Asal
Berkoar dan Tafsir Garuda
Jean Couteau ;
Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
06 Juli 2014
BERHIDUNG Pinokio—yaitu dianggap suka berdusta—lebih-lebih lagi
berkulit bule—yaitu dibebani sejarah penjajahan dan sikap ”selalu benar”—amat
peka bagiku membicarakan politik Indonesia di saat Anda sekalian,
teman-teman, akan menuju TPS untuk menentukan arah masa depan bangsa ini.
Sebenarnya bukan hanya peka, tetapi juga sulit. Aku menemukan kembali
panasnya suhu pemilihan presiden ketika pulang dari suatu bulan lebih di
Perancis, di mana aku berada di tengah napas budaya dan pergaulan yang amat
berbeda. Di negeri itu, jika berdebat dengan siapa pun, kadang menarik,
tetapi harus senantiasa waswas: nyerang sana, nyindir sini, sarkastik selalu,
begitulah sikap para bule dari negeri itu.
Bagi orang Indonesia biasa atau orang yang telah ”mengindonesia”
seperti aku, kerap ”sakit hati”: memang di situ bukanlah konsensus yang
dicari, melainkan pertentangan opini—kadang demi mempertajam gagasan, tetapi
tak jarang demi ego melulu, asal berkoar. Maka menginjak kembali kaki di
Nusantara, setelah satu bulan penuh berada di antara para bule Perancis itu,
aku rada mengidealkan penduduk negeri Indonesia ini, yang, meski suka juga
berbohong, paling sedikit tahu ”menjaga perasaan” orang lain dan murah
senyum.
Ternyata keliru. Baru sampai di rumah, menghidupkan TV, aku kaget
dibuatnya. Apa yang tampil di layar yang satu itu? Koaran-koaran. ”Asing
berbuat ini”, ”asing menguasai itu”, kumandang pria berbaju merah sembari
berjingkrak-jingkrak lagaknya orang digigit tawon. Aku bertanya pada istri:
”Siapa orang konyol itu?” ”Elu tidak tahu?” dia balik bertanya keheranan?, ”
Itu penyanyi kesohor. ”Lo, gitu,” jawabku.
Tetapi, yang sebenarnya mengganggu aku ialah cara ia mengacung-acungkan
lencana elang Garudanya sambil berkoar-perihal bangsa. ”He, bentar, elu,”
pikirku. ”Yang elu bicarakan ini, bukan ide, bukan pula capres, melainkan
makna simbol bangsa ini. Jangan elu menyesatkan orang.”
Pikir-pikir, bagaimana orang bisa sedemikian tersesat sehingga menafsir
lambang Garuda Pancasila dari sudut sosok elangnya saja. Memang elangnya
tampak mengerikan dan siap menyambar musuh, tetapi bukan fungsi elang menjadi
penentu segalanya. Garuda yang sejatinya bukanlah elang biasa, bukanlah pula
elang ala Jermanik yang melambangkan negara sebagai unsur penindas, dan
bersedia melepaskan elemen ”Bhinneka Tunggal Ika”-nya jika dirasa perlu.
Garuda kita ini adalah seekor burung mitologis, pelindung ”amerta”, yaitu
”Bhinneka Tunggal Ika”. Dan Garuda Pancasila melambangkan kepaduan negara
sekaligus bangsa, yang terpatri dalam ketunggalannya melalui kebinekaan.
Singkatnya, Indonesia bukan hasil dari sambaran seekor elang, melainkan dari
konsensus di antara aneka komponen etno-religius yang berbeda.
Pongahkah aku berkesimpulan begitu? Bisa jadi pongah si bule ini,
tetapi lihatlah kisah Garuda. Di dalam Adiparwa (abad ke-10), sang burung
raksasa itu berhasil mendapat amerta (air kehidupan) setelah membunuh aneka
monster yang mengerikan (nafsu). Lalu, ketika menjauh dari Gunung Somaka
dengan guci air amerta di cakarnya, dia kepergok Wisnu (lambang kekuasaan),
yang memintanya menjadi wahana kendaraan sang Wisnu.
Bukanlah kebetulan bila kisah ini dijadikan dasar oleh pendiri bangsa
ini untuk memilih Garuda sebagai lambang negara dengan semboyan ”Bhinneka
Tunggal Ika”: Amerta (kelanggengan) bangsa ini memang tiada lain terletak
pada pelestarian kebinekaannya. Itulah sebabnya di dalam figur Garuda
Pancasila, Garuda memegang erat-erat moto Bhinneka Tunggal Ika itu.
Kini bakal ditentukan siapa yang akan menempati posisi Wisnu sebagai
penguasa. Semoga orang yang dipilih bangsa ini bukanlah orang yang keliru
menafsir lambang Garuda dan konsep negara. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar