Mari
Bicara Ketulusan Politik
Geger Riyanto ; Esais
|
KORAN
TEMPO, 09 Juli 2014
Judulnya "Sebuah Meteor dari Kampung". Kalau Anda pelanggan
majalah Tempo, Anda mengetahuinya. Jokowi, foto artikel itu memperlihatkan,
berdiri di hadapan pendukungnya yang menghampar dari satu ujung Monas ke
ujung Monas lainnya. Satu sosok dengan perawakan ceking khasnya. Ribuan warga
terbentang seperti pasir, memperhatikan saksama setiap geriknya dengan
antusias.
Kalau pembaca budiman pendukung capres bersangkutan, boleh jadi ada
kepuasan yang tak terjelaskan, bahkan sekadar menatap gambar tersebut.
Demikian pula saat mencerap foto serupa yang diambil pada kesempatan
lain-"Konser Salam Dua Jari" di Gelora Bung Karno. Sang calon
mengacungkan salam dua jari, isyarat khasnya. Sekujur latar belakangnya, dari
lapangan hingga tribun atas, adalah para pendukungnya.
Sebuah momen eksepsional? Pendek saja, tidak. Pada kampanye PDIP untuk
pemilu demokratis pertama 1999, jalan-jalan protokol merekah merah. Megawati
tak pernah berorasi lebih dari 10 menit, seorang wartawan Time menulis. Tapi
ribuan pendukung yang memerahkan kampanyenya gegap gempita cukup dengan
kehadiran bungkamnya. Kemudian pada 2004, situasi sama berulang. Ke mana pun
SBY pergi berkampanye, orang-orang dengan sendiri menyerbunya. Popularitasnya
sendiri nyaris tak masuk akal, memberikannya perolehan suara di atas 60
persen dalam pemilihan. Sebuah standar kemenangan telak pemilu demokratis yang
sulit disaingi.
Namun kini mari kita bayangkan, apakah di mata para calon pejabat ini
massa pendukung merupakan insan manusia ataukah semata kerumunan pendatang
suara? Apakah pembaca budiman, di mata mereka, berharga sebagai individu
ataukah semata butiran remeh di antara puluhan juta suara yang diperlukan
guna memperoleh kekuasaan eksekutif tertinggi? Jawabannya mudah. Bila
seseorang memilih yang pertama, ia dipastikan naif.
Hanya, rasionalitas politik, yang memandang penduduk tak lebih dari
komoditas politik, pada hari-hari yang aneh ini berjalan beriringan dengan
hasrat para warga ini sendiri. Sukarno, suri tauladan siapa pun yang
bercita-cita menjadi figur populis, Anda ingat, gemar menekankan jumlah
penduduk sebagai kekuatan nasional. Dan siapa di antara ribuan audiens
pidatonya yang merasa dieksploitasi mendengar diri mereka diperlakukan
sebagai obyek, alih-alih subyek? Sebagai amunisi politik alih-alih subyek
dengan hak-hak lengkapnya selaku warga negara?
Para pemilih, pada momen-momen ini, bukan lagi tak masalah menjadi
sekadar seorang penonton di antara lautan manusia yang remeh, tak berarti.
Kita, pada kenyataannya, mendambakannya--mendambakan untuk menjadi bukan
siapa-siapa dan sekadar partikel kecil dalam satu gerak masif untuk tujuan
yang kabur menunaikan kepentingan siapa. Atau, kalaupun ada kepentingan yang
jelas-jelas ditegakkan, bukankah ia milik sang figur dan rombongan elite yang
mengikatnya dengan kontrak tak terhindarkan?
Bukannya semua ini bermasalah. Tapi, bila demikian tulus dan tidak
egoisnya alasan kita memilih, hal pertama yang patut disadari adalah kita tak
benar-benar punya hak untuk mengeluh nanti. Pikirkan baik-baik ungkapan klise
Kennedy yang masih dianggap inspiratif hari ini, "Jangan tanya apa yang
negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kau berikan kepada
negara." Kita, noktah kecil kemenangan kekuatan-kekuatan besar yang bisa
dibuang kapan pun, tak boleh menuntut timbal balik. Sungguh sebuah
kebijaksanaan politik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar