Senin, 07 Juli 2014

Kultur Netralitas yang Terjaga

                                 Kultur Netralitas yang Terjaga

Herni Susanti  ;   Pemerhati Sosial dan Demokrasi
HALUAN,  05 Juli 2014
                                                


Dalam kampaye ada model kampaye lawakan, seperti pelawak yang kurang kreativitasnya, maka model lawakannya akan menyakiti diri sendiri, mengejek-ejek diri sendiri. Kalau kampanyenya selalu menyakitkan dirinya sendiri, memposisikan dirinya selalu terzholimi sama modelnya seperti pelawak, seperti merasa disadap teleponnya. Sementara itu, yang diharapkan oleh masyarakat adalah bagaimana mengeluarkan argumentasi-argumentasi dan program karena program-program inilah yang harus disampaikan kepada masyarakat.

Itulah yang ditunggu-tunggu karena Indonesia banyak pokok persoa­lannya. Bangsa Indonesia bisa bangkit menjadi “macan” asia, karena memiliki potensi SDA dan SDM yang luar biasa, jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang bisa berdialog memberikan gagasan-gagasan besar terhadap permasalahan bangsa dan memberikan manfaat bagi rakyat seluruhnya. Jangan sampai seorang pemimpin hanya mempunyai pemikiran yang sederhana.

Netralitas

Setiap kali Pemilu digelar, setiap kali pula netralitas TNI dan Polri disorot. Rayuan Pulau Kelapa (politik) dan godaan terus saja disodorkan pihak-pihak yang berkontes untuk menyeret alat negara itu ke dalam politik praktis, termasuk di ajang pemilu presiden, 9 Juli 2014. Netralitas TNI dikuatkan pula dengan putusan MK dengan menga­bulkan uji materi Pasal 260 UU Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur hak pilih bagi anggota TNI-Polri dalam Pilpres 2009. MK menegaskan, tidak hanya pada Pilpres 2009, TNI-Polri tetap netral pada Pilpres 2014 sesuai dengan amat konstitusi. Untuk itu, sebaiknya TNI baik yang aktif maupun pensiunan seharusnya tidak masuk ke ranah politik pragmatis, termasuk tim sukses atau menjadi bagian dari proses-proses politik. Di negara demokratis manapun, netralitas militer menjadi hal yang mutlak dalam politik. Di Indonesia, posisi TNI juga telah dibakukan sebagai alat negara dimana politik TNI adalah politik negara, bukan politik partisan yang mengabdi kepada partai politik tertentu. Jelas dan tegas bahwa TNI dilarang berpihak, kecuali kepada negara dan rakyat. “Tidak mengapa menjadi tua, asal tetap muda dalam semangat. Kadang lebih baik diam daripada menceritakan masalahmu, karena kamu tahu sebagian orang hanya penasaran, bukan karena mereka peduli”.

Bahaya tidak Netral

Era politik praktis buat TNI-Polri sudah berakhir. Apa bahayanya kalau para purna­wirawan TNI terlibat dalam dukung mendukung capres, misalkan ada rahasia-rahasia negara yang harus dijaga tetapi yang terlibat disitu adalah mantan panglima, dan mantan pemegang strategis yang tadinya masyarakat tidak perlu tahu menjadi komsumsi publik, kemudian rahasia negara terbongkar. Akhirnya aib dibuka oleh orang-orang yang sudah didoktrin menjaga rahasia negara. TNI-Polri adalah organ negara dengan segala kelengkapan persen­jataan yang bisa berdampak destruktif jika disalahgunakan lantaran mereka menjadi partisan. Dengan bedil mereka, TNI-Polri mengemban tugas mulia sebagai garda terdepan pertahanan dan keamanan negara. Namun, dengan bedil itu pula, tentara dan polisi bisa membahayakan bangsa jika mereka terkotak-kotak akibat tidak mampu mengendalikan libido politik. Negara harus memastikan TNI-Polri menun­jukkan secara nyata netralitas di Pilpres 2014 dan juga di pilpres-pilpres mendatang. Reformasi telah memberikan panduan yang jelas bahwa selama masih aktif, anggota TNI-Polri dilarang berpolitik. Itulah jalan lurus menuju negara yang benar-benar demokratis. Netralitas TNI-Polri memang harga mati dalam sebuah negara demok­ratis. Contoh nyata betapa berba­hayanya jika TNI-Polri tidak netral terjadi di Thailand. Di sana, polisi dan tentara ikut campur dalam urusan politik praktis dan memberikan dukungan atau sebaliknya kepada tokoh tertentu. Akibatnya, politik di Thailand seringkali tidak stabil, bahkan diwarnai dengan kudeta militer, sekadar untuk kembali melu­ruskan arah masa depan Thailand versi mereka sendiri.

Kebebasan Berserikat

Kebebasan berserikatan dan berkumpul serta kemerdekaan mengeluarkan pendapat yang dilindungi pasal 28 UUD 1945 diharapkan dapat terhimpun dalam suatu wadah organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur oleh UU.

Hal tersebut salah satu upaya dalam rangka menguatkan pelaksanaan dan sistem kepartaian dan keorganisasian yang lebih efektif sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat. Pada hakekatnya keberadaan orsospol dan ormas, OKP, LSM dalam kancah kehidupan kemayakatan di Indonesia tidak tercipta dengan begitu saja. Dalam situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan kiprah orsospol dan Ormas dalam kehidupan politik nasional mempunyai warna yang berbeda-beda sesuai dengan ciri kebhinekaan masyarakat Indonesia. Perbedaan dari masing-masing organisasi dimasa itu hanya sekedar bersifat kedaerahan atau dasar agama saja akan tetapi juga diwarnai oleh adanya perbedaan dasar ideologi. “Mari sukseskan Pilpres 2014”, dengan berpedoman pada aturan pemilu yang tentunya mengalir dari konstitusi, UU Pemilu dan UU lainnya serta aturan lain yang dikeluarkan oleh penye­lenggara pemilu. Mari kita cegah berbagai pelanggaran pemilu termasuk intimidasi terhadap siapapun, benturan antar konsisten pemilu, peran media massa untuk berimbang dalam membuat pemberitaan. Yang utama adalah menjaga netralitas TNI dan Polri.

Kultur Politik

Sesudah Indonesia mening­galkan era Orde Baru, kultur dan sistem politik tetap menjadi salah satu persoalan serius. Ada anggapan bahwa iklim reformasi belum menyentuh substansi keberpihakan politik para pemimpin kepada rakyat. Para pemimpin dan wakil rakyat, kadangkala meng­hadirkan diri sebagai elit politik yang dilayani, bukan melayani. Kepemimpinan politik amat penting dalam konteks demokratisasi sosial politik di Indonesia. Demokrasi, tidak hanya sebatas mekanisme politik formal, melainkan nilai-nilai yang menjadi pemihakan paling mendasar demokrasi. Prinsip-prinsip dasar demokrasi harus menjadi acuan dalam mengevaluasi apakah kepemimpinan politik memiliki kapasitas dalam membangun kehidupan publik yang lebih baik. Lebih jauh, korelasi positif antara demokrasi dan kemakmuran sosial harus menjadi kerangka penilai dan indikator utama yang biasa dialami dalam aspek-aspek paling nyata dari kehi­dupan publik (sosial).

“Hidup adalah komedi bagi siapa yang hidupnya dengan akal, dan merupakan tragedi bagi siapa yang hidup dengan emosi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar