Perang
Komunikasi
Ashadi Siregar ; Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta
|
KOMPAS,
09 Juli 2014
PADA masa perang, publisis yang patriotik dengan tulus mengabdi kepada
negara. Tanpa ragu disebut sebagai partisan. Padahal, menjadi partisan dalam
kerja komunikasi, khususnya jurnalisme, merupakan tindakan amoral. Namun,
panggilan suci demi negara menabalkan partisanship disertai moral suci. Akan
tetapi, kapan suatu peperangan dapat
dimasuki para publisis?
Tidak setiap aksi militer dapat disebut sebagai peperangan. Perang
ditandai dengan pihak-pihak (belligerent)
antarnegara yang dinyatakan secara terbuka dalam lingkup hukum internasional.
Karena itu, betapapun banyak jatuh korban, ”perang” di Timor Timur disebut
aneksasi menurut hukum internasional,
atau Aceh disebut sebagai daerah operasi militer (DOM) menurut bahasa
Pemerintah Indonesia.
Setelah perang kemerdekaan, dan sebentar saat pembebasan Irian Barat,
Indonesia tidak pernah menyatakan perang dengan negara lain. Bahkan, ”perang”
saat ”Ganyang Malaysia” Presiden Soekarno tak digolongkan sebagai perang
secara hukum internasional. Karena itu, Pemerintah Singapura berani menghukum
mati gerilyawan Indonesia yang
tertangkap.
Kalau publisis terjun sebagai partisan dalam politik militer pemerintah
masa aneksasi Timtim dan DOM di Aceh,
mungkin baginya pihak ”sana” dianggap sebagai ”negara”. Bersyukurlah bahwa
pemerintahan Presiden Habibie segera menarik tentara Indonesia dari Timtim
sehingga kita tidak sempat berperang dengan pasukan gabungan PBB.
Apa kata dunia (meminjam film Asrul Sani, Nagabonar) kalau Indonesia,
yang sering dipuji-puji sebagai pengirim pasukan PBB yang unggul, bertempur
dengan pasukan gabungan PBB? Begitu juga jalan damai yang dilakoni pemerintahan SBY-JK dapat
meredam keinginan menjadi negara dengan
kemerdekaan ala Gerakan Aceh Merdeka sehingga tidak pernah sebagai
belligerent yang harus diurus pasukan PBB.
Seorang militer yang ditugasi di daerah tempur mungkin tidak perlu tahu konstelasi hukum
internasional yang melingkupi operasinya.
Setiap operasi pada dasarnya berjangka pendek. Sedikit orang yang
menempatkan kediriannya dalam rentang yang panjang. Untuk itu dia tidak hanya
melihat dirinya dengan tujuan pragmatis, tetapi perlu memahami ruang sosial
dengan perspektif yang universal (”apa kata dunia...” kata Asrul Sani).
Seorang publisis, khususnya jurnalis, bukan militer. Dia dilatih bukan
untuk memerangi musuh. Jika dia ikut sebagai partisan dalam perang negaranya,
panggilan utama adalah ke dalam negeri, yaitu memupuk semangat dan moral
bangsa. Demoralisasi bangsa dalam masa perang dapat menghancurkan negara.
Mungkin ada yang mau ikut berperang dengan menjalankan perang
psikologis (psychological warfare)
tertuju pada musuh. Namun, dengan panggilan semacam ini harus berpindah
profesi, bukan lagi sebagai jurnalis, melainkan agen rahasia.
Disiplin
jurnalisme
Tanpa perang antarnegara, jurnalis mana yang mau sebagai partisan?
Disiplin jurnalisme adalah obyektivitas yang selamanya dalam dua sisi:
kebenaran (truth) pada obyek
faktual dan netralitas pada diri jurnalis. Karena itu, bukan sekadar tujuan
pragmatis dalam berkomunikasi yang perlu, tetapi menyadari keberadaan diri
dan hasil kerja dalam ruang sosial.
Namun, dalam hal tertentu, media biasa mengambil posisi segaris dengan
pandangan pihak tertentu, atau posisi mendukung sikap pro atau kontra dalam
menghadapi isu publik yang
kontroversial atau diperdebatkan (disputed).
Keberpihakan dan sikap macam apa yang dapat diterima dalam kerangka
obyektivitas yang dijunjung tinggi dalam kerja jurnalisme?
Media jurnalisme tidak boleh bersifat partisan secara organis pada
pihak/kelompok, sebab partisanship-nya
adalah pada gagasan moral yang dijadikan dasar dalam menghadapi fakta. Karena
itu, di atas episteme jurnalisme, masih ada tujuan jurnalisme yang lain,
yaitu nilai kebajikan umum yang harus dijaga dan diwujudkan.
Pembelajar jurnalisme menghayati dua dimensi yang akan menjadikan media
bersifat organik bagi publik secara luas, yaitu secara pragmatis sosial
melalui obyektivitas dan secara kultural sebagai penjaga moral publik. Dari
sini media jurnalisme menjadi ekstensi bertimbal balik dengan publik dalam platform rasionalitas.
Menjelang pemilihan presiden mungkin ada yang menghidupkan atau hidup
dalam suasana perang. Jurnalis tentunya tidak terseret untuk berpandangan
senaif itu sebab suatu kontestasi politik tidaklah perang antarpihak yang
bermusuhan. Pihak-pihak dalam kontestasi ini adalah kandidat dan organisasi
pendukungnya, masing-masing berusaha merebut perhatian publik. Jelas kiranya
media independen dan non-partisan tidak akan melibatkan diri dalam perang antarpihak.
Dalam kontestasi, pemberitaan berasal dari peristiwa empiris (interaksi
dengan kelompok pendukung) maupun gagasan yang dinyatakan setiap kandidat.
Setiap informasi berasal dari kontestan tentang dirinya perlu diasumsikan
sebagai propaganda putih, sedangkan berkaitan dengan ”musuh” sebagai
propaganda hitam.
Media jurnalisme tidak perlu membuang energi memuat propaganda hitam
sebab harus menyediakan porsi yang sama untuk pembelaan diri. Ofensif dan
defensif dalam komunikasi setiap pihak memboroskan sumber daya media.
Kepentingan
publik
Media jurnalisme pada dasarnya tidak berkepentingan dengan siapa
pemenang di antara kandidat sebab sebagai tujuan tetap dan akhir (ultimate) dalam jurnalisme adalah
publik, bukan penguasa. Demi kepentingan publik, dari dinamika kontestasi
perlu dicari wacana yang perlu digaristebalkan. Pada setiap informasi apakah
dari peristiwa dan pernyataan dalam dinamika kontestasi, dilihat gagasan
moral yang terkandung maupun dinyatakan oleh pihak mana pun.
Informasi diperlakukan sebagai wacana yang kebenarannya bersifat
terbuka. Dengan begitu, media dapat mengangkat gagasan moral/kebajikan umum
dari setiap kandidat. Media jurnalisme dapat mengambil peran dalam
menumbuhkan rasionalitas masyarakat politik di ruang publik dalam menghadapi
wacana politik.
Namun, dengan alam pikiran ”perang”, platform jurnalisme
obyektivitas dan kebajikan umum tidak mendapat tempat. Bagi kalangan
ini hanya ada kawan dan musuh. Media jurnalisme independen dan non-partisan
dianggap tidak mendukung sehingga digolongkan sebagai musuh.
Disayangkan kaum publisis yang terlibat dalam kontestasi politik ini
juga terseret dalam perang komunikasi. Akibatnya kontestan dirugikan oleh tim
pendukungnya sendiri karena bersikap apriori bermusuhan dengan media. Mengusir
awak media karena menganggap tidak sebagai media pendukung, siapa yang rugi?
Publisis yang ikut dalam barisan kontestan ini agaknya tidak
mentaklimat tim lapangan yang menjaga pintu (gate keeper) ajang kampanye. Penjaga pintu di sini bertugas secara
harfiah, tetapi sekaligus juga berfungsi komunikator. Konsep public relations
yang elementer menggolongkan media tiga macam bagi klien (kontestan), yaitu favourable (menguntungkan), netral,
dan unfavourable (tidak
menguntungkan).
Dalam komunikasi, tidak ada musuh, tetapi bagaimana menjalankan
strategi menjaga yang sudah menguntungkan dan mengubah yang belum
menguntungkan agar sesuai dengan track kontestan.
Bersama publisis yang ada sebagai pendukung, kontestan perlu
menjalankan komunikasi rasional. Namun, kalau yang dijalankan komunikasi
dengan strategi perang psikologis, pemahaman jurnalisme sudah tidak
diperlukan. Lebih baik menjauh sebelum digebuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar