Mahalnya
Harga Kursi Presiden
Riski Ananda ; Wakabid Organisasi GMNI Pekanbaru, Mahasiswa UIN Suska Riau
|
HALUAN,
09 Juli 2014
Secara prosedural, pemilihan umum (pemilu) adalah mekanisme
melakukan seleksi kepimpinan politik. Pemilu sebagai wadah regenerasi
kepimpinan nasional bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Indonesia
sendiri telah melaksanakan pemilu presiden sejak tahun 1955.
Dalam perjalanan berdemokrasinya,
pemilihan presiden (pilpres) secara langsung baru terlaksana setelah
tumbangnya masa Orde Baru dan digantikan era reformasi. Pemilu 2004 menjadi
pilpres secara langsung untuk pertama kalinya dilaksanakan. Dan hari ini, 9
Juli 2014, pesta demokrasi ini akan berlangsung kembali.
Biaya Penyelenggaran
Pilpres
Pilpres di Indonesia termasuk
kegiatan kepemiluan paling mahal di dunia. Indikasinya dapat terlihat dari
alokasi dana yang dianggarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, untuk penyelenggaraan
pilpres 2014 sebesar Rp7,9 triliun untuk 2 putaran. Rinciannya, Rp4
triliun untuk putaran pertama dan Rp3,9 triliun bila terjadi putaran
kedua.
Anggaran itu digunakan KPU
untuk serangkaian kegiatan seputar pemilu yang telah menetapkan 190.307.134
daftar pemilih tetap (DPT) sesuai dengan Keputusan KPU NO:477/Kpts/KPU/2014.
Diantaranya digunakan untuk
pengadaan barang dan jasa keperluan logistik pemilu, bimbingan teknis
pemungutan dan penghitungan suara di KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK,
PPS, dan KPPS.
Selain itu, dana tersebut juga
akan digunakan untuk fasilitas kampanye, pelaksanaan pemungutan dan
penghitungan suara, rekapitulasi penghitungan suara, dan penetapan hasil
pemilu.
Tingginya anggaran penyelenggaraan
pilpres ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan
yang men-capai 17.000 pulau dan jumlah pemilih yang besar dengan
sebarannya yang tidak merata pada 497 kabupaten/kota, 6.980
kecamatan, 81.272 desa.
Biaya Menuju Kursi R1
Begitu juga dalam
perebutan suara untuk Pilpres 9 Juli 2014 oleh kedua pasangan calon
presiden dan wakil presiden yaitu Pasangan Prabowo dan Hatta dengan
Pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla. Secara intensif dan berkesinambungan
keduanya telah menyisir seluruh wilayah yang memiliki potensi suara yang
signifikan untuk dikuasai mulai dari 7 Juni sampai dengan 5 Juli
2104 lalu. Hal ini menjadikan ke dua pasang calon presiden dan wakil
presiden beserta dengan tim suksesnya membuat strategi-strategi untuk
merebut suara rakyat sebagai tujuan akhir dari sebuah ajang kompetisi
politik.
Dalam konteks kompetisi
ini, mau tidak mau kedua pasang calon presiden dan wakil presiden
haruslah mengorganisasi modalitas ekonomi untuk membiayai semua strategi
pemenangannya.
Sangat dibutuhkan biaya
yang cukup besar untuk membiayai berbagai tahapan dimulai dari
pengenalan sampai pada tahapan pemilih memiliki
pilihannya. Seperti biaya untuk komunikasi politik
(cetak,televisi,radio,dunia maya), kampanye akbar, transpotasi darat maupun
udara, serta membiayai pengorganisasian tim kampanye dan lain sebagainya.
Pasca putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap pasal penetapan pasangan calon presiden dan
wakil presiden terpilih ditetapkan hanya menggunakan
50% lebih dari jumlah suara. Pada faktanya, jumlah daftar pemilih tetap
yang menggunakan hak pilihnya tidak ada yang dapat mencapai 100%.
Mengacu pada pemilu legislatif
2014 lalu, KPU menyebutkan partisipasi pemilih hanya mencapai
75.11% yang menggunakan hak pilihnya. Bila menggunakan data partisipasi
pemilih pada pemilihan legislatif 2014 lalu sebesar 75 %
(dibulatkan) dikaitkan dengan DPT Pilpres 2014 maka perkiraan partisipasi
pemilih pilpres 2014 sebesar: 142,730,351 (190.307.134
DPT x 75%). Sedangkan data KPU untuk partisipasi pemilih pilpres 2009
sebesar : 127,983,655 (73% ) dari total DPT sebesar 176,411,434.
Oleh karena itu, kedua pasang
calon presiden dan wakil presiden setidak-tidaknya harus mendapatkan:
142.730.351 perkiraan partisipasi pemilih pileg 2014 x 50% + 1
yaitu: 71.365.177 suara pemilih yang harus direbut untuk dapat
memenangkan ajang kompetisi politik ini. Sebagai perbandingan pada pilpres
2009, penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden mencapai
73,874,562 suara pemilih.
Bila saja digunakan biaya
minimal untuk tahap mengenalkan sampai pada tahapan pemilih memiliki pilihannya
sebesar Rp. 50.000/pemilih. Itu artinya setiap pasangan calon presiden dan
wakil presiden harus menyediakan modalitas ekonomi sebesar:
Rp50.000 x 71.365.177 suara pemilih yang harus direbut pada pilpres
2014 yaitu : Rp.3.568.258.850.000. (Rp3,5 triliun). Maka bila ada
dua pasang calon yang akan bertarung, dibutuhkan dana sebesar
Rp7,136,517,700,000,- (Rp7,1 triliun)
Hitung-hitungan sederhana di
atas sangat mungkin terjadi pada kedua pasang calon presiden dan wakil
presiden selama proses pilpres berlangsung. Hasil riset Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memperkirakan total
dana yang akan bergulir pada Pemilu 2014 yakni sebesar Rp115 triliun
(http://www.republika.co.id/berita/ ).
Kekayaan Ke 2 Calon
Bila melihat laporan
kekayaan ke dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang telah
dilaporkan dan diverifikasi Komisi Pemberantas Korupsi
(KPU), masihlah jauh panggang dari api. Dimana calon
presiden Prabowo memiliki total kekayaan sebesar
Rp1,670.392.580.402 dan USD 7.503.134. Calon wakil presiden
Hatta kekayaan sebesar Rp. Rp30.234.920.584 dan USD75.092.
Untuk pasangan calon presiden
Jokowi sebesar Rp 29.892.946.012 dan USD 27.633. Sedangkan calon
wakil presiden Jusuf Kalla sebesar Rp465.610.495.057 dan USD 1.058.564
Tentunya kedua pasang calon presiden dan wakil presiden ini masih
memerlukan upaya mendapatkan modalitas ekonomi yang dimaksud.
Di sisi lain, merujuk pada
Undang-Undang No.42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden pada pasal 96 tentang dana kampanye, membatasi sumbangan sebesar Rp1
miliar bagi perorangan dan Rp5 miliar bagi perusahaan dengan
mengharuskan setiap pemberi sumbangan mencantumkan identitas yang jelas.
Dana Pihak Ketiga
Melihat besarnya modalitas
ekonomi yang dibutuhkan dan adanya aturan yang membatasinya menjadikan
pilpres ini memiliki risiko yang tinggi untuk ditumpangi pihak ketiga.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, biaya pemilihan presiden
Pilpres 2014 yang cukup besar, bisa membuat para kontestan, mencari bantuan
dari pihak asing dan pemilik modal (http://pemilu.sindonews.com/ ).
Sementara itu Undang-Undang
Pemilu sendiri tidak mengatur posisi pihak ketiga. Terkait itu Prof.
Ramlan Surbakti, menyebutkan. “Kendati KPU sudah melakukan terobosan dengan
membuat peraturan, aturan tersebut masih terbatas. Dalam PKPU No. 17 Tahun
2014, aturan seputar pelaporan dana kampanye hanya diperuntukkan kepada
pihak ketiga yang terdaftar sebagai tim kampanye resmi, lalu bagaimana
dengan yang tidak terdaftar? (www.kemitraan.or.id/latest-news/)
Perhitungan di atas membuka
mata kita betapa mahalnya untuk menjadi pemimpin di negeri ini yang
tidak memungkinkan bagi seseorang yang tidak memiliki sokongan dana
besar dapat terpilih menjadi pimimpin negeri ini. Mahalnya harga
kursi presiden juga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa dengan
biaya sebesar itu rasanya tidak mungkin mendapatkan pemimpin yang
bersih.
Bercermin pada hal di
atas, kita butuh sosok calon pemimpin yang berani memberi transparansi
setiap rupiah yang terpakai untuk berkampanye agar rakyat bisa benar-benar
yakin akan sosok pemimpin yang akan dipilih untuk memimpin negeri sebesar
Indonesia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar