Jumat, 11 Juli 2014

Selamat Datang Pemimpin Baru

Selamat Datang Pemimpin Baru

Edy Purwo Saputro  ;   Dosen  FEB Universitas Muhammadiyah Solo
KORAN JAKARTA, 10 Juli 2014
                                                


Pasangan presiden dan wakil yang menang pada pemilihan kemarin sangat perlu memikirkan tindak lanjut program pengentasan daerah tertinggal. Data terakhir menegaskan program itu kurang sukses. Bahkan, menjelang akhir pemerintahan Presiden SBY Oktober 2014 nanti, hasil evaluasi Bappenas justru menunjukkan banyak ketimpangan.

Bappenas memperlihatkan jumlah daerah tertinggal pada tahun 2014: Papua (35 kabupaten, terbanyak), Nusa Tenggara (25), Maluku dan Sumatra sama-sama 14 kabupaten. Kemudian, di Sulawesi 12 kabupaten, Kalimantan (11), dan Jawa (8). Maka total 127 kabupaten sebagai daerah tertinggal. Dari jumlah tersebut mayoritas di wilayah Indonesia Timur (105).

Fakta tantangan pengentasan daerah tertinggal sangat menarik dicermati, terutama terkait rilis terbaru BPS tentang penurunan angka kemiskinan dan juga implementasi otonomi daerah (otda) makin meluas ketimpangan antardaerah, utamanya kawasan timur dan barat.

Maka, ragam kebijakan pemerintah tentu menjadi kajian menarik, tidak hanya dalam konteks mereduksi kemiskinan daerah tertinggal, tetapi juga meminimalisasi kesenjangan timur dan barat. Selain itu juga mengentaskan daerah tertinggal.

Angka kemiskinan per Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang. Ini berarti hanya menurun 11,25 persen dari September 2014 (28,6 juta). Sudah tentu kemiskinan banyak di daerah tertinggal. Ini tantangan pemerintahan baru.

Dalam konteks percepatan laju pembangunan, mereduksi kemiskinan dan implementasi otda memang sebuah tantangan berat pemerintah. Bahkan, pada tahun 2007, pemerintah menetapkan 199 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal tersebar di semua provinsi, kecuali Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta yang tidak memiliki daerah tertinggal.

Secara kumulatif, data tahun 2007, provinsi terbanyak memiliki daerah tertinggal, yaitu Papua (18 kabupaten), NTT (15), NAD (12), dan Sulawesi Selatan (11). Kemudian, Provinsi Riau, Banten, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Yogyakarta, dan Jawa Barat (2), sedangkan Provinsi Kepulauan Riau dan Bali hanya memiliki satu kabupaten tertinggal.

Ironi

Ironisnya, data per tahun 2014 ternyata jumlah di Papua meningkat menjadi 35 kabupaten dan tetap mayoritas terjadi di wilayah timur.

Penetapan daerah tertinggal didasarkan perhitungan 6 kriteria dasar: perekonomian masyarakat, SDM, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas dan nilai karakteristik daerah. Kriteria diolah berdasar data Potensi Desa 2003, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002, dan keuangan kabupaten 2004 dari kementerian keuangan.

Meski demikian, protes atas kriteria ini tetap ada karena banyak daerah spesifikasinya tidak cocok dengan keadaan sebenarnya. Kasus semacam itu memang bukan pertama, wajar jika dalam proses selanjutnya ada daerah komplain karena masuk daerah tertinggal.

Semua kabupaten tertinggal karena pengangguran tinggi, kualitas SDM rendah, angka melek huruf rendah, banyak siswa SD putus sekolah. Juga, masih banyak warga yang kurang gizi, kematian bayi banyak, harapan hidup rendah. Dari sisi infrastruktur panjang jalan dan sarana air bersih minim. Demikian juga prasarana kesehatan, listrik dan telepon belum memadai. Jumlah bank umum, perkreditan rakyat, pasar, dan kemampuan keuangan lokal minim.

Komitmen mengentaskan daerah tertinggal belum optimal karena keuangan negara terbatas. Selain itu, ada juga pengaruh situasi politik seperti pergantian rezim. Di sisi lain, euforia otda dengan pemekaran justru berdampak negatif karena memengaruhi jumlah daerah tertinggal di wilayah timur.

Untuk mempercepat pembangunan pemerintah pusat dan daerah harus serius dan fokus ke daerah tertinggal. Ironisnya, otda justru tidak bisa mengelak dari konflik kepentingan dan aspek amburadulnya penetapan perda sehingga cenderung banyak perda ganda. Ini dikeluhkan dunia usaha.

Jika memang pembangunan daerah tertinggal terkendala keuangan negara perlu melibatkan masyarakat setempat dengan prioritas: pembangunan infrastruktur perhubungan, pengembangan ekonomi lokal (PEL), dan pemberdayaan warga lewat ekonomi kreatif.

Mengacu hal itu, maka aspek yang juga menjadi sangat penting untuk ditelaah adalah mengembangkan basis ekonomi lokal. PEL yaitu upaya meningkatkan laju pertumbuhan yang berkelanjutan melalui proses penjalinan kerja sama antarkomponen dalam komunitas dengan bertumpukan pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal sehingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat di suatu wilayah.

Di sisi lain, strategi model kemitraan dan PEL adalah pengembangan klaster, mendorong laju pertumbuhan usaha-usaha lokal setempat dan munculnya usaha baru, mendorong munculnya perbaikan iklim investasi bagi usaha lokal. Selain itu, mendorong laju investasi pada infrastruktur lunak-keras. Hal ini menjadi bagian terpenting pengembangan ekonomi lokal.

Kebijakan utama yang dapat mendukung PEL bagi pengentasan daerah tertinggal adalah otda, mempercepat laju pembangunan ekonomi daerah yang efektif. Ini bisa ditempuh melalui proses pemberdayaan pembangunan ekonomi daerah, mempercepat pembangunan pedesaan, dalam rangka penguatan  warga  terutama petani dan usaha kecil.

Kemudian, juga untuk membangun sistem ekonomi kerakyatan  bertumpu pada mekanisme pasar yang lebih berkeadilan, mengembangkan aspek persaingan  sehat, dan mengoptimalkan peran pemerintah. Lalu, harus mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan semua hambatan yang mendistorsi dan  mengembangkan perekonomian  berorientasi global.

Di sisi lain, pengembangan basis ekonomi kreatif juga menjadi model pengentasan daerah tertinggal sehingga beralasan bila  pemerintah telah menetapkan Tahun Ekonomi Kreatif pada tahun 2009. Harapannya dengan basis ekonomi kreatif, setiap daerah mampu bangkit dan berkembang sejalan dengan komitmen era otda dan pemekaran daerah. Selamat datang pemerintah baru. Itulah pekerjaan yang telah menanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar