Kamis, 10 Juli 2014

Manipulasi Suara di Pilpres

                                      Manipulasi Suara di Pilpres

Agus Sudibyo  ;   Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS,  09 Juli 2014
                                                


DALAM hal politik uang, manipulasi surat suara, dan kecurangan dalam proses penghitungan suara, Pemilu Legislatif 9 April lalu dianggap sebagai yang paling brutal dalam sejarah pemilu di Indonesia. Bagaimana dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli ini? Akankah kondisi yang lebih kurang serupa terjadi lagi?

Dalam Pileg 9 April, praktik kecurangan pemilu pada tahap persiapan, pelaksanaan, dan pasca coblosan melibatkan para penyelenggara pemilu: KPUD, Bawaslu daerah, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Modusnya beragam. Dari manipulasi daftar pemilih tetap, mobilisasi surat undangan coblosan (formulir C6) hanya untuk warga pendukung kandidat tertentu, perubahan komposisi perolehan suara pada formulir C1, penggantian kotak suara di perjalanan dari TPS menuju kelurahan atau kecamatan, dan seterusnya.

Masalahnya, KPUD, Bawaslu daerah, PPK, PPS, dan KPPS pada Pilpres 9 Juli mendatang umumnya masih diisi orang- orang yang sama  dengan saat pileg lalu. Para penyelenggara pilpres umumnya orang-orang dengan mentalitas dan kepentingan yang lebih kurang sama dengan para penyelenggara pileg.  Jika seorang anggota PPK atau PPS mendapatkan Rp 300.000 sebagai ”uang tutup mulut” atas manipulasi suara yang terjadi pada pileg lalu, misalnya, mereka mungkin telah membayangkan atau berharap akan dapat ”uang tutup mulut” dengan nilai yang sama bahkan lebih pada pilpres hari ini.

Perlu digarisbawahi, yang dihadapi KPPS, PPS, dan PPK dalam pilpres adalah  para saksi dan tim sukses masing-masing kandidat atau partai politik dengan mentalitas yang juga tidak lebih baik dibandingkan saat pileg lalu. Orang-orang politik yang di dalam benaknya pertama-tama bukanlah bagaimana mewujudkan politik yang jujur dan adil, tetapi bagaimana memenangkan kandidat yang mereka dukung: apa pun caranya, tak peduli melanggar UU dan bertindak curang terhadap lawan politik atau masyarakat. Mereka tahu titik lemah para penyelenggara pemilu dalam soal politik uang dan akan berusaha memanfaatkannya dengan modal yang mereka miliki.

Potensi-potensi kecurangan di atas sudah di depan mata, masalah paling berat dalam penyelenggaraan pilpres kali ini. Serangan fajar sebelum coblosan, manipulasi daftar pemilih tetap alias DPT dan formulir undangan coblosan, serta manipulasi proses  penghitungan suara adalah ancaman serius bagi kualitas dan legitimasi pilpres kali ini.

Keunggulan elektabilitas pasangan Jokowi-JK sebesar 7-10 persen bisa jadi sia-sia dan hanya menjadi ”macan kertas” belaka jika mereka tidak berhasil mengantisipasi empat hal di atas, terutama hal terakhir. Sebaliknya, upaya keras pasangan Prabowo- Hatta mengatasi ketertinggalan elektabilitas yang mulai menunjukkan keberhasilan belakangan ini juga akan sia-sia jika berbagai bentuk manipulasi pemilu itu tidak diantisipasi dengan sungguh-sungguh.

Harga sebuah kecurangan

Pada akhirnya, yang rugi besar tentu saja seluruh masyarakat Indonesia. Upaya untuk mendapatkan pemimpin terbaik melalui proses yang demokratis dan adil terbentur oleh kecurangan- kecurangan pemilu yang bersifat sistemik dan masif. Pertanyaannya kemudian,  berapa besar potensi kecurangan tersebut?

Melakukan politik uang dan manipulasi suara dalam pilpres memang tak semudah dalam pileg. Politik uang dan manipulasi suara dalam pileg lebih mudah dilakukan karena lingkup operasinya hanya satu daerah pemilihan yang terdiri atas  1-4 kabupaten/kota. Politik uang dan manipulasi suara juga lebih mudah disembunyikan dalam pileg karena kandidatnya banyak dan pilihan yang harus dicoblos juga beragam: DPR, DPRD I, DPRD II, dan DPD. Politik uang dan manipulasi suara jauh lebih sulit dalam pilpres karena lingkup operasinya nasional dan dengan pilihan terbatas: memilih satu dari hanya dua kandidat.

Namun, mari kita simak sisi yang lain. Berdasarkan data Bawaslu pusat, dari 6.524 kecamatan yang ada di Indonesia, terdapat 2.151 kecamatan yang rawan terjadi kecurangan. Dari total 2.151 kecamatan itu, perinciannya adalah  729 kecamatan tergolong sangat rawan dan 1.422 kecamatan tergolong rawan. Perlu digarisbawahi, data ini berlaku untuk pileg ataupun pilpres.

Selain itu, partai-partai besar yang bergabung dalam koalisi pendukung capres-cawapres sangat memahami bagaimana menggerakkan mesin partai untuk memenangi pemilu: apa pun caranya, legal atau ilegal, jujur ataupun curang. Mereka telah berpengalaman dalam hal kecurangan pemilu, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Mereka tampaknya juga telah bersiap-siap untuk melakukan atau mengantisipasinya: berapa pun harga yang harus dibayar.

Kita tentu berharap politik uang dan perilaku manipulatif diantisipasi dengan politik yang berpegang pada peraturan dan etika. Namun, bisa saja politik uang dan perilaku manipulatif akan dihadapi dengan politik uang dan perilaku manipulatif pula. Terutama jika kubu-kubu yang sedang bertarung menganggap kekuasaan dan kursi presiden sebagai tujuan utama yang harus diraih: apa pun caranya.

Politik uang dan terutama manipulasi penghitungan suara adalah masalah utama dalam pilpres kali ini. Sayangnya, perhatian publik terhadap masalah ini masih terasa kurang.

Ruang publik kita terlalu berisik dengan perdebatan tentang elektabilitas capres dan potensi kemenangan masing-masing. Perhatian publik dan pemerintah terhadap aspek-aspek pendidikan memilih bagi warga negara jauh menurun dibandingkan sebelum pileg lalu. Masyarakat harus didorong untuk secara swakarsa mengawasi, mencatat, dan melaporkan proses-proses persiapan, pelaksanaan, dan penghitungan suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar