Amanat
dan Kekuasaan
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 11 Juli 2014
JUTAAN orang telah memberikan pilihan di bilik suara, 9 Juli 2014.
Mereka memberikan amanat agar presiden baru mengerti hak dan kewajiban,
menggerakkan demokrasi dengan beradab. Pemberian amanat memerlukan
pertimbangan-pertimbangan demi ejawantah pengharapan. Berdemokrasi berarti
pemberian amanat. Kumpulan suara adalah amanat bagi presiden baru.
Dulu Soekarno membuat ungkapan impresif untuk mengabarkan zaman dan
situasi revolusi belum selesai di Indonesia. Soekarno memilih ungkapan amanat
sebagai bentuk keinsafan mengurusi negara. Kita masih ingat dengan akronim
politik buatan Soekarno: Ampera (Amanat Penderitaan Rakjat). Masa 1960-an,
Indonesia menghadapi pelbagai konflik dalam ejawantah ide-ide revolusi.
Soekarno mengingatkan adanya amanat untuk diwujudkan agar Indonesia mulia dan
bermartabat.
Sejak awal abad XX, istilah amanat telah masuk bahasa politik untuk
membarakan nasionalisme dan melawan kolonialisme. Kalangan nasionalis dan
agama tidak berebut untuk menggunakan istilah amanat. Mereka sadar tentang
efek istilah dalam menggerakkan ide-gagasan secara kolektif. Poerwadarminta
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan: amanat adalah barang
sesuatu jang dipertjajakan (ditipkan) kepada orang lain, keterangan dari
pemerintah, wedjangan dari orang jang terkemuka. Sutan Mohammad Zain (1952)
mengartikan amanat secara ringkas: nasihat, petuah, wasiat. Ikhtiar Soekarno
dalam pergerakan politik kebangsaan dan kesanggupan memimpin Indonesia
berpijak dari amanat. Soekarno menganggap ada pengharapan besar dari
’’rakjat’’ agar Indonesia bisa merdeka dan mulia. Pengertian amanat pun memiliki
latar sejarah dan biografis, mengacu episode kolonialisme dan Orde Lama.
Ampera menjadi ungkapan besar, representasi kemauan Soekarno mewujudkan
kedaulatan, kemakmuran, kemuliaan meski situasi politik tidak keruan. Kita
terus mengingat cara Soekarno mengartikan amanat agar kekuasaan tetap bermula
dari kehendak bersama. Memori amanat pada masa Orde Lama perlahan memunculkan
babak-babak getir. Politik rawan konflik. Ekonomi pun amburadul. Idealitas
berbangsa-bernegara sulit diwujudkan saat muncul perbedaan persepsi tentang
demokrasi dan revolusi. Soekarno mengalami dilema-dilema meski memberikan
peringatan kepada kita tentang kebermaknaan amanat dalam arus sejarah
kekuasaan di Indonesia.
Warisan akronim Soekarno digunakan Soeharto untuk mendapat dukungan politis
saat mulai menegakkan kekuasaan bertajuk Orde Baru. Soeharto sengaja
menamakan kabinet awal adalah Kabinet Ampera, mengesankan pertalian dengan
semangat dan kehendak Soekarno. Kita mengerti siasat politik Soeharto untuk
menggerakkan kekuasaan tanpa menambahi konflik. Soeharto menginginkan bahwa
kekuasaan diperoleh dari ’’pemberian amanat’’ dari rakyat. Keinginan semakin
disahkan dengan pemberian sebutan bagi pidato-pidato resmi di MPR. Soeharto
memiliki istilah keren, ’’amanat kenegaraan’’. Ingat, Soeharto sebelum
menjabat presiden menggunakan pengertian amanat sebagai limpahan kepercayaan.
Soeharto berkata: Kepercayaan kepada saya yang ditunjukkan oleh berbagai
pihak terus mendesak saya. Soeharto pun mau memikul ’’tugas berat’’ atau
’’amanat’’ menjadi presiden menggantikan Soekarno berbekal falsafah Jawa: aja kagetan-aja gumunan-aja dumeh (G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., Soeharto:
Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989).
Soeharto tidak sanggup menjalankan amanat dengan sukses meski sering
sesumbar bahwa jabatan sebagai presiden adalah amanat atau berdalih ungkapan
politis; mandataris MPR. Kegagalan terbukti saat Indonesia mengalami krisis
ekonomi-politik. Soeharto pun lengser, 1998. Amanat mulai menjadi tema besar
di kancah kekuasaan. Orang-orang menghendaki adanya pengertian-pengertian
baru tentang amanat dan kemunculan tokoh baru. Situasi politik ditanggapi
oleh para politikus dengan mendirikan partai menggunakan istilah amanat,
tetapi tidak berhasil menjadi motor reformasi. Istilah amanat dalam penamaan
partai politik belum bisa menggerakkan ide-imajinasi untuk pemuliaan
Indonesia dan kekuasaan beradab. Perjalanan reformasi pun lamban. Nurcholis
Madjid dalam risalah panjang berjudul Indonesia Kita (2003) mengingatkan:
’’Sudah saatnya kita semua melaksanakan amanat untuk berusaha menciptakan
momen keteladanan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan
agar menjadi rujukan generasi-generasi selanjutnya.’’ Pesan dari Nurcholis
Madjid belum mewujud saat Indonesia memiliki presiden-presiden baru dengan
perbedaan latar ideologis.
Sekarang kita mendapati capres-cawapres rajin menggunakan istilah
amanat dalam pelbagai pidato, iklan, wawancara saat mereka menginginkan
mendapat simpatik dari publik. Penggunaan istilah amanat mengesankan adanya
kemauan dan keberanian mereka mewujudkan pelbagai impian dan pengharapan.
Amanat menjadi istilah klise, tak mendapat pemaknaan baru sesuai dengan
memori dan situasi politik mutakhir di Indonesia. Para capres-cawapres tampak
tidak memiliki kehendak memunculkan pengertian baru bermaksud membentuk
kesadaran kritis mengenai kekuasaan. Amanat cuma diartikan mendapat suara
melimpah agar disahkan sebagai pemimpin.
Kemampuan mengolah bahasa sebagai representasi kekuasaan belum
disajikan oleh para capres-cawapres. Kesadaran pemenuhan hasrat kekuasaan
tidak berbekal ’’bahasa politik’’ dengan referensi sejarah, ilmu, imajinasi.
Penggunaan istilah tetap menampilkan kedangkalan dalam menautkan bahasa dan
kekuasaan. Kita jenuh saat para capres-cawapres mengucap istilah amanat
dengan ekspresi wajah semringah, tapi tidak sanggup menghadirkan pengertian
kritis dan konstruktif. Amanat memang berurusan dengan kekuasaan. Kita
menginginkan penjelasan-penjelasan baru agar kekuasaan tidak mengalami
salinan lagi ke pengertian amanat pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kita
juga insaf ada ketersambungan pengertian amanat saat Indonesia dipimpin oleh
B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang
Yudhoyono.
Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi bermula dari amanat. Suara
adalah amanat. Pengumpulan suara membentuk amanat menjadi besar. Pemimpin
mesti sadar dengan limpahan suara sebagai amanat. Kita tidak memerlukan
pengucapan atau penulisan amanat oleh pemimpin memenuhi bumi-langit
Indonesia. Kita menginginkan pemimpin tidak berlaku ingkar dan khianat! Kita
pun perlu mengusulkan ’’pembuatan kamus politik’’ agar amanat tidak hanya
dianggap istilah klise. Amanat tidak melulu urusan kekuasaan. Kita bisa
membaca kitab suci, mengartikan amanat selalu berkaitan dengan
pertanggungjawaban pemimpin kepada Tuhan. Amanat berarti politis dan
religius. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar