KB
Pak Gubernur
Marnyulis
Max ; Mahasiswa Pascasarjana
Komunikasi Unand
|
HALUAN,
01 Juli 2014
APA jadinya
bila Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengimbau masyarakat untuk menyukseskan
program Keluarga Berencana (KB)? Dijamin akan muncul banyak tanggapan miring,
mengingat beliau sendiri berlatar belakang keluarga besar alias “KB” (KB
tanda kutip).
Itu
pernah terjadi ketika yang bersangkutan menulis artikel KB di sebuah harian
lokal beberapa waktu lalu, yang langsung melahirkan banyak tanggapan dari
berbagai kalangan. Beragam tanggapan dan komentar panjang lebar muncul
tatkala salah satu akun di Facebook meng-capture
tulisan Irwan tersebut. Kesan yang tertangkap, sepertinya ada yang salah bila
Pak Gub ngomongin KB.
Apanya
yang salah? Bagi para pengkritik, tidak pas bila Pak Gub menyarankan masyarakat
untuk ber-KB, sementara yang bersangkutan justru ber-Keluarga Besar. “Urang basuruah baKB, nan inyo baranak
banyak,” demikian kesimpulan dari beragam komentar di status FB itu.
Munculnya
tanggapan miring serupa ini, lantaran masih adanya kesalahan persepsi banyak
orang terhadap program KB. Di benak sebagian besar orang, ber-KB adalah
beranak dua, tidak tiga, tidak empat, tidak lima dan seterusnya. Apalagi
jumlahnya sampai bisa membentuk sebuah kesebelasan.
Persepsi
ini, sebenarnya juga tidak salah. Justru memperlihatkan keberhasilan
pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam
“memasarkan” program KB melalui kampanye “Dua Anak Cukup”. Sehingga sampai
sekarang, orang akan tetap beranggapan tidak bisa disebut ber-KB bila sebuah
keluarga beranak lebih dari dua.
Perkembangan
zaman, perubahan era dan pergantian kepemimpinan, telah membawa KB dalam
kondisi berbeda dibanding sebelumnya. Perubahan signifikan, terjadi
pascapelaksanaan International
Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo,
Mesir. KB yang dulunya lebih mengutamakan aspek demografis, berubah dengan lebih
mengedepankan Hak Azasi Manusia dan gender, yang menyelaraskan pemberdayaan
perempuan dan pemenuhan kebutuhan penduduk terhadap pendidikan dan kesehatan,
termasuk kesehatan reproduksi.
Bila
dulu KB itu identik dengan pembatasan kelahiran (melalui kampanye dua anak
cukup), sekarang KB telah berubah menjadi pengaturan kelahiran (yang
tergambar melalui kampanye dua anak lebih baik, sebelum kemudian kembali ke
tagline dua anak cukup). Tidak sebatas mengatur kelahiran, KB era sekarang
juga telah “ditumpangi” dengan program yang jauh lebih lengkap dengan
tambahan: pendewasaan usia perkawinan, ketahanan keluarga dan peningkatan
kesejahteraan keluarga.
KB
sekarang tidak lagi melulu menyuruh orang memakai alat kontrasepsi dan
beranak dua. Tidak. Program KB sekarang sudah mencakup seluruh siklus hidup
manusia, mulai dari kehidupan Balita, Remaja, Pasangan Usia Subur (PUS),
hingga Lansia. Untuk sebagian siklus
ini, dibentuk program ketahanan keluarga berupa Bina Keluarga Balita (BKB),
Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina
Keluarga Lansia (BKL). Khusus remaja, dengan target pendewasaan usia
perkawinan dan kesehatan reproduksi, dilakukan penajaman dengan membentuk
Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja
di sekolah-sekolah dan di luar sekolah. Dan sekarang sedang digalakkan
pula Genre (Generasi Berencana) untuk para mahasiswa. Sementara untuk
mewujudkan kesejahteraan keluarga yang menjadi sasaran program KB (atau yang
telah ber-KB) diakomodir lagi dengan program UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera). Tak hanya itu, saat ini pun sedang gencar-gencarnya
pembentukan Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) yang dimotori mantan kepala
BKKBN Haryono Suyono melalui Yayasan Damandiri miliknya.
Begitu
luasnya cakupan program KB, ini tidak lepas dari permasalahan dan tantangan
yang dihadapi bangsa ini yang tergambar jelas dalam RPJMN 2010-2014. Yaitu,
pertama, jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan dan pertambahan
penduduk masih tinggi. Kedua, disparitas Total
Fertility Rate (TFR/Angka Kelahiran Total) masih tinggi antarprovinsi.
Khusus Sumbar, berdasarkan SDKI 2007 memiliki TFR 3,0 jauh di atas rata-rata
nasional yang hanya 2,3. Ketiga, tingkat pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR)
masih rendah. Keempat, masih tingginya unmet
need (kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani-red), di Sumbar mencapai 11,2 dari rata-rata
nasional 9,1. Kelima, pengetahuan dan kesadaran remaja dan pasangan usia
subur tentang KB dan kesehatan reproduksi masih rendah.
Dengan
kondisi demikian, bisa dikatakan isu kependudukan dan pembangunan keluarga
sangatlah luas. Yaitu mencakup aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas dengan
persoalan yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan secara komprehensif.
Di mana jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan penduduk tinggi, kualitas
rendah dan persebaran tidak merata.
Sehingga
hal ini langsung disikapi pemerintah dengan membuat UU No 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Guna pengendalian
jumlah penduduk dan pembangunan keluarga ini, dibentuk Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang dulunya hanya dikenal sebagai Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Pemerintah
melalui BKKBN, dihadapkan pada tugas pengendalian kuantitas penduduk dengan
tiga prioritas sebagaimana tertera dalam Perpres No 5/2010, yang salah
satunya adalah merevitalisasi program KB. Revitalisasi program ini,
dijabarkan dengan strategi dan arah kebijakan seperti: (1) pengembangan dan
sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk yang responsif gender, (2)
pembinaan dan peningkatan kemandirian keluarga berencana, (3) promosi dan
penggerakan masyarakat, (4) peningkatan dan pemanfaatan sistem informasi manajemen
(SIM) berbasis teknologi informasi, (5) pelatihan, penelitian dan pengembangan
program kependudukan dan KB, serta (6) peningkatan kualitas manajemen
program.
Nah,
ketika Pak Gub kita menulis soal Keluarga Berencana di sebuah media, sebenarnya
tidak ada yang salah. Dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah, Pak Gub
sedang menjalankan strategi ketiga dari revitalisasi program KB, yaitu
Promosi dan Penggerakan Masyarakat.
Pun jika
dibaca kembali tulisan beliau, Pak Gub memotret realitas sosial di Sumbar,
betapa lebih banyak masyarakat miskin yang tidak tersentuh program ini. Padahal
sedianya program KB memang menyasar keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera (KS) I, melalui pelayanan KB gratis di klinik-klinik KB pemerintah.
Sementara kalangan menengah ke atas (seperti KS II, KS III dan KS III Plus)
sudah memiliki kesadaran personal yang menjadi bagian dari KB Mandiri yang
umumnya lebih memilih pelayanan dari dokter-bidan swasta (DBS).
Menumbuhkan
kesadaran ber-KB memang susah-susah gampang. Tidak bisa memberi contoh,
mengajak pun tak jadi masalah. Yang penting kita tunjukkan bahwa kitapun
peduli, seperti Pak Gub kita ini... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar