Kapitalisme
Membunuh Sepakbola Eropa
Ardi
Winangun ; Pengamat Sosial-Politik
|
OKEZONENEWS,
01 Juli 2014
Piala
Dunia 2014 yang diselenggarakan di Brasil menjadi catatan menarik sejak Piala
Dunia pertama kalinya digelar pada tahun 1930. Catatan menarik dari Piala
Dunia tahun ini adalah tim sekaliber dan pernah menjadi juara Piala Dunia,
seperti Inggris, Spanyol, dan Italia, sudah gagal di babak penyisihan grup.
Di grup masing-masing, mereka mengalami kekalahan dua kali atau cuma menang
dan seri sekali sehingga poin yang diraih menempatkan mereka berada di bawah
urutan dua.
Semuanya
terheran-heran dengan kegagalan Spanyol, Inggris, dan Italia, di babak awal.
Terheran-heran sebab di ketiga negara itu merupakan kiblat sepakbola
profesional. Di negara-negara itu klub-klub sepakbola profesional bercokol.
Dan klub-klub itu merupakan simbol dan bukti kesuksesan mengelola sepakbola
dari segi bisnis.
Orang
melihat bagaimana selain taburan pemain bintang, di Barcelona FC, Real
Madrid, Manchester United, Liverpool, Chelsea, Manchester City, Inter Milan,
AC Milan, juga menjadi mesin pendulang uang yang melimpah yang diraih dari
iklan, merchandise, dan pendapatan tiket. Banyak perusahaan besar di dunia
rela menggelontorkan miliaran rupiah demi nama perusahaannya tertulis di
jersey.
Dengan
pemain bertabur bintang, tentu bagi pemain-pemain di Spanyol, Italia, dan
Inggris, tak aneh dan sudah biasa saat berjumpa dengan pemain bintang. Bagi
pemain sepakbola di Spanyol, Messi dan Christian Ronaldo sudah biasa, setiap
hari bertemu. Pun demikian, bagi pesepakbola Inggris, bertemu dengan Luiz
Suarez tak aneh. Kepada mereka-merekalah baik pesepakbola Inggris sendiri
atau pemain dari luar, saling belajar.
Bila
pemain-pemain dari Amerika Latin dan Afrika semangat dalam Piala Dunia sebab
mereka berpikir akan menghadapi tim nasional dan pemain idolanya sehingga hal
ini memicu andrenalinnya untuk bermain sebaik-baiknya demi bisa menaklukkan
idolanya. Namun bagi pesepakbola Spanyol, Italia, dan Inggris, bertemu dengan
pemain besar sudah biasa bahkan mereka adalah kawannya sendiri di klub
sehingga hal demikian tidak menimbulkan semangat.
Profesionalisme
dari kapitalisme pada sepakbola di Spanyol, Inggris, dan Italia, secara
perlahan-lahan dan tidak disadari telah membunuh karakter dan jiwa
nasionalisme sepakbola mereka. Gelontoran uang dalam kontrak yang
ditandatangani pesepakbola profesional yang jumlahnya miliaran rupiah, telah
mengubah mental mereka sedikit demi sedikit. Uang itu telah membuat mental
mereka menjadi ‘matre.’ Akibatnya bila dibayar sedikit maka permainan mereka
menjadi tak semangat.
Panggilan
tugas negara untuk menjadi pemain tim nasional menjadi sebuah kebanggaan,
tapi itu dulu. Namun sekarang menjadi pemain tim nasional sudah biasa, tak
ada yang istimewa. Mengapa demikian? Karena bermain di tim nasional hanya
mendapat uang saku dan bonus bila menang dan nilainya tak besar-besar amat.
Tetapi bila bermain di klub proffesional, bonusnya melimpah. Jadi tim
nasional mereka adalah klub-klub proffesional yang wah itu. Mereka bisa jadi
lebih merasa nyaman dengan bermain di Barcelona, Real Madrid, Manchester
United, Chelsea, Manchester City, AC Milan, Juventus, dan lain sebagainya.
Sebab ada duitnya.
Ketika
kemenangan hanya menjadi ukuran untuk meraih keuntungan maka klub-klub
sepakbola memilih cara instan menyediakan pemain. Klub hanya memilih dan
membeli pemain yang bagus. Bila mereka tak bagus lagi, kontraknya tak
diperpanjang dan selanjutnya membeli pemain bagus lainnya. Hal demikian
membuat regenerasi tidak dipikirkan sehingga menjadi mandeg bahkan mati.
Akibatnya pemain Spanyol, Italia, Inggris, dan negara Eropa lainnya, itu-itu
saja. Kondisi yang demikian membuat pemain menjadi tua dan gerakannya menjadi
lamban, baik ketika mengejar atau membaca arah bola.
Hilangnya
semangat bermain pada pesepakbola Spanyol, Italia, dan Inggris selain
‘matre,’ mereka juga jenuh akibat dari jadwal pertandingan liga di negaranya
dan liga Eropa yang yang bergulir setiap hari. Dalam sepakbola proffesional
ternyata juag ada istilah Time Is Money. Jadi setiap jadwal pertandingan akan
menghasilkan uang. Tak heran bila liga sepakbola diputar tak henti-henti.
Bila Piala Dunia hanya sebulan, mereka melakoni liga setiap tahun.
Kapitalisme sepakbola inilah yang membuat para pemain mengalami pada masa
titik jenuh sehingga membuat mereka kehilangan semangat bertanding pada moment-moment tertentu. Anehnya moment
itu saat Piala Dunia.
Dengan
paparan di atas kita semuanya harus bisa mengambil hikmah bahwa kapitalisme
pada sepakbola yang tak terkendali akan merugikan sepakbola nasional.
Kapitalisme pada sepakbola Eropa membuat sepakbola di benua itu menjadi jenuh
dan kehilangan roh sehingga masa depan sepakbola bergeser ke Afrika dan
Amerika Latin. Tim nasional yang berasal dari negara yang terbilang miskin
dan liga sepakbolanya masih sangat memprihatinkan namun tim nasionalnya
sangat luar biasa. Di sini mereka mempunyai semangat. Lihat saja bagaimana
Costaricca, Uruguay, Columbia, Ghana, Chile, mampu mempermalukan tim-tim
nasional tangguh dari Eropa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar