Rabu, 02 Juli 2014

Kapitalisme Membunuh Sepakbola Eropa

Kapitalisme Membunuh Sepakbola Eropa

Ardi Winangun  ;  Pengamat Sosial-Politik
OKEZONENEWS, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Piala Dunia 2014 yang diselenggarakan di Brasil menjadi catatan menarik sejak Piala Dunia pertama kalinya digelar pada tahun 1930. Catatan menarik dari Piala Dunia tahun ini adalah tim sekaliber dan pernah menjadi juara Piala Dunia, seperti Inggris, Spanyol, dan Italia, sudah gagal di babak penyisihan grup. Di grup masing-masing, mereka mengalami kekalahan dua kali atau cuma menang dan seri sekali sehingga poin yang diraih menempatkan mereka berada di bawah urutan dua.

Semuanya terheran-heran dengan kegagalan Spanyol, Inggris, dan Italia, di babak awal. Terheran-heran sebab di ketiga negara itu merupakan kiblat sepakbola profesional. Di negara-negara itu klub-klub sepakbola profesional bercokol. Dan klub-klub itu merupakan simbol dan bukti kesuksesan mengelola sepakbola dari segi bisnis.

Orang melihat bagaimana selain taburan pemain bintang, di Barcelona FC, Real Madrid, Manchester United, Liverpool, Chelsea, Manchester City, Inter Milan, AC Milan, juga menjadi mesin pendulang uang yang melimpah yang diraih dari iklan, merchandise, dan pendapatan tiket. Banyak perusahaan besar di dunia rela menggelontorkan miliaran rupiah demi nama perusahaannya tertulis di jersey.   

Dengan pemain bertabur bintang, tentu bagi pemain-pemain di Spanyol, Italia, dan Inggris, tak aneh dan sudah biasa saat berjumpa dengan pemain bintang. Bagi pemain sepakbola di Spanyol, Messi dan Christian Ronaldo sudah biasa, setiap hari bertemu. Pun demikian, bagi pesepakbola Inggris, bertemu dengan Luiz Suarez tak aneh. Kepada mereka-merekalah baik pesepakbola Inggris sendiri atau pemain dari luar, saling belajar.

Bila pemain-pemain dari Amerika Latin dan Afrika semangat dalam Piala Dunia sebab mereka berpikir akan menghadapi tim nasional dan pemain idolanya sehingga hal ini memicu andrenalinnya untuk bermain sebaik-baiknya demi bisa menaklukkan idolanya. Namun bagi pesepakbola Spanyol, Italia, dan Inggris, bertemu dengan pemain besar sudah biasa bahkan mereka adalah kawannya sendiri di klub sehingga hal demikian tidak menimbulkan semangat.

Profesionalisme dari kapitalisme pada sepakbola di Spanyol, Inggris, dan Italia, secara perlahan-lahan dan tidak disadari telah membunuh karakter dan jiwa nasionalisme sepakbola mereka. Gelontoran uang dalam kontrak yang ditandatangani pesepakbola profesional yang jumlahnya miliaran rupiah, telah mengubah mental mereka sedikit demi sedikit. Uang itu telah membuat mental mereka menjadi ‘matre.’ Akibatnya bila dibayar sedikit maka permainan mereka menjadi tak semangat.

Panggilan tugas negara untuk menjadi pemain tim nasional menjadi sebuah kebanggaan, tapi itu dulu. Namun sekarang menjadi pemain tim nasional sudah biasa, tak ada yang istimewa. Mengapa demikian? Karena bermain di tim nasional hanya mendapat uang saku dan bonus bila menang dan nilainya tak besar-besar amat. Tetapi bila bermain di klub proffesional, bonusnya melimpah. Jadi tim nasional mereka adalah klub-klub proffesional yang wah itu. Mereka bisa jadi lebih merasa nyaman dengan bermain di Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Chelsea, Manchester City, AC Milan, Juventus, dan lain sebagainya. Sebab ada duitnya.

Ketika kemenangan hanya menjadi ukuran untuk meraih keuntungan maka klub-klub sepakbola memilih cara instan menyediakan pemain. Klub hanya memilih dan membeli pemain yang bagus. Bila mereka tak bagus lagi, kontraknya tak diperpanjang dan selanjutnya membeli pemain bagus lainnya. Hal demikian membuat regenerasi tidak dipikirkan sehingga menjadi mandeg bahkan mati. Akibatnya pemain Spanyol, Italia, Inggris, dan negara Eropa lainnya, itu-itu saja. Kondisi yang demikian membuat pemain menjadi tua dan gerakannya menjadi lamban, baik ketika mengejar atau membaca arah bola.

Hilangnya semangat bermain pada pesepakbola Spanyol, Italia, dan Inggris selain ‘matre,’ mereka juga jenuh akibat dari jadwal pertandingan liga di negaranya dan liga Eropa yang yang bergulir setiap hari. Dalam sepakbola proffesional ternyata juag ada istilah Time Is Money. Jadi setiap jadwal pertandingan akan menghasilkan uang. Tak heran bila liga sepakbola diputar tak henti-henti. Bila Piala Dunia hanya sebulan, mereka melakoni liga setiap tahun. Kapitalisme sepakbola inilah yang membuat para pemain mengalami pada masa titik jenuh sehingga membuat mereka kehilangan semangat bertanding pada moment-moment tertentu. Anehnya moment itu saat Piala Dunia.

Dengan paparan di atas kita semuanya harus bisa mengambil hikmah bahwa kapitalisme pada sepakbola yang tak terkendali akan merugikan sepakbola nasional. Kapitalisme pada sepakbola Eropa membuat sepakbola di benua itu menjadi jenuh dan kehilangan roh sehingga masa depan sepakbola bergeser ke Afrika dan Amerika Latin. Tim nasional yang berasal dari negara yang terbilang miskin dan liga sepakbolanya masih sangat memprihatinkan namun tim nasionalnya sangat luar biasa. Di sini mereka mempunyai semangat. Lihat saja bagaimana Costaricca, Uruguay, Columbia, Ghana, Chile, mampu mempermalukan tim-tim nasional tangguh dari Eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar