Manipulasi
Suara di Pilpres
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS,
09 Juli 2014
DALAM hal politik uang, manipulasi surat suara, dan kecurangan dalam
proses penghitungan suara, Pemilu Legislatif 9 April lalu dianggap sebagai
yang paling brutal dalam sejarah pemilu di Indonesia. Bagaimana dengan
pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli ini? Akankah kondisi yang lebih kurang
serupa terjadi lagi?
Dalam Pileg 9 April, praktik kecurangan pemilu pada tahap persiapan,
pelaksanaan, dan pasca coblosan melibatkan para penyelenggara pemilu: KPUD,
Bawaslu daerah, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia
Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Modusnya beragam. Dari manipulasi daftar pemilih tetap, mobilisasi
surat undangan coblosan (formulir C6) hanya untuk warga pendukung kandidat
tertentu, perubahan komposisi perolehan suara pada formulir C1, penggantian
kotak suara di perjalanan dari TPS menuju kelurahan atau kecamatan, dan
seterusnya.
Masalahnya, KPUD, Bawaslu daerah, PPK, PPS, dan KPPS pada Pilpres 9
Juli mendatang umumnya masih diisi orang- orang yang sama dengan saat pileg lalu. Para penyelenggara
pilpres umumnya orang-orang dengan mentalitas dan kepentingan yang lebih
kurang sama dengan para penyelenggara pileg.
Jika seorang anggota PPK atau PPS mendapatkan Rp 300.000 sebagai ”uang
tutup mulut” atas manipulasi suara yang terjadi pada pileg lalu, misalnya,
mereka mungkin telah membayangkan atau berharap akan dapat ”uang tutup mulut”
dengan nilai yang sama bahkan lebih pada pilpres hari ini.
Perlu digarisbawahi, yang dihadapi KPPS, PPS, dan PPK dalam pilpres
adalah para saksi dan tim sukses
masing-masing kandidat atau partai politik dengan mentalitas yang juga tidak
lebih baik dibandingkan saat pileg lalu. Orang-orang politik yang di dalam
benaknya pertama-tama bukanlah bagaimana mewujudkan politik yang jujur dan
adil, tetapi bagaimana memenangkan kandidat yang mereka dukung: apa pun
caranya, tak peduli melanggar UU dan bertindak curang terhadap lawan politik
atau masyarakat. Mereka tahu titik lemah para penyelenggara pemilu dalam soal
politik uang dan akan berusaha memanfaatkannya dengan modal yang mereka
miliki.
Potensi-potensi kecurangan di atas sudah di depan mata, masalah paling
berat dalam penyelenggaraan pilpres kali ini. Serangan fajar sebelum
coblosan, manipulasi daftar pemilih tetap alias DPT dan formulir undangan
coblosan, serta manipulasi proses
penghitungan suara adalah ancaman serius bagi kualitas dan legitimasi
pilpres kali ini.
Keunggulan elektabilitas pasangan Jokowi-JK sebesar 7-10 persen bisa
jadi sia-sia dan hanya menjadi ”macan kertas” belaka jika mereka tidak
berhasil mengantisipasi empat hal di atas, terutama hal terakhir. Sebaliknya,
upaya keras pasangan Prabowo- Hatta mengatasi ketertinggalan elektabilitas
yang mulai menunjukkan keberhasilan belakangan ini juga akan sia-sia jika
berbagai bentuk manipulasi pemilu itu tidak diantisipasi dengan sungguh-sungguh.
Harga
sebuah kecurangan
Pada akhirnya, yang rugi besar tentu saja seluruh masyarakat Indonesia.
Upaya untuk mendapatkan pemimpin terbaik melalui proses yang demokratis dan
adil terbentur oleh kecurangan- kecurangan pemilu yang bersifat sistemik dan
masif. Pertanyaannya kemudian, berapa
besar potensi kecurangan tersebut?
Melakukan politik uang dan manipulasi suara dalam pilpres memang tak
semudah dalam pileg. Politik uang dan manipulasi suara dalam pileg lebih
mudah dilakukan karena lingkup operasinya hanya satu daerah pemilihan yang
terdiri atas 1-4 kabupaten/kota.
Politik uang dan manipulasi suara juga lebih mudah disembunyikan dalam pileg
karena kandidatnya banyak dan pilihan yang harus dicoblos juga beragam: DPR,
DPRD I, DPRD II, dan DPD. Politik uang dan manipulasi suara jauh lebih sulit
dalam pilpres karena lingkup operasinya nasional dan dengan pilihan terbatas:
memilih satu dari hanya dua kandidat.
Namun, mari kita simak sisi yang lain. Berdasarkan data Bawaslu pusat,
dari 6.524 kecamatan yang ada di Indonesia, terdapat 2.151 kecamatan yang
rawan terjadi kecurangan. Dari total 2.151 kecamatan itu, perinciannya
adalah 729 kecamatan tergolong sangat
rawan dan 1.422 kecamatan tergolong rawan. Perlu digarisbawahi, data ini
berlaku untuk pileg ataupun pilpres.
Selain itu, partai-partai besar yang bergabung dalam koalisi pendukung
capres-cawapres sangat memahami bagaimana menggerakkan mesin partai untuk
memenangi pemilu: apa pun caranya, legal atau ilegal, jujur ataupun curang.
Mereka telah berpengalaman dalam hal kecurangan pemilu, baik sebagai pelaku
maupun sebagai korban. Mereka tampaknya juga telah bersiap-siap untuk
melakukan atau mengantisipasinya: berapa pun harga yang harus dibayar.
Kita tentu berharap politik uang dan perilaku manipulatif diantisipasi
dengan politik yang berpegang pada peraturan dan etika. Namun, bisa saja
politik uang dan perilaku manipulatif akan dihadapi dengan politik uang dan
perilaku manipulatif pula. Terutama jika kubu-kubu yang sedang bertarung
menganggap kekuasaan dan kursi presiden sebagai tujuan utama yang harus
diraih: apa pun caranya.
Politik uang dan terutama manipulasi penghitungan suara adalah masalah
utama dalam pilpres kali ini. Sayangnya, perhatian publik terhadap masalah
ini masih terasa kurang.
Ruang publik kita terlalu berisik dengan perdebatan tentang
elektabilitas capres dan potensi kemenangan masing-masing. Perhatian publik
dan pemerintah terhadap aspek-aspek pendidikan memilih bagi warga negara jauh
menurun dibandingkan sebelum pileg lalu. Masyarakat harus didorong untuk
secara swakarsa mengawasi, mencatat, dan melaporkan proses-proses persiapan,
pelaksanaan, dan penghitungan suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar