Jumat, 11 Juli 2014

Martir Demokrasi

Martir Demokrasi

Willy Aditya  ;   Direktur Eksekutif Populis Institute
HALUAN, 08 Juli 2014
                                                


Perhelatan pemilu legis­latif telah sebulan di belakang kita. Namun melihat dari begitu ramainya pem­beritaan di media massa tentang beragam sumbing pelaksanaan pesta demokrasi tersebut, waktu sebulan ini berlalu dalam nuansa getir. Betapa tidak, sembari menung­gu hasil penetapan dari KPU yang berjalan dramatis di beberapa daerah, kita juga dihadapkan pada kenyataan bahwa praktik berdemokrasi yang tengah berlaku di Indo­nesia belum seperti yang dimitoskan; negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Apa pasal? Laporan kecurangan bertaburan di meja pengawas pemilu hingga pihak kepo­lisian.

Kita seperti menemui wajah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya, bahwa dalam hakikat demokrasi kita menang dalam prosedur, tetapi rumpang dalam esensi, apalagi dalam etika politik.

Kecurangan pemilu 2014 ini terjadi dari yang tampak di depan mata hingga yang kasat mata, pun telah dimulai semenjak sebelum pemilu digelar, dan kemudian semakin tinggi jumlah temuannya setelah hari pencoblosan. Praktik politik yang sesung­guhnya mensyaratkan aturan main yang fair dan demokratis bak jauh panggang dari api. Sebaliknya, yang kita temui adalah demokrasi dengan ekspresi yang brutal bahkan cenderung barbar. Berapa banyak temuan yang mem­perlihatkan kecurangan dalam penghitungan suara, permainan belakang layar memper­jual­belikan suara warga negara, bahkan pihak penye­lenggara pemilu sebagai wasit pun terseret dalam pusaran arus. Masyarakat Indonesia diberi tontonan tentang bagaimana makhluk bernama manusia yang memiliki kecenderungan homo homini lupus; manusia ibarat serigala bagi manusia lain yang tak segan memakan satu sama lain. Sebuah kenya­taan brutalisme yang diprak­tikkan oleh pelaku-pelaku yang menga­ku sebagai penegak demokrasi.

Apa yang Tengah Terjadi?

Kondisi yang carut-marut ini sesungguhnya telah dipre­diksi oleh banyak pihak, berangkat dari hal yang paling mendasar seperti kisruh DPT yang pengumumannya diundur sampai tiga kali. Bahkan data dari e-KTP juga tidak memban­tu, padahal sejatinya itulah tujuan dari proyek tersebut dilaksanakan.Jumlah masya­rakat yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk 
Kependudukan) mencapai lebih dari 10 juta jiwa, jumlah ini belum ter­hitung temuan pemilih ganda, pemilih yang telah meninggal, dsb. Maka dengan mening­katnya persentase jumlah kertas suara cadangan menjadi sebuah keniscayaan sekaligus menyisakan tanda tanya besar. Sungguh bak komedi satir, jika pada kenyataannya selepas pemilu tercatat partisipasi dari DPT menurun sedangkan angka partisipasi nasional justru naik 72%, bahkan ada yang mencapai 80%.

Kita perlu mengamati satu persatu kekurangan pelak­sanaan pemilu kali ini, apakah itu surat suara yang tertukar, kotak suara dari kardus, atau banyaknya kasus formulir C1 yang ganda, antara salinan yang dipegang saksi dengan yang diunggah oleh KPU, dan yang dimiliki Panwaslu. Dapatlah kita berkesimpulan bahwa sedari awal, praktik yang terkesan sistematis yang berujung pada keabsahan rekapitulasi. Maka, peng­gelem­bungan suara memang menjadi indikasi yang marak terja­di.Padahal dari sistematika yang dirancang, pemilu tahun ini lebih baik dari pemilu yang sudah-sudah. Tapi apa mau dikata, sistem sempurna yang dirancang sebagai role of the game tak berarti apa-apa jika para pemain hingga pemangku kebijakan yang tak bermain fair. Indikasi terjadinya makan-memakan perolehan suara lawan bahkan kawan menjadi nilai merah bagi kualitas mental dan etika calon para pemimpin yang telah kita pilih.

Dan banyak lagi temuan-temuan di lapangan, fakta yang menjadi obrolan terbatas, dan laporan dari praktisi yang tidak dipublikasikan. Hal-hal tersebut dapat dengan mudah terjadi karena lemahnya struktur KPU sebagai penyelenggara pemilu, sehingga mendorong suatu penciptaan kondisi menguatnya suatu operasi bawah tanah dan dominannya aktor-aktor di luar partai politik dan masyarakat sipil. Indikasi-indikasi kecurangan yang disengaja mulai bermun­culan seiring dengan banyaknya kejanggalan dalam rilis dari pihak penyelenggara pemilu yang berbeda dengan yang di lapangan.

Jika kita melihat dengan seksama dan melakukan analisa terhadap beberapa temuan di atas, dengan me­makai pendekatan Gramscian tentang perang posisi (war of position) dan hegemoni tan­dingan (counter-hegemony), maka terdapat relasi antar aktor yang bekerja dalam pemilu legislatif 2014 ini. Dalam perang posisi, upaya yang dilakukan untuk mencapai kekuasaan supremasi politik hanya bisa dicapai dengan perubahan mendasar, yaitu menentukan perimbangan kekuatan dalam masyarakat sipil. Indonesia memiliki tradisi perang posisi yang hebat di masa pemerintahan Orde Baru, ketika dalam pemilu, para pemilih merasa dalam situasi inti­midatif untuk memi­lih Golkar. Sehingga kekuasaan akan sela­lu berada di tangan Golkar.

Perang posisi ini meru­pakan operasi teritorial yang dila­koni secara siste­matis oleh pihak yang mengen­dalikan kekua­saan formal dengan legi­timasi hukum yang kuat, seperti kepala daerah, TNI, Polri, dan birokrasi. Inilah yang tengah diupayakan secara tak tampak, upaya untuk mengen­dalikan hasil pemilu dengan memun­culkan banyak drama, seperti surat suara yang tertukar atau surat suara yang telah dicoblos terlebih dahulu, dan lainnya. Disadari atau tidak, hal-hal tersebut meli­batkan struktur yang bekerja sistematis, yaitu penyelenggara pemilu.

Selain itu, dengan pen­dekatan hegemoni tandingan, yang menjadi tandingan bagi supremasi sipil yang tengah berjalan, di dalam proses pergantian kekuasaan yang menjadi syarat demokrasi. Praktik ini merupakan upaya mengusik psikologis publik dan menggoyang keyakinan atas kedamaian dalam proses pemilu dan keabsahannya. Dalam hal ini, ada dua pihak yang paling dominan, yaitu Media dan Intelijen.Media berperan dalam membentuk opini secara lang­sung, sementara Intelejen berperan secara sembunyi-sembunyi (clandestine) untuk suatu tujuan. 

Upaya ini sering digunakan oleh kekuasaan dalam setiap peristiwa politik namun dengan berbagai macam tipologi, seperti pembunuhan politik seperti teror terhadap caleg di Aceh, pembunuhan karakter, pengelembungan data, intimidasi pihak-pihak tertentu, dll.

Lalu apa tujuan dari dari perang posisi dan hegemoni tandingan ini dalam kehidupan demokrasi? Relevansi utama dari dua hal tersebut berkaitan langsung dengan pelemahan agen-agen demokrasi (disfuc­tion). Sehingga partai politik dan masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi tidak berarti, bahkan mengalami kegagalan dalam tugasnya.Inilah yang menjadi titik kontemplasi bagi partai politik berserta elitnya yang bertarung dalam kontestasi April lalu. Bahwa ada kondisi yang menanti masa depan demokrasi Indonesia, kondisi yang compang-camping. Bah­kan bukan tidak mungkin sulit mempertahankan eksistensinya.

Martir Bagi Demokrasi Indonesia

Demokrasi sesungguhnya adalah ruang pertarungan ide dan aktor, maka demokrasi adalah tentang politik gagasan mana yang lebih didukung atau siapa yang lebih dipilih untuk dijadikan pemimpin. Oleh karenanya, ruang demokrasi memang tidak pernah statis atau berjalan di tempat. Kadang kala kecenderungannya ber­gerak ke arah yang progresif, tumbuhnya semangat parti­sipasi dan deliberatif. Namun juga terkadang ia bergerak ke arah ekstrim lain, yang melahirkan fasisme dan politik dinasti yang feodal.

Lalu apakah dalam melihat kenyataan kualitas pemilu dan hasilnya ini, kita hanya berdiam diri menerima? Ada hal besar yang dikorbankan jika demikian pilihan kita; masa depan Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia akan semakin terjebak dan jauh terjerumus pada praktik politik kotor (dirty war), dan dari sanalah pemimpin yang akan memimpin bangsa ini berasal. Apa lacur, upaya perbaikan kondisi negara dalam rangka menyongsong masa depan menjadi hal yang dipertarukan di tangan orang yang salah. Maka tak bisa ditawar lagi, demi masa depan Indonesia dan demi mewujudkan demokrasi yang hakiki, kita memerlukan martir untuk berkorban.

Ya, kita memerlukan se­buah lompatan besar, sebuah pengorbanan yang besar, karena masa depan Indonesia bukanlah hal yang bisa diper­taruhkan dalam transaksi poli­tik. Bangsa ini membutuhkan keberanian untuk mendobrak kebobrokan yang semakin berakar ini. Dalam perjuangan mewujudkan kesetaraan, sistem bernegara yang egaliter, bermartabat, dan demokratis, tak asing kita temukan martir sebagai pemacu untuk mening­katkan kualitasnya. Martin Luther King Jr, salah satu dari banyaknya martir bagi pergerakan civil rights di Amerika Serikat untuk men­capai level demokrasi yang akomodatif terhadap kesetaraan bagi warga kulit hitam dan hak kaum perempuan. Demi­kian pula halnya di Indonesia, untuk bisa menghirup udara demokratis dan hak kebebasan berbicara dan berkumpul harus dilalui dengan tumbang dan hilangnya aktivis pada tahun 1998. Reformasi dan keter­bukaan yang kita rasakan adalah ‘naik kelas’ demokrasi yang telah kita rasakan.

Pertanyaannya, siapakah yang menjadi martir demi demokrasi baru di Indonesia hari ini? Tak lain jawabannya adalah partai politik baru, yang tidak memiliki beban sejarah terhadap masa lalu. Dan terlebih penting, partai baru membutuhkan ‘pe­­ngu­jian’ apa­kah ia hadir me­mang sebagai pembeda dari apa yang telah ada dan didirikan untuk membawa pe­ru­bahan. Partai baru pula yang dapat dengan tegas dan lantang menun­jukkan ‘keber­pihakannya’ kepada nilai luhur demo­krasi. Yang dimak­sudkan dengan hal itu bukan semata-mata kemam­puan untuk menduduki atau meraih ja­batan, atau melaksanakan program yang usang, namun keberanian untuk meletakkan dasar bagi seluruh konsepsi kehidupan bagi demokrasi yang baru. Sehingga nilai-nilai demokrasi menjadi  pondasi yang kokoh di masa depan, serta kuat mengakarkan ideologi dan basis politiknya kepada rakyat. Ini adalah ranah momentum.

Melihat realitas politik dan praktik berdemokrasi kita saat ini, dengan buramnya kualitas prosedur dan lemahnya esensi pemilu Indonesia, maka kita sungguh butuh bangunan demokrasi yang baru, dan martir seperti yang telah diungkapkan di atas. Karena jelas, praktik politik kita saat ini layaknya eskpresi predatori yang jauh dari keluruhan demokrasi itu sendiri. Maka tak heran jika masyarakat u­mumnya mengambil kesim­pulan bahwa politik negeri ini sudah mengarah pada praktik yang tak beradab (uncivilized) yang mengingkari tugas sejarah politik sebagai instrumen memanusiakan manusia.

Dan yang terlebih penting, menjadi martir tentu mensya­ratkan sebuah kerelaan bahkan keberanian untuk membela dan membongkar realitas yang ada, walaupun pada saat yang bersamaan kita juga kadang turut menjadi aktor, mela­kukan cara-cara yang tak beradab tersebut. Karena esen­sinya adalah bahwa partai politik ada dan didirikan, elitnya berpolitik dan berkon­testasi tidak semata-mata hanya untuk merebut kekua­saan. Partai politik bukan hanya tiket masuk tol kekuasaan belaka. 

Tetapi partai politik adalah medium yang menjadi pelopor (avant-garde) pendidikan politik, dan menjadi pengawas utama bagi transformasi kesadaran publik (civi­liza­tion). Sehingga, tidak bisa tidak, inilah momentum keberpihakan bagi partai baru, dengan tidak menutup mata terhadap praktik politik yang sarat anti-demo­krasi ini. Sebuah waktu yang tepat untuk membuktikan komitmennya sebagai agen pelopor yang mengembalikan keadaban politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar