Melawan
Lupa
Anton
Kurnia ; Cerpenis, Esais
|
TEMPO.CO,
01 Juli 2014
Milan
Hubl, sejarawan Republik Cek, menyatakan, "Langkah
pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan
ingatannya .... Tak akan lama, masyarakat itu akan lupa pada masa kini dan
masa lampaunya."
Begitulah,
saat para pemilik kekuasaan-kekuasaan politik, kapital, atau media-berupaya
mensterilkan kesadaran sebuah masyarakat, dipergunakan metode organized forgetting. Kesadaran
kolektif dienyahkan lewat proses melupakan secara terstruktur dan sistematis
dengan berbagai cara: propaganda hitam, pemalsuan fakta, dan pembelokan
sejarah.
Hari-hari
belakangan, perebutan kursi presiden di negeri kita yang tengah menjelang
puncaknya berimbas pada perang propaganda dan kampanye kotor yang telah
sampai pada tahap menghalalkan segala cara. Maka, proses pelupaan dan
pemalsuan fakta pun dilakukan secara sistematis. Kasus memalukan penyebaran
tabloid Obor Rakyat yang berisi fitnah dan hujatan terhadap capres Joko
Widodo dengan berkedok jurnalisme adalah salah satu contohnya.
Contoh
lain adalah pernyataan Gus Dur tentang Prabowo Subianto yang dikutip
sepotong-sepotong sehingga menyimpang dari konteks semula, seakan ulama
karismatis itu mendukung Prabowo sebagai capres. Padahal baru-baru ini
terungkap wawancara Prabowo dengan wartawan Amerika Serikat, Alan Nairn, pada
2001 yang berisi hujatan fisik dan serangan Prabowo terhadap Gus Dur saat
beliau menjabat Presiden RI.
Sebelumnya,
Amien Rais, tokoh reformasi 1998 yang kini makin menyimpang dari semangat
reformasi, dicemooh banyak orang di media sosial karena sikapnya yang tak
konsisten. Pada masa lalu, dia bersuara lantang menuntut Prabowo diseret ke
mahkamah militer berkaitan dengan penculikan aktivis, penembakan mahasiswa,
dan kerusuhan di Jakarta pada Mei 1998. Namun, kini dia pasang badan membela
mantan jenderal itu sebagai calon presiden yang seakan tak punya catatan
kelam di masa lalu, padahal layak dipertanyakan integritas dan komitmennya
terhadap demokrasi dan civil society.
Kasus
terbaru yang menunjukkan ketidakpekaan dan sikap abai terhadap sejarah adalah
rekaman video propaganda dukungan terhadap capres Prabowo oleh musikus Ahmad
Dhani yang mendapat kecaman dari berbagai penjuru dunia.
Di situ,
Dhani mengenakan kostum yang amat mirip seragam Heinrich Himmler, pendiri
pasukan SS Nazi yang dikenal telengas dan haus darah. Pengikut setia Hitler
itu yakin, "Senjata terbaik adalah
teror. Keganasan membuat kita disegani." Tindakan gegabah Dhani ini
tentu justru mencoreng capres yang didukungnya karena sama saja dengan
mencitrakan Prabowo sebagai pemimpin fasistis, chauvinistis, dan kejam
layaknya citra Nazi dalam sejarah.
Demikianlah.
Kita sibuk memproduksi kebodohan tanpa kesadaran untuk mawas diri. Sejarah
ada bagi kita hanya untuk dilupakan sehingga kesalahan terus diperbarui tanpa
rasa jera. Sejarah tak digunakan sebagai cermin tempat kita bisa melihat
kekuatan dan kelemahan di masa silam untuk bekerja keras menuju masa depan
bersama yang lebih baik. Tapi sekadar lalu waktu yang sirna begitu saja
bersama retorika politik.
Rupanya
kita memang telah mengidap semacam amnesia sejarah yang amat parah. Kita
telah menjelma sebuah masyarakat yang sakit dan "lupa ingatan" sehingga menjadi bebal terhadap
kenyataan, sibuk memperebutkan "kekuasaan"
tanpa sadar telah berdiri di tepi jurang kehancuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar