Memutus
Supply dan Demand di Gang Dolly
Ardi Winangun ; Pengamat Sosial
|
OKEZONENEWS,
08 Juli 2014
Meski Walikota Surabaya Tri Rismaharini secara resmi menyatakan menutup
lokalisasi prostitusi Gang Dolly namun usaha mulianya itu tak mudah
dilakukan. Sebab pihak-pihak yang menikmati bisnis haram itu melakukan
perlawanan. Meski sudah dinyatakan tutup, kenyataannya mereka masih membuka
wisma. Bahkan para pekerja seks komersial yang sudah diberi kompensasi ada
yang mengembalikan uang itu dan ingin tetap bertahan.
Dalam menutup lokalisasi, masing-masing daerah memiliki pengalaman
masing-masing. Upaya yang dilakukan oleh kepala daerah itu ada yang langsung
didukung oleh masyarakat sekelilingnya, ada pula yang mendapat perlawanan
dari masyarakat setempat sebab mereka merasa mendapat penghidupan dari
perputaran uang di lokalisasi.
Di sinilah keseriusan kepala daerah dalam menutup lokalisasi ketika
mendapat perlawanan dari sebagian masyarakat. Bila Risma sudah menyatakan
menutup dan mereka melakukan perlawanan, tentu Risma akan melakukan cara-cara
pemaksaan sebab mereka telah melanggar hukum.
Lokalisasi tumbuh, perkembang, dan mati itu tergantung dari teori
ekonomi, supply and demand, penawaran dan permintaan. Bila permintaan
terhadap dunia prostitusi tinggi maka lokalisasi akan tumbuh dan berkembang.
Kalau kita lihat Gang Dolly yang sudah berdiri sejak masa penjajahan Belanda
hingga saat ini, itu menunjukkan bahwa permintaan jasa pekerja seks komersial
di kota itu sangat tinggi.
Permintaan yang tinggi akan jasa kenikmatan itu membuat pekerja seks
komersial bisa bertahan, bahkan ada yang mengatakan sebulan bisa meraup uang
hingga Rp10 juta. Bertahannya para pekerja seks komersial di sana akan
berdampak pada rantai ekonomi lainnya, seperti kebutuhan makan, minum, dan
keperluan sehari-hari. Peluang seperti inilah yang ditangkap oleh masyarakat
sekitarnya sehingga masyarakat bisa menikmati dari bisnis kenikmatan itu.
Permintaan yang tinggi akan pekerja seks komersial dari Gang Dolly
sebab pengelola lokalisasi itu mampu mengemas bisnis itu dengan lihai,
seperti pengunjung bisa memilih sendiri mana pekerja seks yang diinginkan,
apakah karena cantik, seksi, atau warna kulit yang mulus; Selain itu di Gang
Dolly ada regenerasi pekerja seks komersial, setiap saat ada ‘barang baru,’
atau pekerja seks yang berumur belia, anak baru gede, seksi, dan cantik.
Selain pengelola yang mampu menjaga ‘mutu,’ lokalisasi yang berada di
tengah kota membuat orang mudah mengunjungi tempat itu, sama seperti Saritem
Bandung dan Pasar Kembang Jogjakarta. Hanya dengan naik becak, ojek, bemo,
atau angkutan lain yang murah membuat orang gampang menuju ke sana.
Tidak hanya pengunjung yang mudah ke sana namun pekerja seks komersial
juga mudah menuju hotel-hotel yang ada di Surabaya, bila ada permintaan
panggilan, karena lokalisasi Gang Dolly dekat dengan titik-titik hotel
berbintang di kota pahlawan itu.
Intinya Gang Dolly bisa bertahan puluhan tahun karena pengelolaan yang
profesional dan lokasinya yang strategis, mudah dijangkau dari segala
penjuru.
Dengan teori supply and demand ini maka untuk menutup lokalisasi, harus
diputus tingginya permintaan dan penawaran antara pengguna dan pekerja seks
komersial.
Langkah untuk melakukan hal demikian, Pertama, lokalisasi dipindah ke
tempat yang jauh dan tidak strategis. Tak hanya itu, pemerintah harus
mengisolasi tempat itu, seperti tidak membangun infrastruktur jalan, tak
menyediakan kebutuhan listrik dan air bersih.
Bila jaraknya jauh, infrastruktur jalan, listrik, dan air bersih tak
tersedia, kondisi yang demikian tentu membuat suasana untuk menikmati
kenikmatan dari pekerja seks komersial tak akan tercipta sebab bagaimana
orang bisa menikmati hal itu bila suasana nyaman tidak mendukung. Lokalisasi
prostitusi di Ponorogo, di Kedung Banteng, jaraknya jauh dari perkotaan dan
infrastruktur jalan tidak memadai, hal demikian membuat orang malas ke sana.
Kedua, penghuni lokalisasi dibatasi, tak boleh bertambah namun bisa
berkurang. Bila penghuni lokalisasi tetap, itu-itu saja, tak ada barang baru
maka akan membuat pelanggan bosan. Bila lokalisasi itu-itu saja maka penghuni
akan menua. Di sinilah maka penawaran tak menarik sehingga akan menurunkan
permintaan. Cara yang demikian selain akan mengurangi jumlah laki-laki nakal
datang, juga akan mengakibatkan pekerja seks komersial tak laku.
Pengalaman dari pekerja seks komersial di Gang Dolly yang tak laku
membuat mereka kembali ke kampung halaman. Dengan pengalaman ini maka pekerja
seks komersial yang tak ada permintaan tadi akan memikir ulang proffesi dan
bila tak laku maka mereka akan pulang kampung beralih ke proffesi lain.
Ketiga, Bila cara-cara di atas tidak berhasil, maka kita perlu
mencontoh negara Perancis, di mana bila ada laki-laki yang tertangkap atau
ketahuan menggunakan jasa pekerja seks komersial ia akan didenda. Denda yang
dijatuhkan kepada pria hidung belang itu sangat tinggi, 1.500 euro atau
sekitar Rp24,2 juta. Dan cara ini cukup efektif untuk menanggulangi dunia
prostitusi. Jadi dalam hal ini tidak hanya pekerja seks komersial yang
disalahkan atau dihukum namun pengguna juga dikenai tindakan yang sama.
Jadi di sini sebenarnya masalahnya adalah adanya permintaan dan
penawaran. Untuk itulah maka antara permintaan dan penawaran harus dipotong.
Bila dari masyarakat tak ada permintaan, tanpa disuruh pun Gang Dolly akan
tutup sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar