Kebijakan
Makroekonomi
FX Sugiyanto ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 08 Juli 2014
SELESAI sudah debat visi misi capres-cawapres. Kini saatnya kita
menilai apa yang sesungguhnya kita perlukan, dan apakah yang mereka tawarkan
cukup realistis untuk direalisasikan dalam 5 tahun ke depan. Dalam bidang
ekonomi, secara umum keduanya punya visi sama. Terhadap aspek makroekonomi,
kita sependapat bahwa kondisi ekonomi saat ini relatif baik. Tapi tidak untuk
mikroekonomi sehingga presiden mendatang harus menyelesaikan cukup banyak
masalah (SM, 30/5/14).
Dalam debat seri terakhir tentang pangan dan energi, kedua
capres-cawapres memiliki perbedaan pendekatan dalam strategi kebijakan
mikroekonomi. Dengan sekitar 250 juta
penduduk dan pertumbuhan rata-rata 1,49 % per tahun, kebutuhan pangan sangat
besar. Saat ini, kebutuhan beras per kapita 102,87 kg per tahun dengan
rata-rata pertumbuhan 0,74 %, sementara ketersediaan per kapita 162,02 kg
dengan rata-rata pertumbuhan 2,47 %. Ketersediaan ini terpenuhi dari produksi
dan impor (BPS, Statistik Konsumsi Pangan, 2012).
Konsumsi daging 1,64 kg per kapita per tahun dengan pertumbuhan rata-rata
16,3 % per tahun. Sementara produksi per kapita berbagai jenis daging, masih
lebih rendah dari konsumsi. Gambaran itu menunjukkan dalam hal pangan ini
kita mempunyai potensi kerawanan tinggi, karena untuk mencukupi kebutuhan
masih harus mendatangkan dari luar. Tidak ada cara lain, presiden mendatang
harus memberi prioritas dalam pengembangan produksi dan keanekaragaman
pangan, bukan hanya beras melainkan juga sumber pangan lain.
Kedua capres punya perspektif sama tentang perlunya ketahanan pangan, bahkan
kedaulatan. Impor pangan, walau saat ini masih diperlukan, mereka anggap
sebagai indikator kerawanan pangan jangka panjang. Dalam visi mereka,
produksi pangan harus dilakukan dengan menambah luas sawah. Dalam hal ini
keduanya berbeda strategi. Prabowo-Hatta memilih strategi production driven
dengan insentif produksi, termasuk infrastuktur jalan desa.
Jokowi-JK mendahulukan infrastruktur irigasi dengan membuat bendungan;
seraya mengacu kegagalan penciptaan sawah seperti program sejuta hektare
lahan gambut mengingat belum memkikirkan
bagaimana irigasi untuk penciptaan lahan tersebut.
Pasar
Domestik
Jokowi-JK memilih strategi market driven dan penciptaan nilai tambah.
Strategi ini menekankan pengutamaan penciptaan pasar komoditas pertanian
sebelum berproduksi. Dalam bahasa marketing, strategi ini secara sederhana
menganut pendekatan ”menghasilkan apa yang bisa dijual”, dan bukannya
”menjual apa yang dihasilkan”.
Siapa pun presiden terpilih, mesti menjalankan kedua strategi tersebut.
Untuk pertanian yang cenderung subsistem strategi production driven dapat
dilakukan. Namun andai kita ingin mengembangkan pertanian ke arah agrobisnis,
lebih tepat menerapkan strategi market
driven.
Mengenai ketahanan energi, kita bisa melihat elastisitas permintaan
energi terhadap PDB Indonesia saat ini masih sekitar 1,3 (Energy Outlook 2010, Kementerian ESDM).
Ini berarti kebutuhan energi akan meningkat
1,3 lebih tinggi dari tingkat pertumbuham ekonomi. Apabila kita
mengandaikan pertumbuhan ekonomi kita rata-rata 6 % per tahun, maka kebutuhan
energi akan meningkat rata-rata 8 % per tahun.
Sementara pada saat ini; bersamaan dengan makin menipisnya energi fosil
dan berkembangnya biofuel, sumber energi dengan sumber pangan sudah menjadi
barang substitusi. Potensi perebutan sumber pangan untuk kebutuhan
penyediaan pangan dan kebutuhan energi
sangat mungkin terjadi pada masa depan.
Kedua pasangan capres punya pandangan sama bahwa peta strategis jangka
panjang energi Indonesia adalah diversivikasi. Sayang, keduanya seolah menghindar
membahas mengenai peta pengurangan subsidi BBM yang tahun depan diperkirakan
Rp 300 triliun. Keduanya masih samar-samar membahas pemberantasan mafia
migas, jadi salah satu penyebab
tingginya subsidi BBM.
Mengenai pasar domestik, pasangan Jokowi-JK secara tegas menempatkannya
sebagai prioritas. Banyak negara melihat Indonesia, dengan jumlah penduduk
besar, sebagai pasar potensial. Tidak ada pilihan lain bagi presiden
mendatang untuk menempatkan pasar domestik sebagai kekuatan ekonomi. Kuncinya
adalah selain meningkatkan juga memeratakan daya beli ke semua lapisan dan
wilayah.
Kita bisa melihat siapa yang menikmati keuntungan dan manfaat paling
besar dengan berkembangnya bisnis makanan cepat saji, seperti Kentucky Fried
Chicken (KFC), McDonaldís (McD) dan sejenisnya. Mungkin kita bisa sedikit
mencontoh keberanian India membatasi dan mengatur perusahan besar dari luar
negeri yang akan investasi di sana.
Strategi dengan orientasi fokus mikroekonomi harus mendasarkan pada
keseimbangan spasial dan wilayah. Peningkatan kesenjangan hanya dapat diatasi
bila ada desain yang mendasarkan pada persebaran pusat-pusat pertumbuhan di
seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di perkotaan. Semoga semangat
kemandirian yang kita dengar dari para capres bukan hanya retorika melainkan
bisa menjadi awal kebangkitan ekonomi nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar