Kultur
Netralitas yang Terjaga
Herni Susanti ;
Pemerhati Sosial dan Demokrasi
|
HALUAN,
05 Juli 2014
Dalam kampaye ada model kampaye lawakan, seperti pelawak yang kurang
kreativitasnya, maka model lawakannya akan menyakiti diri sendiri,
mengejek-ejek diri sendiri. Kalau kampanyenya selalu menyakitkan dirinya
sendiri, memposisikan dirinya selalu terzholimi sama modelnya seperti
pelawak, seperti merasa disadap teleponnya. Sementara itu, yang diharapkan
oleh masyarakat adalah bagaimana mengeluarkan argumentasi-argumentasi dan
program karena program-program inilah yang harus disampaikan kepada
masyarakat.
Itulah yang ditunggu-tunggu karena Indonesia banyak pokok
persoalannya. Bangsa Indonesia bisa bangkit menjadi “macan” asia, karena
memiliki potensi SDA dan SDM yang luar biasa, jika dipimpin oleh seorang pemimpin
yang bisa berdialog memberikan gagasan-gagasan besar terhadap permasalahan
bangsa dan memberikan manfaat bagi rakyat seluruhnya. Jangan sampai seorang
pemimpin hanya mempunyai pemikiran yang sederhana.
Netralitas
Setiap kali Pemilu digelar, setiap kali pula netralitas TNI dan Polri
disorot. Rayuan Pulau Kelapa (politik) dan godaan terus saja disodorkan
pihak-pihak yang berkontes untuk menyeret alat negara itu ke dalam politik
praktis, termasuk di ajang pemilu presiden, 9 Juli 2014. Netralitas TNI
dikuatkan pula dengan putusan MK dengan mengabulkan uji materi Pasal 260 UU
Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
mengatur hak pilih bagi anggota TNI-Polri dalam Pilpres 2009. MK menegaskan,
tidak hanya pada Pilpres 2009, TNI-Polri tetap netral pada Pilpres 2014
sesuai dengan amat konstitusi. Untuk itu, sebaiknya TNI baik yang aktif
maupun pensiunan seharusnya tidak masuk ke ranah politik pragmatis, termasuk
tim sukses atau menjadi bagian dari proses-proses politik. Di negara
demokratis manapun, netralitas militer menjadi hal yang mutlak dalam politik.
Di Indonesia, posisi TNI juga telah dibakukan sebagai alat negara dimana
politik TNI adalah politik negara, bukan politik partisan yang mengabdi
kepada partai politik tertentu. Jelas dan tegas bahwa TNI dilarang berpihak,
kecuali kepada negara dan rakyat. “Tidak
mengapa menjadi tua, asal tetap muda dalam semangat. Kadang lebih baik diam
daripada menceritakan masalahmu, karena kamu tahu sebagian orang hanya
penasaran, bukan karena mereka peduli”.
Bahaya
tidak Netral
Era politik praktis buat TNI-Polri sudah berakhir. Apa bahayanya kalau
para purnawirawan TNI terlibat dalam dukung mendukung capres, misalkan ada
rahasia-rahasia negara yang harus dijaga tetapi yang terlibat disitu adalah
mantan panglima, dan mantan pemegang strategis yang tadinya masyarakat tidak
perlu tahu menjadi komsumsi publik, kemudian rahasia negara terbongkar.
Akhirnya aib dibuka oleh orang-orang yang sudah didoktrin menjaga rahasia
negara. TNI-Polri adalah organ negara dengan segala kelengkapan persenjataan
yang bisa berdampak destruktif jika disalahgunakan lantaran mereka menjadi
partisan. Dengan bedil mereka, TNI-Polri mengemban tugas mulia sebagai garda
terdepan pertahanan dan keamanan negara. Namun, dengan bedil itu pula,
tentara dan polisi bisa membahayakan bangsa jika mereka terkotak-kotak akibat
tidak mampu mengendalikan libido politik. Negara harus memastikan TNI-Polri
menunjukkan secara nyata netralitas di Pilpres 2014 dan juga di
pilpres-pilpres mendatang. Reformasi telah memberikan panduan yang jelas
bahwa selama masih aktif, anggota TNI-Polri dilarang berpolitik. Itulah jalan
lurus menuju negara yang benar-benar demokratis. Netralitas TNI-Polri memang
harga mati dalam sebuah negara demokratis. Contoh nyata betapa berbahayanya
jika TNI-Polri tidak netral terjadi di Thailand. Di sana, polisi dan tentara
ikut campur dalam urusan politik praktis dan memberikan dukungan atau
sebaliknya kepada tokoh tertentu. Akibatnya, politik di Thailand seringkali
tidak stabil, bahkan diwarnai dengan kudeta militer, sekadar untuk kembali
meluruskan arah masa depan Thailand versi mereka sendiri.
Kebebasan
Berserikat
Kebebasan berserikatan dan berkumpul serta kemerdekaan mengeluarkan
pendapat yang dilindungi pasal 28 UUD 1945 diharapkan dapat terhimpun dalam
suatu wadah organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan
sebagaimana diatur oleh UU.
Hal tersebut salah satu upaya dalam rangka menguatkan pelaksanaan dan
sistem kepartaian dan keorganisasian yang lebih efektif sesuai dengan
tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat. Pada hakekatnya keberadaan
orsospol dan ormas, OKP, LSM dalam kancah kehidupan kemayakatan di Indonesia
tidak tercipta dengan begitu saja. Dalam situasi dan kondisi yang demikian
menyebabkan kiprah orsospol dan Ormas dalam kehidupan politik nasional
mempunyai warna yang berbeda-beda sesuai dengan ciri kebhinekaan masyarakat
Indonesia. Perbedaan dari masing-masing organisasi dimasa itu hanya sekedar
bersifat kedaerahan atau dasar agama saja akan tetapi juga diwarnai oleh adanya
perbedaan dasar ideologi. “Mari
sukseskan Pilpres 2014”, dengan berpedoman pada aturan pemilu yang
tentunya mengalir dari konstitusi, UU Pemilu dan UU lainnya serta aturan lain
yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu. Mari kita cegah berbagai pelanggaran
pemilu termasuk intimidasi terhadap siapapun, benturan antar konsisten
pemilu, peran media massa untuk berimbang dalam membuat pemberitaan. Yang
utama adalah menjaga netralitas TNI dan Polri.
Kultur
Politik
Sesudah Indonesia meninggalkan era Orde Baru, kultur dan sistem
politik tetap menjadi salah satu persoalan serius. Ada anggapan bahwa iklim
reformasi belum menyentuh substansi keberpihakan politik para pemimpin kepada
rakyat. Para pemimpin dan wakil rakyat, kadangkala menghadirkan diri sebagai
elit politik yang dilayani, bukan melayani. Kepemimpinan politik amat penting
dalam konteks demokratisasi sosial politik di Indonesia. Demokrasi, tidak
hanya sebatas mekanisme politik formal, melainkan nilai-nilai yang menjadi
pemihakan paling mendasar demokrasi. Prinsip-prinsip dasar demokrasi harus
menjadi acuan dalam mengevaluasi apakah kepemimpinan politik memiliki
kapasitas dalam membangun kehidupan publik yang lebih baik. Lebih jauh,
korelasi positif antara demokrasi dan kemakmuran sosial harus menjadi
kerangka penilai dan indikator utama yang biasa dialami dalam aspek-aspek
paling nyata dari kehidupan publik (sosial).
“Hidup
adalah komedi bagi siapa yang hidupnya dengan akal, dan merupakan tragedi
bagi siapa yang hidup dengan emosi”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar