Sabtu, 19 Juli 2014

Perintangan Bantuan Kemanusiaan

                           Perintangan Bantuan Kemanusiaan

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  17 Juli 2014
                                                


“Sissi khawatir pembukaan pintu perbatasan Sinai-Rafah dimanfaatkan oleh kelompok radikal di Sinai”

SERANGAN udara militer Israel terhadap wilayah Jalur Gaza dengan sandi Operation Protected Edge yang berlangsung sejak 8 Juli 2014 dikhawatirkan tak akan cepat berakhir menyusul keputusan Israel Defense Forces (IDF) melancarkan serangan darat (14/7/14). Pasalnya, pejuang bersenjata Hamas dipastikan memberi perlawanan sengit seperti pernah terjadi akhir 2008 hingga awal 2009.

Kenyataannya, saat Zeronol, pasukan khusus Israel, berupaya memasuki Gaza lewat Laut Medi­terania di zona Sudanyia di Barat Laut Gaza (13/7/14 malam), pasukan Brigade Al-Qassam gigih mengadang untuk menggagalkan. 

Pertempuran darat sengit antara militer Israel dan pejuang Hamas tidak terelakkan. Keberanian Hamas seperti melengkapi kesuksesannya meluncurkan roket jarak jauh yang gagal ditangkal oleh sistem pertahanan Iron Dome (Kubah Besi) Israel, beberapa hari lalu.

Di tengah gempuran masif udara Israel, Hamas menembakkan roket Al-Qossam yang berdaya jangkau 177 km dan jatuh di kota pantai Hadera, utara ibu kota Tel Aviv. Pertempuran darat sengit dikhawatirkan membuat korban jiwa makin banyak bertambah.

Sepekan serangan udara Israel berlangsung tak kurang dari 170 nyawa penduduk Gaza terenggut paksa, 1.000 lebih warga terluka, dan ribuan rumah penduduk luluh-lantak rata dengan tanah.

Sungguh sangat menyedihkan nasib penduduk Gaza, wilayah sempit padat penghuni (luas total ’’hanya’’ sekitar 365 km persegi dan kini berpenduduk 1,8 juta jiwa) di tepi Laut Tengah, yang sekitar 90 persen wilayah daratnya berbatasan langsung dengan Israel, dan kurang lebih 10 persen sisanya berbatasan dengan Semenanjung Sinai (Mesir). Realitas geografis seperti itu tentu menggambarkan betapa amat sulit posisi dan kondisi warga Gaza ketika diserang masif oleh Negeri Zionis Israel yang kekuatan militernya termasuk kuat dan canggih di dunia saat ini.

Karena itu, sangatlah manusiawi bila publik dunia, termasuk banyak elemen masyarakat Indonesia, terketuk hatinya untuk segera mengirim bantuan kemanusiaan ke Gaza. Respons cepat masyarakat internasional itu selaras dengan ketentuan PBB tentang Humanitarian Intervention di bawah norma Responsibility to Protect.

Bantuan kemanusiaan yang sudah terkumpul, terutama berupa makanan dan obat-abatan, memang sangat dibutuhkan warga Gaza. Persoalannya, semua barang bantuan dari berbagai negara yang sudah terkumpul itu tidak bisa cepat dibawa masuk ke Gaza lantaran pemerintah baru Mesir di bawah Presiden Abdel Fatah al-Sissi menerapkan kebijakan superketat terhadap wilayah perbatasan Sinai-Rafah (Gaza).

Pemeriksaan Ekstraketat

Padahal, wilayah perbatasan itu menjadi satu-satunya akses masuk/keluar ke/dari Gaza. Al-Sissi tidak mau membuka wilayah perbatasan tersebut untuk sembarang orang. Sampai 14 Juli lalu pemerintahan al-Sissi hanya mengizinkan warga Gaza yang luka parah yang boleh keluar dan berobat di rumah sakit Mesir, serta warga Gaza yang mau menjalankan ibadah umrah. Warga asing yang mau masuk ke Gaza, kendati dengan dalih untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan sekali pun, harus melewati prosedur dan pemeriksaan yang ekstraketat.

Mengapa pemerintahan al-Sissi bersikap demikian? Alasan verbalnya tentu karena pemerintah khawatir pembukaan secara bebas pintu perbatasan Sinai-Rafah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal di Sinai, semisal Ansar Al-Jihad, Syura Mujahidin Council dan Jund Al-Syariíah yang sejauh ini diperangi oleh militer Mesir.

Dalam pandangan al-Sissi, apabila pintu masuk dan keluar Sinai-Rafah dibuka bebas, kelompok-kelompok radikal yang dicap sebagai kelompok teroris itu dapat leluasa ikut memanfaatkannya untuk meningkatkan intensitas dan lingkup serangannya di wilayah dalam negeri Mesir. Sissi tak ingin itu terjadi.

Namun di luar alasan itu terdapat alasan yang sejatinya jauh lebih dapat dipercaya kebenarannya, yakni karena pemerintahan al-Sissi ingin memanfaatkan serangan udara Israel ke Gaza sekarang sebagai kesempatan emas untuk membungkam Hamas yang juga dicap sebagai kelompok teroris.

Sissi tak mau Hamas eksis, apalagi berkembang dan memerintah di Jalur Gaza dan Palestina umumnya. Realitas itu dipandang dapat memperkuat keberadaan kelompok-kelompok radikal di Sinai yang sejauh ini gigih melakukan perlawanan tehadap penguasa di Kairo.

Dengan merintangi dan menghambat penyaluran bantuan kemanusiaan masyarakat dunia masuk ke Gaza, Mesir di bawah pemerintahan Sissi saat ini dapat dipandang sebagai pihak lain (di samping Israel) yang hendak ikut meleyapkan kelompok perlawanan Hamas. Sikap pemerintahan al-Sissi merintangi bantuan kemanusiaan ke Gaza tentu patut pula dikutuk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar