Kredensial
Jalan Simpang
Anonim ;
( Tanpa Penjelasan )
|
KOMPAS,
06 Juli 2014
Mengapa demokrasi tidak jarang harus lahir lewat laras senjata, lewat
jalan pedang, lewat teror, cara-cara tidak jujur, manipulasi, lewat konflik
yang berkepanjangan?
Bukankah begitu banyak orang yang berharap pada demokrasi? Karena
demokrasi diyakini akan memberikan kebebasan, memberikan kemerdekaan,
memberikan keadilan bagi seluruh warga negara, atau sekurang-kurangnya
mengurangi ketidakadilan. Demokrasi juga diyakini akan memberikan
penghormatan pada hak-hak asasi manusia, memberikan rasa aman terutama bagi
kelompok minoritas, memanusiakan manusia, dan bahkan diyakini akan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, banyak cerita menegaskan pertanyaan yang mengawali tulisan
pendek ini. Pemilihan presiden di Afganistan, misalnya, sejak awal
dibayang-bayangi teror dan ancaman dari kelompok Taliban. Serangan bom bunuh
diri pun mewarnai pemilu presiden Afganistan.
Ketika pemilu memasuki tahap kedua—menyisakan dua kandidat presiden:
mantan Menteri Luar Negeri Abdullah Abdullah dan mantan pejabat Bank Dunia
Ashraf Ghani Ahmadzai—teror dan tindak kekerasan bukannya mereda, malah
menjadi-jadi. Demonstrasi pecah di mana-mana. Pendukung Abdullah, yang pernah
melawan Hamid Karzai dalam Pemilu 2009, memprotes dan menuduh bahwa Karzai
tidak netral, bahkan terjadi kecurangan dalam penghitungan suara.
Demokrasi yang dicitakan di Mesir diawali dengan revolusi. Kemudian,
pemilu presiden pun dibangun lewat laras senjata dan pertumpahan darah. Abdel
Fattah El-Sisi, yang kini Presiden Mesir, pun untuk meraih kekuasaannya harus
mengerahkan tentara dan menggulingkan Muhammad Mursi yang menyebabkan banyak
orang tewas.
Masih banyak contoh yang bisa disodorkan untuk menunjukkan bahwa tidak
jarang demokrasi ditegakkan lewat konflik berkepanjangan, lewat cara-cara
yang tidak jujur, bahkan tidak bermoral. Revolusi Rakyat 1986 di Filipina
meledak di ujung sebuah pesta demokrasi yang ternyata penuh kecurangan dan
manipulasi. Padahal, demokrasi diharapkan banyak orang karena merupakan
sebuah sistem politik, dengan segala kelemahannya, yang paling mencerminkan
kehendak umum; di dalamnya ada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas.
Karena itu, praktik demokrasi di Afganistan, Mesir, Filipina, dan juga
banyak negara lain, baru sebatas prosedural, belum esensial. Praktik
demokrasi lebih dilakukan sebagai cara untuk merebut kekuasaan. Demokrasi
dianggap sebagai jalan untuk meraih kekuasaan, tidak lebih tidak kurang.
Apabila cara pikir seperti itu yang dipegang dan dijalankan, menurut
Joseph Ratzinger, kekuasaan pun—jika sudah dipegang—pada akhirnya bisa
diselewengkan dengan dijadikan sebagai instrumen hegemoni kepentingan atau
ideologi, tidak lagi mengabdi pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Inilah
yang kemudian mendorong terjadinya perebutan kekuasaan dan melahirkan
pemimpin-pemimpin otoriter serta diktator, bahkan korup, di banyak negara.
Sampai titik ini, tujuan politik tidak mencapai sasaran. Sebab, tujuan
politik adalah keadilan dan dengan perjuangan akan keadilan membangun
perdamaian. Berpolitik adalah membangun kemaslahatan bersama. Karena itu,
semestinya politik tidak mengenal cara-cara kotor, jalan-jalan gelap, teror, ancaman,
dan sebagainya yang tidak sesuai tujuan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar