Senin, 07 Juli 2014

Hai

                                                                          Hai

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  06 Juli 2014
                                                


”Hai Mas. Kamu telepon HP-ku di Malaysia? Barusan?”. Demikian sebuah pesan tiba-tiba masuk di telepon genggam. Saya kaget karena tak merasa menghubungi teman saya itu. Setelah diperiksa, ternyata saya tak sengaja telah menekan nomornya. Saya kemudian membalas pesan itu. ”Aduuh..., maafkan aku ya. Kepencet”.

Dia kemudian membalas dengan sebuah kalimat yang membuat saya malunya setengah mati. ”Oh oke. Aku pikir ada apa. Tak ada yang kebetulan kok, Mas. Sudah lama kita tak bersua, ini saat tepat untuk mengucapkan hai, yang membuat orang bisa happy. Ha-ha-ha”.

Lama

Sudah lama kita tak bersua. Itu kalimat pertama yang menohok dan membuat timbulnya rasa malu. Membuat orang happy adalah kalimat berikutnya yang menghujam. Lama. Itu sebuah rentang waktu yang tidak sebentar, yang membuat orang bisa menjadi tak peduli, bukan menjadi lupa. Meski bisa saja terjadi.

Lama tak bersua merupakan ucapan yang dapat terjadi karena sejuta alasan. Dalam kasus ini, saya sudah tak ingat akan teman ini. Mengapa saya tak ingat? Karena ia bukan prioritas, bukan sama sekali karena jarak kami yang berjauhan. Kalau prioritas sudah tidak ada, bagaimana saya bisa memedulikannya. Bukankah Anda setuju?

Ketidakpedulian akan menyebabkan tidak terciptanya sebuah hubungan. Ketidakpedulian tak melahirkan perbuatan yang mampu membahagiakan orang. Kata hai, yang hanya terdiri dari tiga huruf itu, ternyata bisa membahagiakan.

Tetapi itu tidak tereksekusi karena ketidakpedulian saya. Dan sering kali ketidakpedulian digugah hanya gara-gara tak ada yang kebetulan di dunia ini. Dan tak ada yang kebetulan itu menciptakan pencerahan setelahnya.

Hai tak hanya sebuah kata menyapa, tetapi lebih dari itu ia memiliki makna yang lebih dalam. Menunjukkan bahwa saya memiliki waktu untuk orang lain, menunjukkan bahwa saya peduli. Hai juga merupakan sebuah alat yang mampu membuat saya menjadi orang yang bersyukur.

Kalaupun saya tak memiliki kekasih atau pasangan hidup, kata hai yang saya terima dari orang lain adalah sebuah genderang yang selalu akan mengingatkan kalau di dunia ini masih ada manusia yang memedulikan saya. Sebuah pembelajaran hidup dari hal sederhana yang tampaknya seperti tak bermakna. Hal kecil yang mudah sekali disepelekan.

Bahagia

”Sudah lama kita tak bersua, ini saat tepat untuk mengucapkan hai, yang membuat orang bisa happy”. Demikian kalimat teman saya di atas. Membuat orang bisa bahagia. Kalimat ini mengandung keinginan, yang akhirnya akan melahirkan usaha untuk mewujudkannya.

Orang di dalam kalimat di atas berarti bukan saya. Artinya saya melakukan untuk orang lain, menyediakan waktu untuk orang lain, memberi prioritas untuk orang lain. Orang lain itu sebutannya bermacam-macam. Ada yang disebut teman, orangtua, orang muda, sahabat, sampai musuh.

Semua orang memiliki persamaan, sama-sama ingin diperhatikan, apalagi musuh. Perhatian itu dibutuhkan bukan untuk memanjakan, tetapi untuk menguatkan. Musuh itu terjadi karena kedua pihak atau lebih tidak kuat menggeser keegoisan sehingga perhatian tidak terwujud.

Kekuatan yang dilahirkan dalam kata hai hanya bisa dirasakan kalau ada kebahagiaan yang menyokong di dalamnya. Saya sudah mengalami betapa senangnya mengetahui ada yang memberi perhatian karena hati dan jiwa saya senang, saya bisa kuat.

Itu mengapa ada yang bisa mengatakan laut pun akan kuseberangi dan gunung pun kan kudaki. Kalaupun itu dianggap sebuah kalimat gombal, kalimat itu mencerminkan kekuatan yang dilahirkan dari sebuah kebahagiaan yang sangat. Jadi, membuat orang lain bahagia itu tidak semata-mata mengandung arti membuat mereka senang, tetapi juga bermakna membuat mereka menjadi kuat.

Orang yang bisa mengucap kata hai dengan kesungguhan adalah seorang yang sungguh kuat. Menurut saya, rahasianya hanya satu. Seseorang harus kuat terlebih dahulu. Artinya, ia harus menjadi manusia yang terlebih dahulu berbahagia lahir batin sebelum membahagiakan orang lain. Ketidakbahagiaan tidak mampu menciptakan kekuatan.

Kadar kebahagiaan orang berbeda-beda. Kadar itu yang memampukan untuk bisa cepat atau lambat dalam memberi perhatian, dalam memaafkan, dan terutama dalam mengurangi keegoisan.

Sejujurnya sampai artikel ini saya tulis, saya masih susah memaafkan.

Artinya saya belum bahagia. Kalau pun sudah, kadar kebahagiaan itu belum mampu memaafkan orang lain. Kalau saya kemudian berpikir itu sebuah tindakan yang susah, itu bukan bermakna tidak bisa. Kalau saya tidak mau, itu yang menghasilkan ketidakbisaan. Bukankah begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar