Sabtu, 05 Juli 2014

Debat Capres dan Nasib Pancasila Kita

                     Debat Capres dan Nasib Pancasila Kita

Teddy Rusdy  ;   Pemerhati Kebijakan Strategis,
Asrenum Panglima ABRI/TNI 1987-1992
SINAR HARAPAN,  03 Juli 2014
                                                


Debat calon presiden dan calon wakil presiden  (capres dan cawapres) yang mendapat perhatian dari seluruh penjuru Tanah Air itu ternyata tidak mengikutkan tema ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Pancasila di ruang publik sepi dari pembahasan, baik artikulasi Keberadaan maupun implementasinya dalam tata kelola pemerintahan yang baik maupun dalam keseharian kehidupan rakyat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Bahkan, mungkin juga sedikit yang menyadari, setelah amendemen I-IV terhadap UUD 1945, telah terjadi pergeseran ketatanegaraan yang berdampak serius terhadap eksistensi dan jati diri bangsa yang berdasarkan Pancasila ini.

Tidak hanya legislator terpilih dan capres yang patut memperhatikan hal ini. Akibat tidak masuk dalam materi debat capres, rakyat Indonesia yang sepatutnya mengetahui paparan capres mengenai ideologi dan konstitusi negara juga terlewatkan.

Padahal, rakyat berhak mengetahui pandangan calon pemimpinnya setelah 15 tahun amendemen UUD berlangsung.  Apakah justru semakin menjauhkan bangsa ini dari nilai Pancasila.

Apakah amendemen membuat rakyat ini semakin mengenali jati dirinya sebagai bangsa yang berbeda-beda etnis, suku, dan agama, atau sebaliknya. Rakyat semakin egois pada kepentingan diri dan golongan sampai-sampai mengorbankan kepentingan berbangsa? Namun yang jelas, amendemen UUD jika kita perhatikan selama ini telah berdampak luar biasa.

Dampak dari amendemen yang paling menonjol itu pertama, bangsa ini kehilangan fungsi lembaga pelaksana kedaulatan. Hal ini terkait amendemen Pasal 1 Ayat (2) soal kedaulatan negara.

Telah terjadi pergeseran dari “kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)” menjadi “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.

Sejak amendemen pasal ini, otomatis tidak ada lagi lembaga negara yang mewakili kedaulatan NKRI. Itu karena MPR tidak lagi sebagai pemegang mandat kedaulatan. Sementara itu, kalimat “menurut UUD” adalah cara melaksanakan kedaulatan, bukan representasi lembaga pemegang kedaulatan.

Inilah anomali pertama yang patut dipertimbangkan presiden terpilih, para anggota legislatif, dan senator baru.

Persoalan kedaulatan ini penting didudukkan kembali karena menyangkut pelaksana dan pelaksaaan kekuasaan tertinggi yang disebut “di tangan rakyat”. Rakyat  yang termanivestasi di MPR tidak lagi memegang kedaulatan negara dimaksud.

Saat ini pemegang kedaulatan tertinggi tidak ada dalam UUD hasil amendemen. Itu karena hasil amendemen hanya menyebutkan tata cara melaksanakan kedaulatan, yaitu menurut UUD.

Di manakah wujud pelaksana kedaulatan NKRI saat ini? Amendemen memang melahirkan lembaga-lembaga baru seperti KPK dan DPD. Namun, tidak sadar kita juga kehilangan peran dan fungsi lembaga kedaulatan rakyat.

Menurut ahli tata negara Jean Bodin (1530-1536), kedaulatan dalam negara ialah kekuasaan tertinggi yang tidak berasal dari kekuasaan lain. Berdasarkan pengertian tersebut, kedaulatan memiliki sifat asli, tidak terbagi bagi, mutlak, dan permanen.

Asli dari rakyat, tidak berasal dari pemberian lembaga kekuasaan lain yang lebih tinggi dan karena itu menjadi tertinggi dalam suatu negara. Tidak terbagi-bagi artinya utuh dimiliki pemegang kedaulatan itu. Bersifat permanen, artinya tetap, tidak berubah berada dalam kekuasaan pemegang kedaulatan. 

Pasal 1 Ayat (2) sebelum amendemen yang mengatur kedaulatan negara, sesungguhnya oleh para pendiri bangsa telah diselaraskan dengan sila keempat Pancasila. Dengan hilangnya lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan, masihkah tata kelola negara kita berdasarkan Pancasila?

Kedua,  dalam hal demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) jelas demokrasi ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan, koperasi, dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

Namun, pada ayat (4) yang diterapkan adalah prinsip dalam ekonomi liberalis. Dalam turunan ayat ini, lahirlah undang-undang yang berbau pesanan asing sehingga atas nama efesiensi, kekayaan alam nusantara banyak yang dikuasai pihak lain.

Ketiga, hal yang sama terjadi pada penerapan turunan undang-undang di bidang politik yang cenderung mengarah ke politik liberal yang lebih mengatur urusan dan dominasi pribadi, kelompok, atau golongan.

Padahal, menurut sila keempat Pancasila, yang perlu dilakukan dalam berpolitik adalah musyawarah untuk mufakat. Demikian juga jika kita perhatikan, tidak sedikit peraturan daerah (perda) yang semakin jauh atau kehilangan nilai-nilai semangat Pancasila.

Pada saat perumusannya, Bung Karno  menyebut dasar negara sebagai philosofische grondslag atau filsafat. Dasar pemikiran yang di atasnya didirikan bangunan negara Indonesia. Bung Karno juga menyebut dengan istilah weltanschauung atau pandangan hidup. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara.

Selain itu, Pancasila juga kita sadari sebagai perjanjian luhur bangsa ketika disahkan bersamaan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Saat itu PPKI merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan perjanjian luhur tersebut.

Karena itu, atas tinjauan amendemen yang tidak sepaham dengan Pancasila tersebut. Sebagaimana disarankan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dalam seminar "Mencari Format Konstitusi Indonesia di Persimpangan Amendemen UUD 1945" yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, beberapa waktu lalu lalu. Kita harus berani melakukan kaji ulang amendemen.

Desakan ini terus disampaikan, antara lain melalui Presiden SBY dan MPR, termasuk dalam diskusi terbatas dengan redaksi Sinar Harapan ini pada Senin (30/6).

Menyadari Pancasila sebagai hulu urusan kita dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di wilayah NKRI, siapa pun Presiden NKRI yang akan terpilih, perhatian terhadap kaji ulang amendemen patut diingatkan. Kaji ulang tidak berarti menolak segala bentuk perubahan terhadap UUD 1945, juga tidak menyakralkan hasil amendemen yang sudah dilakukan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar