Hai
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
06 Juli 2014
”Hai
Mas. Kamu telepon HP-ku di Malaysia? Barusan?”.
Demikian sebuah pesan tiba-tiba masuk di telepon genggam. Saya kaget karena
tak merasa menghubungi teman saya itu. Setelah diperiksa, ternyata saya tak
sengaja telah menekan nomornya. Saya kemudian membalas pesan itu. ”Aduuh..., maafkan aku ya. Kepencet”.
Dia kemudian membalas dengan sebuah kalimat yang membuat saya malunya
setengah mati. ”Oh oke. Aku pikir ada
apa. Tak ada yang kebetulan kok, Mas. Sudah lama kita tak bersua, ini saat
tepat untuk mengucapkan hai, yang membuat orang bisa happy. Ha-ha-ha”.
Lama
Sudah lama kita tak bersua. Itu kalimat pertama yang menohok dan
membuat timbulnya rasa malu. Membuat orang happy adalah kalimat berikutnya
yang menghujam. Lama. Itu sebuah rentang waktu yang tidak sebentar, yang
membuat orang bisa menjadi tak peduli, bukan menjadi lupa. Meski bisa saja
terjadi.
Lama tak bersua merupakan ucapan yang dapat terjadi karena sejuta
alasan. Dalam kasus ini, saya sudah tak ingat akan teman ini. Mengapa saya
tak ingat? Karena ia bukan prioritas, bukan sama sekali karena jarak kami
yang berjauhan. Kalau prioritas sudah tidak ada, bagaimana saya bisa
memedulikannya. Bukankah Anda setuju?
Ketidakpedulian akan menyebabkan tidak terciptanya sebuah hubungan.
Ketidakpedulian tak melahirkan perbuatan yang mampu membahagiakan orang. Kata
hai, yang hanya terdiri dari tiga huruf itu, ternyata bisa membahagiakan.
Tetapi itu tidak tereksekusi karena ketidakpedulian saya. Dan sering
kali ketidakpedulian digugah hanya gara-gara tak ada yang kebetulan di dunia
ini. Dan tak ada yang kebetulan itu menciptakan pencerahan setelahnya.
Hai tak hanya sebuah kata menyapa, tetapi lebih dari itu ia memiliki
makna yang lebih dalam. Menunjukkan bahwa saya memiliki waktu untuk orang
lain, menunjukkan bahwa saya peduli. Hai juga merupakan sebuah alat yang
mampu membuat saya menjadi orang yang bersyukur.
Kalaupun saya tak memiliki kekasih atau pasangan hidup, kata hai yang
saya terima dari orang lain adalah sebuah genderang yang selalu akan
mengingatkan kalau di dunia ini masih ada manusia yang memedulikan saya.
Sebuah pembelajaran hidup dari hal sederhana yang tampaknya seperti tak
bermakna. Hal kecil yang mudah sekali disepelekan.
Bahagia
”Sudah
lama kita tak bersua, ini saat tepat untuk mengucapkan hai, yang membuat
orang bisa happy”. Demikian kalimat teman saya di atas. Membuat
orang bisa bahagia. Kalimat ini mengandung keinginan, yang akhirnya akan
melahirkan usaha untuk mewujudkannya.
Orang di dalam kalimat di atas berarti bukan saya. Artinya saya
melakukan untuk orang lain, menyediakan waktu untuk orang lain, memberi
prioritas untuk orang lain. Orang lain itu sebutannya bermacam-macam. Ada
yang disebut teman, orangtua, orang muda, sahabat, sampai musuh.
Semua orang memiliki persamaan, sama-sama ingin diperhatikan, apalagi
musuh. Perhatian itu dibutuhkan bukan untuk memanjakan, tetapi untuk
menguatkan. Musuh itu terjadi karena kedua pihak atau lebih tidak kuat
menggeser keegoisan sehingga perhatian tidak terwujud.
Kekuatan yang dilahirkan dalam kata hai hanya bisa dirasakan kalau ada
kebahagiaan yang menyokong di dalamnya. Saya sudah mengalami betapa senangnya
mengetahui ada yang memberi perhatian karena hati dan jiwa saya senang, saya
bisa kuat.
Itu mengapa ada yang bisa mengatakan laut pun akan kuseberangi dan
gunung pun kan kudaki. Kalaupun itu dianggap sebuah kalimat gombal, kalimat
itu mencerminkan kekuatan yang dilahirkan dari sebuah kebahagiaan yang
sangat. Jadi, membuat orang lain bahagia itu tidak semata-mata mengandung
arti membuat mereka senang, tetapi juga bermakna membuat mereka menjadi kuat.
Orang yang bisa mengucap kata hai dengan kesungguhan adalah seorang
yang sungguh kuat. Menurut saya, rahasianya hanya satu. Seseorang harus kuat
terlebih dahulu. Artinya, ia harus menjadi manusia yang terlebih dahulu
berbahagia lahir batin sebelum membahagiakan orang lain. Ketidakbahagiaan
tidak mampu menciptakan kekuatan.
Kadar kebahagiaan orang berbeda-beda. Kadar itu yang memampukan untuk
bisa cepat atau lambat dalam memberi perhatian, dalam memaafkan, dan terutama
dalam mengurangi keegoisan.
Sejujurnya sampai artikel ini saya tulis, saya masih susah memaafkan.
Artinya saya belum bahagia. Kalau pun sudah, kadar kebahagiaan itu
belum mampu memaafkan orang lain. Kalau saya kemudian berpikir itu sebuah
tindakan yang susah, itu bukan bermakna tidak bisa. Kalau saya tidak mau, itu
yang menghasilkan ketidakbisaan. Bukankah begitu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar