Jumat, 11 Juli 2014

Kebijakan Makroekonomi

Kebijakan Makroekonomi

FX Sugiyanto  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 08 Juli 2014
                                                


SELESAI sudah debat visi misi capres-cawapres. Kini saatnya kita menilai apa yang sesungguhnya kita perlukan, dan apakah yang mereka tawarkan cukup realistis untuk direalisasikan dalam 5 tahun ke depan. Dalam bidang ekonomi, secara umum keduanya punya visi sama. Terhadap aspek makroekonomi, kita sependapat bahwa kondisi ekonomi saat ini relatif baik. Tapi tidak untuk mikroekonomi sehingga presiden mendatang harus menyelesaikan cukup banyak masalah (SM, 30/5/14).

Dalam debat seri terakhir tentang pangan dan energi, kedua capres-cawapres memiliki perbedaan pendekatan dalam strategi kebijakan mikroekonomi.  Dengan sekitar 250 juta penduduk dan pertumbuhan rata-rata 1,49 % per tahun, kebutuhan pangan sangat besar. Saat ini, kebutuhan beras per kapita 102,87 kg per tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,74 %, sementara ketersediaan per kapita 162,02 kg dengan rata-rata pertumbuhan 2,47 %. Ketersediaan ini terpenuhi dari produksi dan impor (BPS, Statistik Konsumsi Pangan, 2012).

Konsumsi daging 1,64 kg per kapita per tahun dengan pertumbuhan rata-rata 16,3 % per tahun. Sementara produksi per kapita berbagai jenis daging, masih lebih rendah dari konsumsi. Gambaran itu menunjukkan dalam hal pangan ini kita mempunyai potensi kerawanan tinggi, karena untuk mencukupi kebutuhan masih harus mendatangkan dari luar. Tidak ada cara lain, presiden mendatang harus memberi prioritas dalam pengembangan produksi dan keanekaragaman pangan, bukan hanya beras melainkan juga sumber pangan lain.

Kedua capres punya perspektif sama tentang perlunya ketahanan pangan, bahkan kedaulatan. Impor pangan, walau saat ini masih diperlukan, mereka anggap sebagai indikator kerawanan pangan jangka panjang. Dalam visi mereka, produksi pangan harus dilakukan dengan menambah luas sawah. Dalam hal ini keduanya berbeda strategi. Prabowo-Hatta memilih strategi production driven dengan insentif produksi, termasuk infrastuktur jalan desa.

Jokowi-JK mendahulukan infrastruktur irigasi dengan membuat bendungan; seraya mengacu kegagalan penciptaan sawah seperti program sejuta hektare lahan gambut mengingat belum memkikirkan  bagaimana irigasi untuk penciptaan lahan tersebut.

Pasar Domestik

Jokowi-JK memilih strategi market driven dan penciptaan nilai tambah. Strategi ini menekankan pengutamaan penciptaan pasar komoditas pertanian sebelum berproduksi. Dalam bahasa marketing, strategi ini secara sederhana menganut pendekatan ”menghasilkan apa yang bisa dijual”, dan bukannya ”menjual apa yang dihasilkan”.

Siapa pun presiden terpilih, mesti menjalankan kedua strategi tersebut. Untuk pertanian yang cenderung subsistem strategi production driven dapat dilakukan. Namun andai kita ingin mengembangkan pertanian ke arah agrobisnis, lebih tepat menerapkan strategi market driven.

Mengenai ketahanan energi, kita bisa melihat elastisitas permintaan energi terhadap PDB Indonesia saat ini masih sekitar 1,3 (Energy Outlook 2010, Kementerian ESDM). Ini berarti kebutuhan energi akan meningkat  1,3 lebih tinggi dari tingkat pertumbuham ekonomi. Apabila kita mengandaikan pertumbuhan ekonomi kita rata-rata 6 % per tahun, maka kebutuhan energi akan meningkat rata-rata 8 % per tahun.

Sementara pada saat ini; bersamaan dengan makin menipisnya energi fosil dan berkembangnya biofuel, sumber energi dengan sumber pangan sudah menjadi barang substitusi. Potensi perebutan sumber pangan untuk kebutuhan penyediaan  pangan dan kebutuhan energi sangat mungkin terjadi pada masa depan.

Kedua pasangan capres punya pandangan sama bahwa peta strategis jangka panjang energi Indonesia adalah diversivikasi. Sayang, keduanya seolah menghindar membahas mengenai peta pengurangan subsidi BBM yang tahun depan diperkirakan Rp 300 triliun. Keduanya masih samar-samar membahas pemberantasan mafia migas, jadi salah satu penyebab  tingginya subsidi BBM.

Mengenai pasar domestik, pasangan Jokowi-JK secara tegas menempatkannya sebagai prioritas. Banyak negara melihat Indonesia, dengan jumlah penduduk besar, sebagai pasar potensial. Tidak ada pilihan lain bagi presiden mendatang untuk menempatkan pasar domestik sebagai kekuatan ekonomi. Kuncinya adalah selain meningkatkan juga memeratakan daya beli ke semua lapisan dan wilayah.

Kita bisa melihat siapa yang menikmati keuntungan dan manfaat paling besar dengan berkembangnya bisnis makanan cepat saji, seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonaldís (McD) dan sejenisnya. Mungkin kita bisa sedikit mencontoh keberanian India membatasi dan mengatur perusahan besar dari luar negeri yang akan investasi di sana.

Strategi dengan orientasi fokus mikroekonomi harus mendasarkan pada keseimbangan spasial dan wilayah. Peningkatan kesenjangan hanya dapat diatasi bila ada desain yang mendasarkan pada persebaran pusat-pusat pertumbuhan di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di perkotaan. Semoga semangat kemandirian yang kita dengar dari para capres bukan hanya retorika melainkan bisa menjadi awal kebangkitan ekonomi nasional.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar