kurang terikat oleh ketentuan-ketentuan pemerintah pusat. Mereka
sepertinya mewakili golongan atau daerahnya, dan mereka seperti personifikasi
partai politik yang mengusungnya di
daerah otonom di luar prinsip negara kesatuan.
Saya mengibaratkan kewenangan pemeritah
pusat di daerah itu seperti kayu penjalin kecil dari wayang kulit, yang
membujur dari atas sampai ke bawah. Kayu itu kecil, tetapi efektif sampai ke
bawah sehingga dalang wayang kulit bisa menjalankan wayang yang lemes itu
dengan lincah dan efektif. Desentralisasi dan otonomi yang diikuti oleh UU No
22 /1999 dan UU No 32/2004 membuat kayu wayang kulit itu tidak sampai ke
bawah, tetapi sampai ke lutut yang berada di titik jabatan gubernur tersebut.
Dari
ilustrasi wayang kulit itu, dapat kita amati bahwa pelaksanaan otonomi di
negara kesatuan perlu ditinjau kembali. Mengingat hubungan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan semua
terkonsolidasikan pada level pemerintah nasional, maka kekuasaan yang berada
di pemerintah daerah janganlah hanya dibatasi pada jabatan gubernur dan
kanwil yang belum dihapus, melainkan harus sampai pada tingkatan daerah
terbawah.
Dalam sistem federalistik, peranan negara
bagian amat besar. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan negara
bagian. Pemerintah federal menerima pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dari
negara bagian. Namun, kewenangan pemerintah federal yang sudah disepakati
oleh negara-negara bagian itu bisa juga berlaku dan mengintervensi kekuasaan
di semua negara bagian.
Oleh
karena itu, pemerintah daerah yang dipimpin kepala daerah kiranya juga
mewakili kepentingan pemerintah pusat. Janganlah semata-mata menonjolkan dan
atau mewakili partai politik, melainkan orang daerah (yang memahami aspirasi
rakyat daerah) sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Artinya, bupati/wali
kota juga harus paham dan memahami kepentingan pemerintah pusat. Begitu orang
politik yang dipilih oleh rakyat daerah menjadi bupati/kepala daerah atau
wali kota/kepala daerah, ia tidak lagi terkait atau mengutamakan partai
politik yang mencalonkannya.
Bupati/wali
kota bukan lagi kader partai politik, tetapi kader pejabat negara yang
Pancasilais. Seperti halnya yang banyak dikemukakan para pemikir: bahwa
Pemilihan Presiden 2014 ini bukan hanya partai politik lagi yang menjadi
pilihan, melainkan kualitas calon. Banyak kepala daerah yang tidak mendukung
calon dari koalisi partainya, tetapi calon yang disukai rakyat. Pada
hakikatnya bupati/wali kota pantas disebut pejabat negara. Sebutannya adalah
bahwa bupati atau wali kota sebagai nomenklatur untuk jabatan wakil
pemerintah pusat, sedangkan kepala daerah sebagai nomenklatur untuk sebutan
jabatan pejabat daerah. Dengan demikian, kekayaan dan endowment daerah
dimanfaatkan untuk sebanyak-banyaknya kepentingan daerah dan kesejahteraan
rakyat daerah atas keterpaduan secara sinergik dengan kebijakan dan
kepentingan pemerintah pusat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar