Senin, 07 Juli 2014

Kredensial Jalan Simpang

                                        Kredensial Jalan Simpang

Anonim  ;   ( Tanpa Penjelasan )
KOMPAS,  06 Juli 2014



Mengapa demokrasi tidak jarang harus lahir lewat laras senjata, lewat jalan pedang, lewat teror, cara-cara tidak jujur, manipulasi, lewat konflik yang berkepanjangan?

Bukankah begitu banyak orang yang berharap pada demokrasi? Karena demokrasi diyakini akan memberikan kebebasan, memberikan kemerdekaan, memberikan keadilan bagi seluruh warga negara, atau sekurang-kurangnya mengurangi ketidakadilan. Demokrasi juga diyakini akan memberikan penghormatan pada hak-hak asasi manusia, memberikan rasa aman terutama bagi kelompok minoritas, memanusiakan manusia, dan bahkan diyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Akan tetapi, banyak cerita menegaskan pertanyaan yang mengawali tulisan pendek ini. Pemilihan presiden di Afganistan, misalnya, sejak awal dibayang-bayangi teror dan ancaman dari kelompok Taliban. Serangan bom bunuh diri pun mewarnai pemilu presiden Afganistan.

Ketika pemilu memasuki tahap kedua—menyisakan dua kandidat presiden: mantan Menteri Luar Negeri Abdullah Abdullah dan mantan pejabat Bank Dunia Ashraf Ghani Ahmadzai—teror dan tindak kekerasan bukannya mereda, malah menjadi-jadi. Demonstrasi pecah di mana-mana. Pendukung Abdullah, yang pernah melawan Hamid Karzai dalam Pemilu 2009, memprotes dan menuduh bahwa Karzai tidak netral, bahkan terjadi kecurangan dalam penghitungan suara.

Demokrasi yang dicitakan di Mesir diawali dengan revolusi. Kemudian, pemilu presiden pun dibangun lewat laras senjata dan pertumpahan darah. Abdel Fattah El-Sisi, yang kini Presiden Mesir, pun untuk meraih kekuasaannya harus mengerahkan tentara dan menggulingkan Muhammad Mursi yang menyebabkan banyak orang tewas.

Masih banyak contoh yang bisa disodorkan untuk menunjukkan bahwa tidak jarang demokrasi ditegakkan lewat konflik berkepanjangan, lewat cara-cara yang tidak jujur, bahkan tidak bermoral. Revolusi Rakyat 1986 di Filipina meledak di ujung sebuah pesta demokrasi yang ternyata penuh kecurangan dan manipulasi. Padahal, demokrasi diharapkan banyak orang karena merupakan sebuah sistem politik, dengan segala kelemahannya, yang paling mencerminkan kehendak umum; di dalamnya ada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas.

Karena itu, praktik demokrasi di Afganistan, Mesir, Filipina, dan juga banyak negara lain, baru sebatas prosedural, belum esensial. Praktik demokrasi lebih dilakukan sebagai cara untuk merebut kekuasaan. Demokrasi dianggap sebagai jalan untuk meraih kekuasaan, tidak lebih tidak kurang.

Apabila cara pikir seperti itu yang dipegang dan dijalankan, menurut Joseph Ratzinger, kekuasaan pun—jika sudah dipegang—pada akhirnya bisa diselewengkan dengan dijadikan sebagai instrumen hegemoni kepentingan atau ideologi, tidak lagi mengabdi pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Inilah yang kemudian mendorong terjadinya perebutan kekuasaan dan melahirkan pemimpin-pemimpin otoriter serta diktator, bahkan korup, di banyak negara.

Sampai titik ini, tujuan politik tidak mencapai sasaran. Sebab, tujuan politik adalah keadilan dan dengan perjuangan akan keadilan membangun perdamaian. Berpolitik adalah membangun kemaslahatan bersama. Karena itu, semestinya politik tidak mengenal cara-cara kotor, jalan-jalan gelap, teror, ancaman, dan sebagainya yang tidak sesuai tujuan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar