Sabtu, 19 Juli 2014

Mengakhiri Akar Konflik

                                         Mengakhiri Akar Konflik

Amanda Adiwijaya  ;   Lulusan International Biblical College, Yerusalem
KORAN JAKARTA,  17 Juli 2014
                                                


Israel pernah disebut Nabi Musa  sebagai bangsa  tegar tengkuk karena  kebebalannya pascaeksodus dari Mesir. Seusai  menyeberangi Laut Merah dan aman  dari kejaran tentara Firaun, bangsa itu justru musyrik luar biasa dengan menyembah patung lembu emas.

Rupanya sebutan tersebut berlanjut hingga kini dan kian nyata  dalam serangan  ke jalur Gaza. Ada beragam analisis terkait motif  serangan. Tapi yang boleh jadi paling tepat adalah  balasan atas kematian tiga remaja Israel  secara mengenaskan. Publik dan pemerintah Israel menuduh Hamas sebagai pelaku penyiksakaan. Hamas membantah tuduhan tersebut. Pemerintah Israel mendapat tekanan untuk membalas, sebagaimana hukum mata ganti mata dan gigi ganti gigi.

Perlu diketahui, di mata Israel, Hamas adalah  organisasi teroris. Jadi, menyerang Gaza yang merupakan sarang Hamas dianggap  pilihan logis. Bukti Hamas teroris tampak pada sikap kelompok itu  yang selalu mengganggu eksistensi Israel lewat berbagai aksi teror seperti menyiksa atau menyandera personel militer dan warga sipil Israel.

Israel  mengeluarkan pernyataan mengejutkan di tengah krisis Gaza yang semakin memburuk. Israel meyakini Palestina sudah mengubah fungsi tempat ibadah sebagai tempat perencanaan aksi teror. Hamas dan beberapa organisasi teroris lain telah menggunakan tempat seperti itu secara sistematis untuk keperluan militer dan politik. Demikian pernyataan resmi Pusat Intelijen dan Kontra Terorisme Israel, seperti dimuat  Israel Nation News, Selasa (15/7/2014).

Beberapa hari lalu, Israel melancarkan serangan atas  dua masjid di Gaza. Serangan tersebut sontak membuat Hamas naik pitam. Hamas pun belum mau menerima proposal terbaru Mesir untuk  gencatan senjata. Mereka juga terus meluncurkan roket ke Israel. Kabinet Israel, Selasa (15/7), juga membahas proposal gencatan senjata usulan  Mesir. Obama mendukung proposal tersebut.

Demikian pula Paus Fransiskus pun sudah mendesak  kedua belah pihak, Israel dan Hamas, mau menempuh jalan damai dan dialog, bukan perang. Paus jelas amat kecewa dengan banyaknya korban sipil akibat serangan. Padahal baru sebulan lalu, Paus  memprakarsai doa bersama di Vatikan dengan  mengundang Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, dan Presiden Israel, Shimon Peres.

Ayat Alquran, Injil, dan Taurat pun  dibacakan di sebuah taman di Vatikan, Minggu (8/6). Paus duduk di antara Peres dan Abbas. Sekitar 80 pemimpin agama hadir, selain wartawan. Ketiga tokoh lalu  membacakan doa.  Peres berdoa dalam bahasa Ibrani yang mengutip Taurat. Paus dalam bahasa Italia dan mengutip Injil. Terakhir,  Abbas berdoa dalam bahasa Arab dengan  mendaraskan ayat Alquran.

Selanjutnya, ketiganya memberi sambutan. Peres dan Abbas berpegangan tangan, lalu  berpelukan. Menurut Paus, perdamaian membutuhkan keberanian daripada  perang.

Acara doa  digagas Paus sejak kunjungan tiga harinya  ke Palestina pada bulan Mei. Dalam kunjugan itu, Paus sempat  mendatangi Masjid Al Aqsa di Yerusalem, Senin (26/5). Ketika di Yerusalem itu, Paus menyerukan umat Kristen, Yahudi, dan Muslim bekerja sama mengupayakan perdamaian.

Karena  perdamaian berdimensi spiritual, maka  perlu doa. Yerusalem sendiri bermakna sebagai kota damai. Di kota suci bagi tiga agama samawi ini, khususnya  Yerusalem Timur, sepanjang 24 jam juga terlantun doa-doa  dari sinagoga, gereja, dan  masjid. Doa dari ketiga umat beragama itu sudah berlangsung ribuan tahun.

Ironi

Ironisnya perdamaian menjadi sesuatu yang mewah dan mahal di Timur Tengah pada umumnya dan  Gaza khususnya. Memang, manusia  jangan pernah berpikir bahwa doa di Vatikan  bisa menyelesaikan segalanya atau membawa hasil cepat dan menuntaskan masalah.

John L Allen Jr menyebut doa adalah  awal  baik. Ibarat seorang petani, setelah doa, dia juga harus  membajak, menanam benih, memupuk, menyiangi, baru  memetik  panen. Menurut Pierrebattista Pizzaballa, Pemimpin Ordo Fransiskan di Timteng, doa bersama tiga tokoh itu sungguh awal yang baik bagi perwujudan  perdamaian.

Tanah Palestina khususnya, dan Timur Tengah umumnya, yang menjadi asal ketiga agama samawi,  kerap dilanda  konflik, permusuhan, dan kebencian. Tak terhitung jumlah korban. Padahal di kawasan itu, nama Tuhan paling sering disebutkan dan doa-doa  tiada putus disampaikan.

Selain  doa, akar masalahnya harus dirampungkan. Konflik Israel-Palestina  berakar dari klaim rebutan Tanah Air. Pada abad 19, muncul gerakan  rekayasa kelompok-kelompok Yahudi Eropa buah  kongres Basel (Swiss) 1897 yang dipimpin Theodore Herzl. Intinya, mereka ingin  membentuk sebuah Tanah Air bagi bangsa Yahudi yang diaspora  di seluruh dunia.

Keinginan  itu  tidak  masalah, andai  Menlu Inggris, James Arthur Balfour, tidak menjamin dalam  Deklarasi Balfour  1917. Isinya,  Inggris yang ketika itu menguasai  wilayah Timur Tengah termasuk Palestina menjamin berdirinya negara Yahudi di Palestina. Janji diberikan kepada seorang Yahudi Amerika bernama Baron Rothchild.

Dari tahun 1917,  hingga  pendirian  negara Israel  pada 15 Mei 1948, ratusan ribu  rakyat Palestina eksodus. Sebagian  hidup  di banyak kamp pengungsian seperti  Lebanon dan Yordania. Populasi warga Kristen Palestina yang sudah ada sejak zaman Yesus, misalnya, juga menyusut. Mereka lebih suka pindah ke mancanegara.

Sebelum menyerang Gaza,  Israel  terus memprovokasi dengan mendirikan permukiman baru  di Yerusalem Timur. Serangan ke Gaza kali ini pun dari perspektif perang yang adil, tak bisa dibenarkan karena banyak korban sipil. Israel memang berhak membela diri, setiap  diserang roket Hamas, tapi balasannya berlebihan.

Memang serangan Israel ke Gaza akan terus terulang, jika tak ada penyelesaian mendasar. Penyelesaian permanen bisa diwujudkan bila pemerintah Israel dan sekutunya, khususnya Amerika Serikat, yang gemar memveto di PBB, mau  menaikkan status otoritas Palestina sebagai negara merdeka  penuh.

Memang resolusi 181 (II) PBB  yang  mengatur pembagian Palestina menjadi dua:  negara Israel dan Palestina tetaplah menjadi solusi terbaik. Negara Israel sudah berdiri dan berdaulat, sedangkan otoritas Palestina belum.

PBB memang sudah  mengangkat status Palestina  sebagai “negara pengamat non-anggota” sama dengan status Vatikan. Jika status Palestina dinaikkan, mungkin saja  eskalasi kekerasan mereda. Selama otoritas Palestina hanya menjadi  setengah merdeka,  serangan seperti ini  bisa  terus terjadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar