Komponis
Akademis dan Non-akademis
Agus Bing ;
Pelaku Seni
|
KOMPAS,
06 Juli 2014
Kata komponis ternyata punya makna yang tidak sederhana. Istilah ini,
sekalipun sering dimaknai sesuai terminologinya: penyusun atau pengarang
musik, tetapi bagi Suka Hardjana, maknanya tidak sesederhana itu. Istilah
komponis tidak sama dengan song writer (penulis lagu). Suatu istilah yang di
Barat sudah menjadi lumrah. Adapun komponis lebih memiliki privilese.
Jangkauan kerjanya jauh lebih kompleks karena tak sekadar menyusun melodi,
dan harmoni, tetapi juga menyusun konsep kompositoris yang konseptual. Jadi,
ada demarkasi yang tegas antara komponis dan penulis lagu atau arranger
(penata musik).
Apa yang diwacanakan Suka Hardjana memang beralasan. Dalam sejarah
musik Barat, profesi komponis sangat terhormat. Kenyataan itu tidak lepas
dari awal mula dilembagakannya profesi komponis menjadi bagian dari kekuasaan
gereja. Hal ini terjadi ketika Paus Gregorius Agung (450-604) memerintahkan
kumpulan musik dan lagu karya para komponis dipakai dalam peribadatan resmi.
Atas legitimasi ini, eksistensi komponis menjadi prestisius, baik dalam
pergaulan sosial antarseniman dan masyarakat luas.
Gregorius Agung juga memerintahkan katedral-katedral di Eropa
mendirikan sekolah musik yang khusus mendidik penyanyi dan pemusik gereja.
Upaya melembagakan sistem pendidikan musik ini ternyata jadi titik tolak
lahirnya komponis akademis. Dengan demikian, cukup dipahami, profesi komponis
dalam sejarah musik Barat memang tidak main-main. Selain memiliki otoritas
dari gereja dan istana, munculnya komponis yang memiliki privilese juga tidak
bisa dipisahkan dari faktor pendidikan dan keturunan.
JS Bach, Haydn, Mozart, atau Beethoven adalah beberapa dari komponis
dunia yang dilahirkan dari keturunan komponis atau pemusik istana. Oleh
karena itu, tidak semua orang bisa menjadi komponis. Hanya yang berbakat dan
berpendidikan, punya pengaruh dan kekayaan, serta keturunan komponis atau
pemusik saja yang dapat menjadi komponis.
Terkait hal ini, Slamet Abdul Syukur punya pendapat menarik. Dalam
struktur orkestra, profesi komponis kastanya lebih tinggi dari solis,
konduktor, atau pemain orkes. Dengan demikian, demi menyandang predikat
tersebut, setiap orang harus bisa jadi solis yang punya skill tinggi. Kalau
tidak, harus puas jadi pemain orkes yang identik dengan ”kuli”, atau
konduktor yang identik dengan ”tukang”. Sementara komponis adalah arsiteknya.
Komponis
Indonesia
Budaya musik di Indonesia tidak pernah mengenal istilah komponis.
Istilah komponis berasal dari Barat yang jejak sejarahnya berbeda dengan
sejarah musik di Indonesia. Sejarah musik Barat dilatari budaya tulis,
sementara sejarah musik di Indonesia dilatari budaya lisan. Maka, wajar jika
komponis berlatar musik Barat tentu terbiasa membaca notasi dan menulis
konsep musik dalam bentuk teks. Sementara seniman musik tradisional di
Indonesia terbiasa mengolah sumber-sumber bunyi secara langsung, tanpa
notasi, tanpa konsep.
Perbedaan lain antara komponis Barat dan seniman musik tradisional
adalah cara menggarap musik. Komponis Barat sangat individual, selalu memakai
cara yang rasional, metodis, teoretis. Adapun seniman tradisional cenderung
bekerja kolektif, mengedepankan intuisi, serta percaya hal-hal mistis.
Misalnya, senang tirakat, berendam di sungai, bersemedi di tempat sepi, serta
ngangsu kawruh (belajar) dengan cara nyantrik (mengabdi) pada seorang empu.
Bertolak dari distingsi inilah lalu muncul istilah komponis akademis
dan non-akademis. Komponis akademis adalah yang berlatar pendidikan Barat,
punya tradisi menulis dan membaca notasi. Sementara komponis non-akademis
adalah komponis otodidak, tidak memiliki tradisi menulis dan membaca notasi.
Menurut saya, pembedaan istilah ini sangat terburu-buru. Di tengah
zaman yang sudah maju ini, sudah tidak ada batasan antara Barat dan Timur.
Semua serba cair. Termasuk dalam memberikan predikat komponis pada seniman.
Yang diukur bukan latar belakang pendidikannya, melainkan lebih pada kualitas
musiknya. Bukankah dalam ideologi musik kontemporer, sekat-sekat budaya,
agama, jender, dan lain sebagainya harus dileburkan(?).
I Wayan Sadra, Djaduk Ferianto, Rahayu Supanggah, AL Suwardi hanya
bagian kecil dari seniman musik tradisional Indonesia yang menyandang
predikat komponis. Pemberian predikat ini tentu tidak datang tiba-tiba,
tetapi melalui proses panjang. Di antaranya, melakukan penjelajahan
kreativitas sampai lintas benua. Maka cukup wajar yang memberi predikat
komponis, bukan masyarakat Indonesia sendiri, melainkan masyarakat dunia.
Belajar
dari Barat
Saya meyakini, munculnya istilah komponis akademis dan non-akademis
justru berasal dari lembaga pendidikan seni yang berusaha menanamkan
primordialisme secara berlebihan. Program studi musik Barat selalu menanamkan
pemahaman bahwa predikat komponis hanya layak diberikan kepada seniman
berlatar pendidikan musik Barat. Karena hanya Barat-lah yang memiliki tradisi
menulis partitur dan membuat konsep-konsep musik. Sebaliknya, program studi
musik karawitan juga menanamkan pemahaman bahwa budaya musik tradisional
lebih adiluhung sekalipun tidak biasa menulis dan membaca notasi, tetapi
lebih memiliki roso dan olah pikir.
Reifikasi itu sebenarnya tidak perlu. Dalam budaya musik kita,
kebiasaan menulis notasi juga ada. Notasi pelog slendro pada karawitan
membuktikan, budaya musik kita juga punya kebiasaan menulis. Hanya
persoalannya, mengapa tidak dapat berkembang seperti budaya musik Eropa.
Padahal dari sejarahnya, musik Eropa awalnya juga sama seperti musik
Indonesia, yaitu hanya memiliki tangga nada terbatas: D E F G (tetrachord). Lain dari itu, bangsa
Eropa awalnya juga punya tradisi berpikir ontologis seperti kita yang
memercayai hal-hal bersifat transendental.
Semua ini disebabkan lembaga pendidikan kita tidak bisa menjadi
laboratorium pengembangan ilmu musik, seperti halnya yang dilakukan Eropa.
Budaya musik Eropa bisa berkembang karena lembaga pendidikannya berani
melakukan revolusi mengembangkan nada tetrachord menjadi modus Gregorian.
Modus Gregorian dikembangkan lagi oleh Guido de Arezzo menjadi nada-nada hexachord, cikal bakal tangga nada
diatonis, kromatis, blue note, hole
tone, serta ilmu kontrapung,
harmoni modern, dan lain-lain. Seluruh kemajuan ini tidak lepas dari
kesadaran lembaga pendidikan seni yang bisa memosisikan dirinya sebagai
wahana pelestari, pengembang, sekaligus penemu teori-teori baru.
Bisa dibayangkan, kalau lembaga pendidikan seni kita mau mengembangkan
notasi pelog slendro tentu bisa berkembang
melampaui ruang waktu. Maka, menarik yang diujarkan Sutanto Mendut dan Djaduk
Ferianto.
”Seni
desa citra kreativitas seniman non-akademis yang cerdas,” kata
Tanto Mendut.
”Komponis
Indonesia berlatar tradisi, kelemahannya tak bisa menulis gagasan musikalnya
dalam bentuk teks,” kata Djaduk.
Kalimat satire tersebut sebenarnya bermaksud mengingatkan, institusi
pendidikan seni kita ternyata tidak pernah mewariskan tradisi menulis.
Kalaupun pernah, etalase di toko-toko buku atau perpustakaan tentu penuh
tulisan para guru besar atau doktor yang lahir dan dibesarkan kampus.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar