Rabu, 02 Juli 2014

KB Pak Gubernur

KB Pak Gubernur

Marnyulis Max  ;  Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Unand
HALUAN, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
APA jadinya bila Gu­bernur Sumbar Irwan Prayitno me­ngimbau masyarakat untuk menyukseskan program Keluarga Berencana (KB)? Dijamin akan muncul banyak tanggapan miring, mengingat beliau sendiri berlatar belakang keluarga besar alias “KB” (KB tanda kutip).

Itu pernah terjadi ketika yang bersangkutan menulis artikel KB di sebuah harian lokal beberapa waktu lalu, yang langsung melahirkan banyak tanggapan dari berbagai kalangan. Beragam tanggapan dan komentar panjang lebar muncul tatkala salah satu akun di Facebook meng-capture tulisan Irwan tersebut. Kesan yang tertangkap, sepertinya ada yang salah bila Pak Gub ngomongin KB.

Apanya yang salah? Bagi para pengkritik, tidak pas bila Pak Gub menyarankan masyarakat untuk ber-KB, sementara yang bersangkutan justru ber-Keluarga Besar. “Urang basuruah baKB, nan inyo baranak banyak,” demikian kesimpulan dari beragam komentar di status FB itu.

Munculnya tanggapan miring serupa ini, lantaran masih adanya kesalahan persepsi banyak orang terhadap program KB. Di benak sebagian besar orang, ber-KB adalah beranak dua, tidak tiga, tidak empat, tidak lima dan seterusnya. Apalagi jumlahnya sampai bisa membentuk sebuah kesebelasan.

Persepsi ini, sebenarnya juga tidak salah. Justru memperlihatkan keberhasilan pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam “memasarkan” program KB melalui kampanye “Dua Anak Cukup”. Sehingga sampai sekarang, orang akan tetap beranggapan tidak bisa disebut ber-KB bila sebuah keluarga beranak lebih dari dua.

Perkembangan zaman, perubahan era dan pergantian kepemimpinan, telah membawa KB dalam kondisi berbeda dibanding sebelumnya. Perubahan signifikan, terjadi pascapelaksanaan International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo, Mesir. KB yang dulunya lebih mengutamakan aspek demografis, berubah dengan lebih mengedepankan Hak Azasi Manusia dan gender, yang menyelaraskan pemberdayaan perempuan dan pemenuhan kebutuhan penduduk terhadap pendidikan dan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi.

Bila dulu KB itu identik dengan pem­batasan kelahiran (melalui kampanye dua anak cukup), sekarang KB telah berubah menjadi pengaturan kelahiran (yang tergambar melalui kampanye dua anak lebih baik, sebelum kemudian kembali ke tagline dua anak cukup). Tidak sebatas mengatur kelahiran, KB era sekarang juga telah “ditumpangi” dengan program yang jauh lebih lengkap dengan tambahan: pendewasaan usia perkawinan, ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

KB sekarang tidak lagi melulu menyuruh orang memakai alat kontrasepsi dan beranak dua. Tidak. Program KB sekarang sudah mencakup seluruh siklus hidup manusia, mulai dari kehidupan Balita, Remaja, Pasangan Usia Subur (PUS), hingga Lansia. Untuk  sebagian siklus ini, dibentuk program ketahanan keluarga berupa Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan  Bina Keluarga Lansia (BKL). Khusus remaja, dengan target pendewasaan usia perkawinan dan kesehatan reproduksi, dilakukan penajaman dengan membentuk Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja  di sekolah-sekolah dan di luar sekolah. Dan sekarang sedang digalakkan pula Genre (Generasi Berencana) untuk para mahasiswa. Sementara untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga yang menjadi sasaran program KB (atau yang telah ber-KB) diakomodir lagi dengan program UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera). Tak hanya itu, saat ini pun sedang gencar-gencarnya pembentukan Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) yang dimotori mantan kepala BKK­BN Har­yono Suyono melalui Yayasan Damandiri miliknya.

Begitu luasnya cakupan program KB, ini tidak lepas dari permasalahan dan tan­tangan yang dihadapi bangsa ini yang tergambar jelas dalam RPJMN 2010-2014. Yaitu, pertama, jumlah penduduk yang besar dengan laju pertum­buhan dan pertambahan penduduk masih tinggi. Kedua, disparitas Total Fertility Rate (TFR/Angka Kelahiran Total) masih tinggi antarprovinsi. Khusus Sumbar, berdasarkan SDKI 2007 memiliki TFR 3,0 jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 2,3. Ketiga, tingkat pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) masih rendah. Keempat, masih tingginya unmet need (kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani-red),  di Sumbar mencapai 11,2 dari rata-rata nasional 9,1. Kelima, pengetahuan dan kesadaran remaja dan pasangan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi masih rendah.

Dengan kondisi demikian, bisa dikatakan isu kependudukan dan pembangunan keluarga sangatlah luas. Yaitu mencakup aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas dengan persoalan yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan secara komprehensif. Di mana jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan penduduk tinggi, kualitas rendah dan persebaran tidak merata.

Sehingga hal ini langsung disikapi pemerintah dengan membuat UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Guna pengendalian jumlah penduduk dan pembangunan keluarga ini, dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang dulunya hanya dikenal sebagai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Pemerintah melalui BKKBN, dihadapkan pada tugas pengendalian kuantitas pendu­duk dengan tiga prioritas sebagaimana tertera dalam Perpres No 5/2010, yang salah satunya adalah merevitalisasi program KB. Revitalisasi program ini, dijabarkan dengan strategi dan arah kebijakan seperti: (1) pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk yang responsif gender, (2) pembinaan dan peningkatan kemandirian keluarga berencana, (3) promosi dan penggerakan masyarakat, (4) peningkatan dan pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi, (5) pelatihan, penelitian dan pengembangan program kependudukan dan KB, serta (6) peningkatan kualitas manajemen program.

Nah, ketika Pak Gub kita menulis soal Keluarga Berencana di sebuah media, sebenarnya tidak ada yang salah. Dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah, Pak Gub sedang menjalankan strategi ketiga dari revitalisasi program KB, yaitu Promosi dan Penggerakan Masyarakat.

Pun jika dibaca kembali tulisan beliau, Pak Gub memotret realitas sosial di Sumbar, betapa lebih banyak masyarakat miskin yang tidak tersentuh program ini. Padahal sedianya program KB memang menyasar keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera (KS) I, melalui pelayanan KB gratis di klinik-klinik KB pemerintah. Sementara kalangan menengah ke atas (seperti KS II, KS III dan KS III Plus) sudah memiliki kesadaran personal yang menjadi bagian dari KB Mandiri yang umumnya lebih memilih pelayanan dari dokter-bidan swasta (DBS).

Menumbuhkan kesadaran ber-KB memang susah-susah gampang. Tidak bisa memberi contoh, mengajak pun tak jadi masalah. Yang penting kita tunjukkan bahwa kitapun peduli, seperti Pak Gub kita ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar