Selamat
Datang Pemimpin Baru
Edy Purwo Saputro ; Dosen FEB Universitas
Muhammadiyah Solo
|
KORAN
JAKARTA, 10 Juli 2014
Pasangan presiden dan wakil yang menang pada pemilihan kemarin sangat
perlu memikirkan tindak lanjut program pengentasan daerah tertinggal. Data
terakhir menegaskan program itu kurang sukses. Bahkan, menjelang akhir
pemerintahan Presiden SBY Oktober 2014 nanti, hasil evaluasi Bappenas justru
menunjukkan banyak ketimpangan.
Bappenas memperlihatkan jumlah daerah tertinggal pada tahun 2014: Papua
(35 kabupaten, terbanyak), Nusa Tenggara (25), Maluku dan Sumatra sama-sama
14 kabupaten. Kemudian, di Sulawesi 12 kabupaten, Kalimantan (11), dan Jawa
(8). Maka total 127 kabupaten sebagai daerah tertinggal. Dari jumlah tersebut
mayoritas di wilayah Indonesia Timur (105).
Fakta tantangan pengentasan daerah tertinggal sangat menarik dicermati,
terutama terkait rilis terbaru BPS tentang penurunan angka kemiskinan dan juga
implementasi otonomi daerah (otda) makin meluas ketimpangan antardaerah,
utamanya kawasan timur dan barat.
Maka, ragam kebijakan pemerintah tentu menjadi kajian menarik, tidak
hanya dalam konteks mereduksi kemiskinan daerah tertinggal, tetapi juga meminimalisasi
kesenjangan timur dan barat. Selain itu juga mengentaskan daerah tertinggal.
Angka kemiskinan per Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang. Ini berarti
hanya menurun 11,25 persen dari September 2014 (28,6 juta). Sudah tentu
kemiskinan banyak di daerah tertinggal. Ini tantangan pemerintahan baru.
Dalam konteks percepatan laju pembangunan, mereduksi kemiskinan dan
implementasi otda memang sebuah tantangan berat pemerintah. Bahkan, pada
tahun 2007, pemerintah menetapkan 199 kabupaten yang termasuk daerah
tertinggal tersebar di semua provinsi, kecuali Kalimantan Selatan dan DKI
Jakarta yang tidak memiliki daerah tertinggal.
Secara kumulatif, data tahun 2007, provinsi terbanyak memiliki daerah
tertinggal, yaitu Papua (18 kabupaten), NTT (15), NAD (12), dan Sulawesi
Selatan (11). Kemudian, Provinsi Riau, Banten, Bangka Belitung, Sulawesi
Utara, Yogyakarta, dan Jawa Barat (2), sedangkan Provinsi Kepulauan Riau dan
Bali hanya memiliki satu kabupaten tertinggal.
Ironi
Ironisnya, data per tahun 2014 ternyata jumlah di Papua meningkat
menjadi 35 kabupaten dan tetap mayoritas terjadi di wilayah timur.
Penetapan daerah tertinggal didasarkan perhitungan 6 kriteria dasar:
perekonomian masyarakat, SDM, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal,
aksesibilitas dan nilai karakteristik daerah. Kriteria diolah berdasar data
Potensi Desa 2003, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002, dan keuangan
kabupaten 2004 dari kementerian keuangan.
Meski demikian, protes atas kriteria ini tetap ada karena banyak daerah
spesifikasinya tidak cocok dengan keadaan sebenarnya. Kasus semacam itu
memang bukan pertama, wajar jika dalam proses selanjutnya ada daerah komplain
karena masuk daerah tertinggal.
Semua kabupaten tertinggal karena pengangguran tinggi, kualitas SDM
rendah, angka melek huruf rendah, banyak siswa SD putus sekolah. Juga, masih
banyak warga yang kurang gizi, kematian bayi banyak, harapan hidup rendah.
Dari sisi infrastruktur panjang jalan dan sarana air bersih minim. Demikian
juga prasarana kesehatan, listrik dan telepon belum memadai. Jumlah bank
umum, perkreditan rakyat, pasar, dan kemampuan keuangan lokal minim.
Komitmen mengentaskan daerah tertinggal belum optimal karena keuangan
negara terbatas. Selain itu, ada juga pengaruh situasi politik seperti
pergantian rezim. Di sisi lain, euforia otda dengan pemekaran justru
berdampak negatif karena memengaruhi jumlah daerah tertinggal di wilayah
timur.
Untuk mempercepat pembangunan pemerintah pusat dan daerah harus serius
dan fokus ke daerah tertinggal. Ironisnya, otda justru tidak bisa mengelak
dari konflik kepentingan dan aspek amburadulnya penetapan perda sehingga cenderung
banyak perda ganda. Ini dikeluhkan dunia usaha.
Jika memang pembangunan daerah tertinggal terkendala keuangan negara
perlu melibatkan masyarakat setempat dengan prioritas: pembangunan
infrastruktur perhubungan, pengembangan ekonomi lokal (PEL), dan pemberdayaan
warga lewat ekonomi kreatif.
Mengacu hal itu, maka aspek yang juga menjadi sangat penting untuk
ditelaah adalah mengembangkan basis ekonomi lokal. PEL yaitu upaya
meningkatkan laju pertumbuhan yang berkelanjutan melalui proses penjalinan
kerja sama antarkomponen dalam komunitas dengan bertumpukan pada pemanfaatan
sumber daya lokal secara optimal sehingga meningkatkan kualitas hidup
masyarakat di suatu wilayah.
Di sisi lain, strategi model kemitraan dan PEL adalah pengembangan
klaster, mendorong laju pertumbuhan usaha-usaha lokal setempat dan munculnya
usaha baru, mendorong munculnya perbaikan iklim investasi bagi usaha lokal.
Selain itu, mendorong laju investasi pada infrastruktur lunak-keras. Hal ini
menjadi bagian terpenting pengembangan ekonomi lokal.
Kebijakan utama yang dapat mendukung PEL bagi pengentasan daerah
tertinggal adalah otda, mempercepat laju pembangunan ekonomi daerah yang
efektif. Ini bisa ditempuh melalui proses pemberdayaan pembangunan ekonomi
daerah, mempercepat pembangunan pedesaan, dalam rangka penguatan warga
terutama petani dan usaha kecil.
Kemudian, juga untuk membangun sistem ekonomi kerakyatan bertumpu pada mekanisme pasar yang lebih
berkeadilan, mengembangkan aspek persaingan
sehat, dan mengoptimalkan peran pemerintah. Lalu, harus mengoreksi
ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan semua hambatan yang mendistorsi
dan mengembangkan perekonomian berorientasi global.
Di sisi lain, pengembangan basis ekonomi kreatif juga menjadi model
pengentasan daerah tertinggal sehingga beralasan bila pemerintah telah menetapkan Tahun Ekonomi Kreatif pada tahun 2009.
Harapannya dengan basis ekonomi kreatif, setiap daerah mampu bangkit dan
berkembang sejalan dengan komitmen era otda dan pemekaran daerah. Selamat
datang pemerintah baru. Itulah pekerjaan yang telah menanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar