Capres
Korban Quick Count
Ki Supriyoko ; Direktur Pascasarjana
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Jogjakarta
|
JAWA
POS, 11 Juli 2014
ANEH, tapi nyata! Hanya beberapa saat setelah waktu pencoblosan (di
wilayah Indonesia barat) ditutup, dua pasang capres-cawapres saling mengklaim
kemenangan. Secara tidak langsung, masing-masing pasangan calon menyatakan
berhasil mengungguli pasangan pesaingnya dalam hal pengumpulan suara rakyat.
Aneh, tapi nyata! Meskipun kedua pasang kandidat adalah orang-orang
cerdas dan berpendidikan, mereka sangat memercayai hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan beberapa
lembaga survei. Siapa meragukan kecerdasan dan keberpendidikanan Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa. Siapa pula yang menyangsikan kecerdasan dan
keberpendidikanan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Aneh, tapi nyata! Meskipun hasil resmi perhitungan suara (real count)
yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan diumumkan 22 Juli 2014,
masing-masing capres sudah menyampaikan pidato kemenangan. Hal itu dilakukan
capres 1 Prabowo Subianto dan capres 2 Joko Widodo. Mereka benar-benar telah
menjadi korban hitung cepat.
Meresahkan
Masyarakat
Secara metodologi, hasil hitung cepat berpotensi salah. Bahkan, secara
empiris, hampir tidak pernah ada hasil perhitungan cepat persis dengan hasil
perhitungan sebenarnya. Hasil perhitungan cepat selalu saja ada perbedaan
dengan hasil perhitungan sebenarnya, meskipun tingkat perbedaannya secara statistik
terkadang tidak signifikan.
Perhitungan cepat sangat bertumpu kepada dua aspek, yaitu kesamaan
sifat sampel dengan populasi (sampling
character) dan tingkat kesalahan yang diinginkan (sampling error). Mengenai kesamaan sampel dapat dijelaskan, semakin
tidak sama sifat sampel dengan populasi semakin rendah tingkat keterwakilan
sampel (sampling representatives)
yang sangat menentukan validitas hasil perhitungan.
Mengenai tingkat kesalahan perhitungan yang diinginkan berbanding
terbalik dengan banyaknya anggota sampel. Semakin rendah tingkat kesalahan
semakin tinggi banyaknya anggota sampel. Hal itu terlihat jelas pada berbagai
formula perhitungan kuota anggota sampel, misalnya Nomogram Herry King, Formula Taro Yamane, Formula Jacob Cohen,
Formula Issac and Michael, dan Formula
Paul Leedy.
Dengan memperhatikan dua aspek tersebut, kalau ada beberapa lembaga
survei melakukan hitung cepat dalam kasus yang sama, biasanya menghasilkan
kesimpulan yang cenderung sama; dalam hal ini siapa pasangan capres-cawapres
yang memperoleh suara terbanyak.
Kasus hitung cepat terhadap hasil pemilihan presiden di Indonesia kali
ini ternyata menghasilkan kesimpulan berbeda. Konkretnya sebagai berikut:
Pusat Kajian dan Pengembangan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional
(LSN), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Indonesia Research Center (IRC)
memenangkan Prabowo-Hatta dengan selisih angka 0,5 persen hingga 3 persen.
Sedangkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Radio Republik Indonesia (RRI),
Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Indikator Politik Indonesia
(IPI), Kompas Media Nusantara, CSIS-Cyrus Network (CSIC), dan Populi Center
memenangkan Jokowi-JK dengan selisih 1 persen hingga 5 persen.
Perbedaan kesimpulan tersebut menimbulkan kebingungan masyarakat, bahkan
meresahkan. Hasil hitung cepat yang berbeda di antara lembaga survei dalam
momentum sebesar dan sepenting pemilihan presiden sudah tentu meninggikan
ketegangan masyarakat.
Coba bayangkan; Prabowo maupun Joko Widodo sudah telanjur menyampaikan
pidato kemenangan gara-gara hasil perhitungan cepat yang dipercayainya.
Padahal, dapat dipastikan bahwa salah satu di antara mereka tidak akan
menjadi presiden. Kondisi seperti itu sangat berpotensi menimbulkan kerawanan
sosial yang harus kita hindari bersama.
Sanksi
Hukum
Beberapa lembaga survei tersebut pasti salah hitung. Dengan argumentasi
telah menimbulkan kebingungan, meresahkan, dan meninggikan ketegangan
masyarakat, bahkan berpotensi menimbulkan kerawanan sosial, apakah lembaga
survei tersebut dapat dikenai sanksi hukum?
Sebagian di antara lembaga survei memang telah bergabung dalam
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi). Perlu diketahui bahwa
tidak semua lembaga survei mau bergabung ke Persepsi. Itu berarti perhimpunan
tersebut tidak dapat memberikan sanksi apa pun kepada lembaga survei yang
bukan anggotanya. Kepada anggotanya pun, Persepsi tidak bisa memberikan
sanksi hukum.
Bagaimana kalau masyarakat mengadukan lembaga survei yang meresahkan
untuk diberi sanksi hukum? Hal itu tidak akan mudah, mengingat kita belum
memiliki undang-undang khusus yang mengatur masalah lembaga survei.
Masalah tersebut akan lebih sulit mana kala diketahui adanya lembaga
survei kita yang bermain politik; dalam hal ini tidak membuat laporan hitung
cepat yang benar secara ilmiah, tetapi laporannya dikemas sedemikian rupa
untuk menguntungkan pasangan capres-cawapres tertentu. Munculnya terminologi
lembaga survei bayaran, hasil hitung cepat pesanan, dan sejenisnya merupakan
bagian dari permainan politik yang justru dilakukan lembaga survei yang
seharusnya netral.
Jadi, kalau calon presiden dan calon wakil presiden kita menjadi korban
hitung cepat alias quick count,
siapa yang salah? Entahlah.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar