Debat
Capres dan Nasib Pancasila Kita
Teddy Rusdy ;
Pemerhati Kebijakan Strategis,
Asrenum Panglima ABRI/TNI 1987-1992
|
SINAR
HARAPAN, 03 Juli 2014
Debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang mendapat
perhatian dari seluruh penjuru Tanah Air itu ternyata tidak mengikutkan tema
ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila di
ruang publik sepi dari pembahasan, baik artikulasi Keberadaan maupun implementasinya
dalam tata kelola pemerintahan yang baik maupun dalam keseharian kehidupan
rakyat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika.
Bahkan, mungkin juga sedikit yang menyadari, setelah amendemen
I-IV terhadap UUD 1945, telah terjadi pergeseran ketatanegaraan yang
berdampak serius terhadap eksistensi dan jati diri bangsa yang berdasarkan
Pancasila ini.
Tidak hanya legislator terpilih dan capres yang patut
memperhatikan hal ini. Akibat tidak masuk dalam materi debat capres, rakyat
Indonesia yang sepatutnya mengetahui paparan capres mengenai ideologi dan
konstitusi negara juga terlewatkan.
Padahal, rakyat berhak mengetahui pandangan calon pemimpinnya
setelah 15 tahun amendemen UUD berlangsung.
Apakah justru semakin menjauhkan bangsa ini dari nilai Pancasila.
Apakah amendemen membuat rakyat ini semakin mengenali jati
dirinya sebagai bangsa yang berbeda-beda etnis, suku, dan agama, atau
sebaliknya. Rakyat semakin egois pada kepentingan diri dan golongan
sampai-sampai mengorbankan kepentingan berbangsa? Namun yang jelas, amendemen
UUD jika kita perhatikan selama ini telah berdampak luar biasa.
Dampak dari amendemen yang paling menonjol itu pertama, bangsa
ini kehilangan fungsi lembaga pelaksana kedaulatan. Hal ini terkait amendemen
Pasal 1 Ayat (2) soal kedaulatan negara.
Telah terjadi pergeseran dari “kedaulatan di tangan rakyat yang
dilaksanakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)” menjadi “kedaulatan di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.
Sejak amendemen pasal ini, otomatis tidak ada lagi lembaga
negara yang mewakili kedaulatan NKRI. Itu karena MPR tidak lagi sebagai
pemegang mandat kedaulatan. Sementara itu, kalimat “menurut UUD” adalah cara
melaksanakan kedaulatan, bukan representasi lembaga pemegang kedaulatan.
Inilah anomali pertama yang patut dipertimbangkan presiden
terpilih, para anggota legislatif, dan senator baru.
Persoalan kedaulatan ini penting didudukkan kembali karena
menyangkut pelaksana dan pelaksaaan kekuasaan tertinggi yang disebut “di
tangan rakyat”. Rakyat yang
termanivestasi di MPR tidak lagi memegang kedaulatan negara dimaksud.
Saat ini pemegang kedaulatan tertinggi tidak ada dalam UUD hasil
amendemen. Itu karena hasil amendemen hanya menyebutkan tata cara melaksanakan
kedaulatan, yaitu menurut UUD.
Di manakah wujud pelaksana kedaulatan NKRI saat ini? Amendemen
memang melahirkan lembaga-lembaga baru seperti KPK dan DPD. Namun, tidak
sadar kita juga kehilangan peran dan fungsi lembaga kedaulatan rakyat.
Menurut ahli tata negara Jean Bodin (1530-1536), kedaulatan
dalam negara ialah kekuasaan tertinggi yang tidak berasal dari kekuasaan
lain. Berdasarkan pengertian tersebut, kedaulatan memiliki sifat asli, tidak
terbagi bagi, mutlak, dan permanen.
Asli dari rakyat, tidak berasal dari pemberian lembaga kekuasaan
lain yang lebih tinggi dan karena itu menjadi tertinggi dalam suatu negara.
Tidak terbagi-bagi artinya utuh dimiliki pemegang kedaulatan itu. Bersifat
permanen, artinya tetap, tidak berubah berada dalam kekuasaan pemegang
kedaulatan.
Pasal 1 Ayat (2) sebelum amendemen yang mengatur kedaulatan
negara, sesungguhnya oleh para pendiri bangsa telah diselaraskan dengan sila
keempat Pancasila. Dengan hilangnya lembaga tertinggi negara yang memegang
kedaulatan, masihkah tata kelola negara kita berdasarkan Pancasila?
Kedua, dalam hal
demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3)
jelas demokrasi ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan, koperasi, dan cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk
kemakmuran rakyat.
Namun, pada ayat (4) yang diterapkan adalah prinsip dalam
ekonomi liberalis. Dalam turunan ayat ini, lahirlah undang-undang yang berbau
pesanan asing sehingga atas nama efesiensi, kekayaan alam nusantara banyak
yang dikuasai pihak lain.
Ketiga, hal yang sama terjadi pada penerapan turunan
undang-undang di bidang politik yang cenderung mengarah ke politik liberal
yang lebih mengatur urusan dan dominasi pribadi, kelompok, atau golongan.
Padahal, menurut sila keempat Pancasila, yang perlu dilakukan
dalam berpolitik adalah musyawarah untuk mufakat. Demikian juga jika kita
perhatikan, tidak sedikit peraturan daerah (perda) yang semakin jauh atau
kehilangan nilai-nilai semangat Pancasila.
Pada saat perumusannya, Bung Karno menyebut dasar negara sebagai philosofische
grondslag atau filsafat. Dasar pemikiran yang di atasnya didirikan bangunan
negara Indonesia. Bung Karno juga menyebut dengan istilah weltanschauung atau
pandangan hidup. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi
Pancasila menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara.
Selain itu, Pancasila juga kita sadari sebagai perjanjian luhur
bangsa ketika disahkan bersamaan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Saat
itu PPKI merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan
perjanjian luhur tersebut.
Karena itu, atas tinjauan amendemen yang tidak sepaham dengan
Pancasila tersebut. Sebagaimana disarankan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno
dalam seminar "Mencari Format Konstitusi Indonesia di Persimpangan
Amendemen UUD 1945" yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
di Jakarta, beberapa waktu lalu lalu. Kita harus berani melakukan kaji ulang
amendemen.
Desakan ini terus disampaikan, antara lain melalui Presiden SBY
dan MPR, termasuk dalam diskusi terbatas dengan redaksi Sinar Harapan ini
pada Senin (30/6).
Menyadari Pancasila sebagai hulu urusan kita dalam berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat di wilayah NKRI, siapa pun Presiden NKRI yang
akan terpilih, perhatian terhadap kaji ulang amendemen patut diingatkan. Kaji
ulang tidak berarti menolak segala bentuk perubahan terhadap UUD 1945, juga
tidak menyakralkan hasil amendemen yang sudah dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar