Rabu, 02 Juli 2014

Benar-Benar Melayani

Benar-Benar Melayani

Herie Purwanto  ;  Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
POLRI senantiasa menyatakan diri sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat. Tiga hal itu manifestasi atas salah satu tugas pokok Polri, sebagaiana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Tugas sebagai pelindung dan pelayan masyarakat tersebut menjadi tugas polisi secara universal: to protect and to service.

Dalam perjalanannya, secara kelembagaan pada 1 Juli 2014 korps Bhayangkara memperingati HUT ke-68. Bila dianalogkan sebagai perjalanan hidup manusia, usia 68 tahun  tentunya usia yang kelewat matang. Dalam usia itu, seseorang harus dapat  menjadi sosok anutan mengingat telah kenyang melalui berbagai fase kehidupan dan pengalaman.

Karena itu, masih dalam kerangka analog tadi, tentunya Polri semestinya sudah makin dekat, dan makin memahami karakter mereka yang dilayani, yaitu masyarakat. Artinya masyarakat merasa benar-benar diperlakukan sebagai majikan yang harus mendapat kepuasan. Kata eloknya adalah sudah terbentuk mindset pada seluruh anggota kepolisian untuk memberikan yang terbaik berkait dengan tugas pelayanan tadi.

Namun keluar dari analog tadi, yang dirasakan saat ini masyarakat masih menganggap Polri belum bisa sepenuhnya melaksanakan tugas pelayanan tersebut. Banyak standard operating procedure (SOP) yang dibuat dan dipampangkan di ruang-ruang pelayanan publik belum sepenuhnya secara utuh dilaksanakan. Di lapangan masih ada keluhan, pertanyaan, bahkan sanggahan, sebagai wujud kekontraproduktifan atas SOP tersebut.

Padahal filosofi dari sebuah SOP, merupakan bentuk komitmen tranparansi tahapan, prosedur, atau mekanisme sebuah proses yang harus dipenuhi. Atas dasar SOP itu pula, tindakan pelayanan kepolisian menjadi legal dan bisa diukur, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Menjadi pelayan, dalam konteks budaya Jawa berarti menjadi abdi. Menjadi abdi berarti secara total siap untuk menyerahkan waktu, tenaga, dan pikiran. Ia tidak lagi berhitung secara materi. Tidak ada konsep wani pira atas pelayanan berupa penanganan perkara, dalam penerapan pasal ataupun perilaku lainnya selama proses penegakan hukum.

Tentu akan makin menjauhkan substansi makna sebagai pelayan bila mindset tadi masih terbalut oleh orientasi keuntungan pribadi. Tugas pelayanan yang merupakan tindakan kepolisian merupakan simbolisasi pelayanan negara kepada warganya. Artinya, andai melalukan penyimpangan, hal itu sudah masuk dalam ranah abuse of power yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kebijakan kapolri era pascareformasi.

Kembali ke Jati Diri  

Sejak era kepemimpinan Jenderal Sutanto, semangat reformasi dalam pelayanan masyarakat menjadi salah satu prioritas kebijakan. Secara turun-temurun, hingga era Kapolri Jenderal Sutarman  menanamkan hal tersebut. Kebijakan ini, tentunya jadi sebuah beleid yang harus dilaksanakan oleh semua anggota polisi. Sejalan dengan arus reformasi itu sendiri, berarti sudah hampir 15 tahun konsep baru tentang Polri sebagai pelayan yang antikorupsi, antikolusi, dan antinepotisme diluncurkan.

Dalam tataran kelembagaan, produk regulasi yang ada sebagai dasar operasional tugas pelayanan kepolisian sudah memuat substansi anti-KKN. Misalnya dari regulasi berkiat pola perekrutan, pembinaan karier, hingga tranparansi penyidikan dan anggaran. Namun, sebagaimana masih adanya keluhan dan komplain dari masyarakat, pada tataran pelaksanaannya masih dirasakan ada penyimpangan.

Hal itulah yang seharusnya pada momentum peringatan HUT Ke-68 Bhayangkara pada hari ini, Polri harus kembali pada jati dirinya sebagai pelayan masyarakat yang benar-benar melayani dengan sepenuh hati. Ketulusan dalam pengabdian kepada masyarakat akan membuahkan empati. Sebaliknya, bila tidak, masyarakat perlahan-lahan akan meninggalkan.

Proses untuk menjadi pelayan yang benar-benar melayani harus terus berjalan. Ada dua hal mendasar yang bisa dilaksanakan. Pertama; garis kebijakan dan strategi harus bisa menyentuh tataran pelaksana, artinya tidak hanya muncul, dipahami, dan dikuasai oleh tataran pembuat kebijakan. Banyak regulasi yang dibuat melalui proses kajian akademik, namun kita bisa melihat aplikasi dan penjabarannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Kedua; tindak lanjut dari persoalan pertama mengharuskan penguatan bidang pengawasan manajerial. Perlu terus memberdayakan secara optimal peran pengawas internal ataupun eksternal serta tidak membuka celah negatif atau hanya lips service yang ujung-ujungnya hanya bentuk formalitas kelembagaan. Ini yang harus diubah supaya Polri ke depan benar-benar bisa menjadi pelayan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar