Senin, 07 Juli 2014

Komponis Akademis dan Non-akademis

                    Komponis Akademis dan Non-akademis

Agus Bing  ;   Pelaku Seni
KOMPAS,  06 Juli 2014
                                                


Kata komponis ternyata punya makna yang tidak sederhana. Istilah ini, sekalipun sering dimaknai sesuai terminologinya: penyusun atau pengarang musik, tetapi bagi Suka Hardjana, maknanya tidak sesederhana itu. Istilah komponis tidak sama dengan song writer (penulis lagu). Suatu istilah yang di Barat sudah menjadi lumrah. Adapun komponis lebih memiliki privilese. Jangkauan kerjanya jauh lebih kompleks karena tak sekadar menyusun melodi, dan harmoni, tetapi juga menyusun konsep kompositoris yang konseptual. Jadi, ada demarkasi yang tegas antara komponis dan penulis lagu atau arranger (penata musik).

Apa yang diwacanakan Suka Hardjana memang beralasan. Dalam sejarah musik Barat, profesi komponis sangat terhormat. Kenyataan itu tidak lepas dari awal mula dilembagakannya profesi komponis menjadi bagian dari kekuasaan gereja. Hal ini terjadi ketika Paus Gregorius Agung (450-604) memerintahkan kumpulan musik dan lagu karya para komponis dipakai dalam peribadatan resmi. Atas legitimasi ini, eksistensi komponis menjadi prestisius, baik dalam pergaulan sosial antarseniman dan masyarakat luas.

Gregorius Agung juga memerintahkan katedral-katedral di Eropa mendirikan sekolah musik yang khusus mendidik penyanyi dan pemusik gereja. Upaya melembagakan sistem pendidikan musik ini ternyata jadi titik tolak lahirnya komponis akademis. Dengan demikian, cukup dipahami, profesi komponis dalam sejarah musik Barat memang tidak main-main. Selain memiliki otoritas dari gereja dan istana, munculnya komponis yang memiliki privilese juga tidak bisa dipisahkan dari faktor pendidikan dan keturunan.

JS Bach, Haydn, Mozart, atau Beethoven adalah beberapa dari komponis dunia yang dilahirkan dari keturunan komponis atau pemusik istana. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa menjadi komponis. Hanya yang berbakat dan berpendidikan, punya pengaruh dan kekayaan, serta keturunan komponis atau pemusik saja yang dapat menjadi komponis.

Terkait hal ini, Slamet Abdul Syukur punya pendapat menarik. Dalam struktur orkestra, profesi komponis kastanya lebih tinggi dari solis, konduktor, atau pemain orkes. Dengan demikian, demi menyandang predikat tersebut, setiap orang harus bisa jadi solis yang punya skill tinggi. Kalau tidak, harus puas jadi pemain orkes yang identik dengan ”kuli”, atau konduktor yang identik dengan ”tukang”. Sementara komponis adalah arsiteknya.

Komponis Indonesia

Budaya musik di Indonesia tidak pernah mengenal istilah komponis. Istilah komponis berasal dari Barat yang jejak sejarahnya berbeda dengan sejarah musik di Indonesia. Sejarah musik Barat dilatari budaya tulis, sementara sejarah musik di Indonesia dilatari budaya lisan. Maka, wajar jika komponis berlatar musik Barat tentu terbiasa membaca notasi dan menulis konsep musik dalam bentuk teks. Sementara seniman musik tradisional di Indonesia terbiasa mengolah sumber-sumber bunyi secara langsung, tanpa notasi, tanpa konsep.

Perbedaan lain antara komponis Barat dan seniman musik tradisional adalah cara menggarap musik. Komponis Barat sangat individual, selalu memakai cara yang rasional, metodis, teoretis. Adapun seniman tradisional cenderung bekerja kolektif, mengedepankan intuisi, serta percaya hal-hal mistis. Misalnya, senang tirakat, berendam di sungai, bersemedi di tempat sepi, serta ngangsu kawruh (belajar) dengan cara nyantrik (mengabdi) pada seorang empu.

Bertolak dari distingsi inilah lalu muncul istilah komponis akademis dan non-akademis. Komponis akademis adalah yang berlatar pendidikan Barat, punya tradisi menulis dan membaca notasi. Sementara komponis non-akademis adalah komponis otodidak, tidak memiliki tradisi menulis dan membaca notasi.

Menurut saya, pembedaan istilah ini sangat terburu-buru. Di tengah zaman yang sudah maju ini, sudah tidak ada batasan antara Barat dan Timur. Semua serba cair. Termasuk dalam memberikan predikat komponis pada seniman. Yang diukur bukan latar belakang pendidikannya, melainkan lebih pada kualitas musiknya. Bukankah dalam ideologi musik kontemporer, sekat-sekat budaya, agama, jender, dan lain sebagainya harus dileburkan(?).

I Wayan Sadra, Djaduk Ferianto, Rahayu Supanggah, AL Suwardi hanya bagian kecil dari seniman musik tradisional Indonesia yang menyandang predikat komponis. Pemberian predikat ini tentu tidak datang tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang. Di antaranya, melakukan penjelajahan kreativitas sampai lintas benua. Maka cukup wajar yang memberi predikat komponis, bukan masyarakat Indonesia sendiri, melainkan masyarakat dunia.

Belajar dari Barat

Saya meyakini, munculnya istilah komponis akademis dan non-akademis justru berasal dari lembaga pendidikan seni yang berusaha menanamkan primordialisme secara berlebihan. Program studi musik Barat selalu menanamkan pemahaman bahwa predikat komponis hanya layak diberikan kepada seniman berlatar pendidikan musik Barat. Karena hanya Barat-lah yang memiliki tradisi menulis partitur dan membuat konsep-konsep musik. Sebaliknya, program studi musik karawitan juga menanamkan pemahaman bahwa budaya musik tradisional lebih adiluhung sekalipun tidak biasa menulis dan membaca notasi, tetapi lebih memiliki roso dan olah pikir.

Reifikasi itu sebenarnya tidak perlu. Dalam budaya musik kita, kebiasaan menulis notasi juga ada. Notasi pelog slendro pada karawitan membuktikan, budaya musik kita juga punya kebiasaan menulis. Hanya persoalannya, mengapa tidak dapat berkembang seperti budaya musik Eropa. Padahal dari sejarahnya, musik Eropa awalnya juga sama seperti musik Indonesia, yaitu hanya memiliki tangga nada terbatas: D E F G (tetrachord). Lain dari itu, bangsa Eropa awalnya juga punya tradisi berpikir ontologis seperti kita yang memercayai hal-hal bersifat transendental.

Semua ini disebabkan lembaga pendidikan kita tidak bisa menjadi laboratorium pengembangan ilmu musik, seperti halnya yang dilakukan Eropa. Budaya musik Eropa bisa berkembang karena lembaga pendidikannya berani melakukan revolusi mengembangkan nada tetrachord menjadi modus Gregorian. Modus Gregorian dikembangkan lagi oleh Guido de Arezzo menjadi nada-nada hexachord, cikal bakal tangga nada diatonis, kromatis, blue note, hole tone, serta ilmu kontrapung, harmoni modern, dan lain-lain. Seluruh kemajuan ini tidak lepas dari kesadaran lembaga pendidikan seni yang bisa memosisikan dirinya sebagai wahana pelestari, pengembang, sekaligus penemu teori-teori baru.

Bisa dibayangkan, kalau lembaga pendidikan seni kita mau mengembangkan notasi pelog slendro tentu bisa berkembang melampaui ruang waktu. Maka, menarik yang diujarkan Sutanto Mendut dan Djaduk Ferianto.

”Seni desa citra kreativitas seniman non-akademis yang cerdas,” kata Tanto Mendut.

”Komponis Indonesia berlatar tradisi, kelemahannya tak bisa menulis gagasan musikalnya dalam bentuk teks,” kata Djaduk.

Kalimat satire tersebut sebenarnya bermaksud mengingatkan, institusi pendidikan seni kita ternyata tidak pernah mewariskan tradisi menulis. Kalaupun pernah, etalase di toko-toko buku atau perpustakaan tentu penuh tulisan para guru besar atau doktor yang lahir dan dibesarkan kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar