Martir
Demokrasi
Willy Aditya ; Direktur Eksekutif Populis Institute
|
HALUAN,
08 Juli 2014
Perhelatan pemilu legislatif telah sebulan di belakang kita. Namun melihat
dari begitu ramainya pemberitaan di media massa tentang beragam sumbing
pelaksanaan pesta demokrasi tersebut, waktu sebulan ini berlalu dalam nuansa
getir. Betapa tidak, sembari menunggu hasil penetapan dari KPU yang berjalan
dramatis di beberapa daerah, kita juga dihadapkan pada kenyataan bahwa
praktik berdemokrasi yang tengah berlaku di Indonesia belum seperti yang
dimitoskan; negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Apa pasal? Laporan
kecurangan bertaburan di meja pengawas pemilu hingga pihak kepolisian.
Kita seperti menemui wajah
demokrasi Indonesia yang sesungguhnya, bahwa dalam hakikat demokrasi kita
menang dalam prosedur, tetapi rumpang dalam esensi, apalagi dalam etika
politik.
Kecurangan pemilu 2014 ini
terjadi dari yang tampak di depan mata hingga yang kasat mata, pun telah
dimulai semenjak sebelum pemilu digelar, dan kemudian semakin tinggi jumlah
temuannya setelah hari pencoblosan. Praktik politik yang sesungguhnya
mensyaratkan aturan main yang fair dan demokratis bak jauh
panggang dari api. Sebaliknya, yang kita temui adalah demokrasi dengan
ekspresi yang brutal bahkan cenderung barbar. Berapa banyak temuan yang memperlihatkan
kecurangan dalam penghitungan suara, permainan belakang layar memperjualbelikan
suara warga negara, bahkan pihak penyelenggara pemilu sebagai wasit pun
terseret dalam pusaran arus. Masyarakat Indonesia diberi tontonan tentang
bagaimana makhluk bernama manusia yang memiliki kecenderungan homo
homini lupus; manusia ibarat serigala bagi
manusia lain yang tak segan memakan satu sama lain. Sebuah kenyataan
brutalisme yang dipraktikkan oleh pelaku-pelaku yang mengaku sebagai
penegak demokrasi.
Apa yang Tengah Terjadi?
Kondisi yang carut-marut ini
sesungguhnya telah diprediksi oleh banyak pihak, berangkat dari hal yang
paling mendasar seperti kisruh DPT yang pengumumannya diundur sampai tiga
kali. Bahkan data dari e-KTP juga tidak membantu, padahal sejatinya itulah
tujuan dari proyek tersebut dilaksanakan.Jumlah masyarakat yang tidak
memiliki NIK (Nomor Induk
Kependudukan) mencapai lebih dari 10 juta jiwa,
jumlah ini belum terhitung temuan pemilih ganda, pemilih yang telah
meninggal, dsb. Maka dengan meningkatnya persentase jumlah kertas suara
cadangan menjadi sebuah keniscayaan sekaligus menyisakan tanda tanya besar.
Sungguh bak komedi satir, jika pada kenyataannya selepas pemilu tercatat
partisipasi dari DPT menurun sedangkan angka partisipasi nasional justru naik
72%, bahkan ada yang mencapai 80%.
Kita perlu mengamati satu
persatu kekurangan pelaksanaan pemilu kali ini, apakah itu surat suara yang
tertukar, kotak suara dari kardus, atau banyaknya kasus formulir C1 yang
ganda, antara salinan yang dipegang saksi dengan yang diunggah oleh KPU, dan
yang dimiliki Panwaslu. Dapatlah kita berkesimpulan bahwa sedari awal,
praktik yang terkesan sistematis yang berujung pada keabsahan rekapitulasi. Maka,
penggelembungan suara memang menjadi indikasi yang marak terjadi.Padahal
dari sistematika yang dirancang, pemilu tahun ini lebih baik dari pemilu yang
sudah-sudah. Tapi apa mau dikata, sistem sempurna yang dirancang sebagai role of
the game tak berarti apa-apa jika para pemain hingga pemangku kebijakan
yang tak bermain fair. Indikasi terjadinya
makan-memakan perolehan suara lawan bahkan kawan menjadi nilai merah bagi
kualitas mental dan etika calon para pemimpin yang telah kita pilih.
Dan banyak lagi temuan-temuan
di lapangan, fakta yang menjadi obrolan terbatas, dan laporan dari praktisi
yang tidak dipublikasikan. Hal-hal tersebut dapat dengan mudah terjadi karena
lemahnya struktur KPU sebagai penyelenggara pemilu, sehingga mendorong suatu
penciptaan kondisi menguatnya suatu operasi bawah tanah dan dominannya
aktor-aktor di luar partai politik dan masyarakat sipil. Indikasi-indikasi
kecurangan yang disengaja mulai bermunculan seiring dengan banyaknya
kejanggalan dalam rilis dari pihak penyelenggara pemilu yang berbeda dengan
yang di lapangan.
Jika kita melihat dengan
seksama dan melakukan analisa terhadap beberapa temuan di atas, dengan memakai
pendekatan Gramscian tentang perang posisi (war of position) dan hegemoni
tandingan (counter-hegemony), maka terdapat relasi antar aktor yang bekerja dalam pemilu
legislatif 2014 ini. Dalam perang posisi, upaya yang dilakukan untuk mencapai
kekuasaan supremasi politik hanya bisa dicapai dengan perubahan mendasar,
yaitu menentukan perimbangan kekuatan dalam masyarakat sipil. Indonesia
memiliki tradisi perang posisi yang hebat di masa pemerintahan Orde Baru,
ketika dalam pemilu, para pemilih merasa dalam situasi intimidatif untuk
memilih Golkar. Sehingga kekuasaan akan selalu berada di tangan Golkar.
Perang posisi ini merupakan
operasi teritorial yang dilakoni secara sistematis oleh pihak yang mengendalikan
kekuasaan formal dengan legitimasi hukum yang kuat, seperti kepala daerah,
TNI, Polri, dan birokrasi. Inilah yang tengah diupayakan secara tak tampak,
upaya untuk mengendalikan hasil pemilu dengan memunculkan banyak drama,
seperti surat suara yang tertukar atau surat suara yang telah dicoblos
terlebih dahulu, dan lainnya. Disadari atau tidak, hal-hal tersebut melibatkan
struktur yang bekerja sistematis, yaitu penyelenggara pemilu.
Selain itu, dengan pendekatan
hegemoni tandingan, yang menjadi tandingan bagi supremasi sipil yang tengah
berjalan, di dalam proses pergantian kekuasaan yang menjadi syarat demokrasi.
Praktik ini merupakan upaya mengusik psikologis publik dan menggoyang
keyakinan atas kedamaian dalam proses pemilu dan keabsahannya. Dalam hal ini,
ada dua pihak yang paling dominan, yaitu Media dan Intelijen.Media berperan
dalam membentuk opini secara langsung, sementara Intelejen berperan secara
sembunyi-sembunyi (clandestine) untuk suatu tujuan.
Upaya ini sering digunakan oleh kekuasaan
dalam setiap peristiwa politik namun dengan berbagai macam tipologi, seperti
pembunuhan politik seperti teror terhadap caleg di Aceh, pembunuhan karakter,
pengelembungan data, intimidasi pihak-pihak tertentu, dll.
Lalu apa tujuan dari dari
perang posisi dan hegemoni tandingan ini dalam kehidupan demokrasi? Relevansi
utama dari dua hal tersebut berkaitan langsung dengan pelemahan agen-agen
demokrasi (disfuction). Sehingga partai politik dan masyarakat sipil sebagai pilar
demokrasi tidak berarti, bahkan mengalami kegagalan dalam tugasnya.Inilah
yang menjadi titik kontemplasi bagi partai politik berserta elitnya yang
bertarung dalam kontestasi April lalu. Bahwa ada kondisi yang menanti masa
depan demokrasi Indonesia, kondisi yang compang-camping. Bahkan bukan tidak
mungkin sulit mempertahankan eksistensinya.
Martir Bagi Demokrasi
Indonesia
Demokrasi sesungguhnya adalah
ruang pertarungan ide dan aktor, maka demokrasi adalah tentang politik
gagasan mana yang lebih didukung atau siapa yang lebih dipilih untuk
dijadikan pemimpin. Oleh karenanya, ruang demokrasi memang tidak pernah
statis atau berjalan di tempat. Kadang kala kecenderungannya bergerak ke
arah yang progresif, tumbuhnya semangat partisipasi dan deliberatif. Namun
juga terkadang ia bergerak ke arah ekstrim lain, yang melahirkan fasisme dan
politik dinasti yang feodal.
Lalu apakah dalam melihat
kenyataan kualitas pemilu dan hasilnya ini, kita hanya berdiam diri menerima?
Ada hal besar yang dikorbankan jika demikian pilihan kita; masa depan
Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia akan semakin terjebak dan jauh
terjerumus pada praktik politik kotor (dirty war), dan dari sanalah pemimpin yang akan memimpin bangsa ini
berasal. Apa lacur, upaya perbaikan kondisi negara dalam rangka menyongsong
masa depan menjadi hal yang dipertarukan di tangan orang yang salah. Maka tak
bisa ditawar lagi, demi masa depan Indonesia dan demi mewujudkan demokrasi
yang hakiki, kita memerlukan martir untuk berkorban.
Ya, kita memerlukan sebuah
lompatan besar, sebuah pengorbanan yang besar, karena masa depan Indonesia
bukanlah hal yang bisa dipertaruhkan dalam transaksi politik. Bangsa ini
membutuhkan keberanian untuk mendobrak kebobrokan yang semakin berakar ini. Dalam
perjuangan mewujudkan kesetaraan, sistem bernegara yang egaliter,
bermartabat, dan demokratis, tak asing kita temukan martir sebagai pemacu
untuk meningkatkan kualitasnya. Martin Luther King Jr, salah satu dari
banyaknya martir bagi pergerakan civil rights di Amerika Serikat untuk
mencapai level demokrasi yang akomodatif terhadap kesetaraan bagi warga
kulit hitam dan hak kaum perempuan. Demikian pula halnya di Indonesia, untuk
bisa menghirup udara demokratis dan hak kebebasan berbicara dan berkumpul
harus dilalui dengan tumbang dan hilangnya aktivis pada tahun 1998. Reformasi
dan keterbukaan yang kita rasakan adalah ‘naik kelas’ demokrasi yang telah
kita rasakan.
Pertanyaannya, siapakah yang
menjadi martir demi demokrasi baru di Indonesia hari ini? Tak lain jawabannya
adalah partai politik baru, yang tidak memiliki beban sejarah terhadap masa
lalu. Dan terlebih penting, partai baru membutuhkan ‘pengujian’ apakah ia
hadir memang sebagai pembeda dari apa yang telah ada dan didirikan untuk
membawa perubahan. Partai baru pula yang dapat dengan tegas dan lantang
menunjukkan ‘keberpihakannya’ kepada nilai luhur demokrasi. Yang dimaksudkan
dengan hal itu bukan semata-mata kemampuan untuk menduduki atau meraih jabatan,
atau melaksanakan program yang usang, namun keberanian untuk meletakkan dasar
bagi seluruh konsepsi kehidupan bagi demokrasi yang baru. Sehingga
nilai-nilai demokrasi menjadi pondasi yang kokoh di masa depan, serta
kuat mengakarkan ideologi dan basis politiknya kepada rakyat. Ini adalah
ranah momentum.
Melihat realitas politik dan
praktik berdemokrasi kita saat ini, dengan buramnya kualitas prosedur dan
lemahnya esensi pemilu Indonesia, maka kita sungguh butuh bangunan demokrasi
yang baru, dan martir seperti yang telah diungkapkan di atas. Karena jelas,
praktik politik kita saat ini layaknya eskpresi predatori yang jauh dari
keluruhan demokrasi itu sendiri. Maka tak heran jika masyarakat umumnya
mengambil kesimpulan bahwa politik negeri ini sudah mengarah pada praktik
yang tak beradab (uncivilized) yang mengingkari tugas sejarah politik sebagai instrumen
memanusiakan manusia.
Dan yang terlebih penting,
menjadi martir tentu mensyaratkan sebuah kerelaan bahkan keberanian untuk
membela dan membongkar realitas yang ada, walaupun pada saat yang bersamaan
kita juga kadang turut menjadi aktor, melakukan cara-cara yang tak beradab
tersebut. Karena esensinya adalah bahwa partai politik ada dan didirikan,
elitnya berpolitik dan berkontestasi tidak semata-mata hanya untuk merebut
kekuasaan. Partai politik bukan hanya tiket masuk tol kekuasaan belaka.
Tetapi
partai politik adalah medium yang menjadi pelopor (avant-garde) pendidikan politik, dan
menjadi pengawas utama bagi transformasi kesadaran publik (civilization). Sehingga,
tidak bisa tidak, inilah momentum keberpihakan bagi partai baru, dengan tidak
menutup mata terhadap praktik politik yang sarat anti-demokrasi ini. Sebuah
waktu yang tepat untuk membuktikan komitmennya sebagai agen pelopor yang
mengembalikan keadaban politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar