Selasa, 01 Juli 2014

Demokrasi Setengah Hati

Demokrasi Setengah Hati

L Tri Setyawanta R  ;  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 30 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
ORANG awam memandang pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai proses demokrasi setengah hati. Prinsip demokrasi satu orang satu suara memang menjadi dasar pemilihan itu. Sayang, prinsip itu hanya bernilai 65%, mengingat 35%-nya merupakan sistem khusus, yaitu satu orang banyak suara.

Adalah mendikbud yang memiliki 35% hak suara, sebagai pemimpin satuan pendidikan tinggi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Demokrasi model gado-gado ini dapat memicu ketidakpuasan internal PTN. Hasil pemilihan internal dalam kategori seimbang dengan kemenangan tipis akan mudah sekali berubah menjadi kekalahan atau sebaliknya.

Bahkan kemenangan internal yang cukup signifikan pun bisa berbalik bila konversi 35% suara menteri digabungkan suara minoritas. Aspirasi dari bawah dengan suara mayoritas, dengan mudah diabaikan, terpinggirkan lewat keberhasilan approach seorang calon untuk mendapat dominasi suara menteri. Lobi-lobi di mana pun memang keniscayaan yang secara etis dan bijak menunjukkan keluasan jaringan seseorang, asalkan tanpa dibumbui politik transaksional

Sistem Perhitungan

Pasal 7 Huruf e Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012 menentukan bahwa pemilihan rektor/ketua/direktur sebagaimana dimaksud padaHhuruf a dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan, menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih dan senat universitas memiliki 65% hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak suara sama.

Implementasi secara teknis dari aturan itu masih mendasarkan surat edaran Dirjen Dikti Nomor 1312/D/T/2010. Jumlah suara menteri yang dikonversi dari 35% sangat bergantung dari keseluruhan jumlah anggota senat yang berhak memilih. Makin besar jumlah anggota senat, makin besar pula konversi jumlah suara menteri.

Dalam praktik, semisal yang berhak memilih 200 orang maka menteri mendapat 108 suara, dengan perhitungannya 35/65x200. Total seluruh suara jadi 308, dan jumlah suara menteri bisa lebih dari setengahnya dibanding suara senat yang telah dikonversi kembali jadi 100%.  Intervensi suara dari satu pemilih inilah yang rawan memicu ketidakpuasan internal kampus.

Karena itu, alternatif  konversi suara menteri adalah lebih dahulu ditentukan 35% dari total pemilih, bukan total suara. Dengan sistem ini, suara menteri  dihitung 35/100x201 menjadi 70 (70,35)  suara. Ada­pun suara senat menjadi 65/100x201=131 (130,65) suara yang dihasilkan dari 200 pemilih.

Nilai jumlah suara yang didapat seorang calon dari anggota senat adalah 65%-nya. Andai  mendapatkan 100 suara, sama dengan mendapat 65 suara. Artinya, total jumlah suara adalah sama dengan total jumlah pemilih, sehingga sekilas tidak terjadi ìpenggelembungan suaraî.  Dibanding ara perhitungan se­be­lumnya, sebenarnya hasil akhirnya  tidak terlalu jauh berbeda. Hanya secara rasional dan psikologis cara ini bisa lebih diterima, meski belum benar-benar dengan lapang dada karena hanya sistem kuasi one man one vote.

Drama di Kampus

Drama pemilihan rektor yang kontroversial berkait suara menteri sebenarnya dimulai dari kampus ITS Surabaya pertengahan 2010. Calon yang mendapat mayoritas suara senat harus berbesar hati mengubur harapannya jadi rektor saat berhadapan dengan suara menteri berdasarkan Permendikbud Nomor 24 Tahun 2010. Rencana uji materi ke MA jadi alternatif pemikiran.

Beberapa pihak di UGM pun pernah merencanakan untuk uji materi 35% suara menteri. Tapi sampai saat ini eksistensi suara menteri masih kokoh terakomodasi berdasarkan Permen Nomor 33 tahun 2012, sebagai pengganti Permen Nomor 24 tahun 2010.

Di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, pemilihan rektor sudah rampung akhir Januari 2014. Ketidakpuasan mengenai sistem perhitungan dan distribusi suara menteri berujung gugatan ke PTUN dan uji materi ke MA. Ranah hukum menjadi pilihan untuk pihak yang merasa bahwa proses demokratisasi di kampus telah dipolitisasi dengan aturan yang bertentangan dengan asas keadilan dan kepatutan.

Belum lama ini, drama pemilihan rektor juga terjadi di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pemilihan tahap akhir memang belum terlaksana tapi salah seorang calon rektor telah dilaporkan ke polisi. Tampaknya ini merupakan langkah hukum untuk menegakkan rule of the game supaya pemilihan itu berjalan fair play. Akankah pemilihan rektor etap berjalan sesuai jadwal? Hal itu amat bergantung pada kebijakan Kemdikbud.

Dengan variasi cerita berbeda, drama itu kemungkinan menghampiri Universitas Diponegoro, September nanti. Undip sedang menunggu PP tentang perubahan status dari Badan Layanan Umum menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Dalam masa  transisi ini, aturan pilrek masih mendasarkan statuta lama, meski telah mengadopsi perkembangan aturan baru. Mengacu preseden di Universitas Indonesia (UI) yang mengadakan pemilihan rektor dalam masa transisi pertengahan 2012, kondisi itu   kemungkinan tidak jauh berbeda, yaitu ditunda.

Semua civitas akademika pasti bisa memahami dan menerima kondisi  tersebut, asalkan suksesi rektor terhindar dari drama konflik politik praktis yang acap tanpa permisi memasuki dunia kampus. Hanya Kemdikbud sebagai legislator yang bisa mengubah skenario tiap pemilihan rektor PTN selalu berakhir happy ending.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar