Kamis, 10 Juli 2014

Perang Komunikasi

                                                  Perang Komunikasi

Ashadi Siregar  ;   Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta
KOMPAS,  09 Juli 2014
                                                


PADA masa perang, publisis yang patriotik dengan tulus mengabdi kepada negara. Tanpa ragu disebut sebagai partisan. Padahal, menjadi partisan dalam kerja komunikasi, khususnya jurnalisme, merupakan tindakan amoral. Namun, panggilan suci demi negara menabalkan partisanship disertai moral suci. Akan tetapi, kapan suatu  peperangan dapat dimasuki para publisis? 

Tidak setiap aksi militer dapat disebut sebagai peperangan. Perang ditandai dengan pihak-pihak (belligerent) antarnegara yang dinyatakan secara terbuka dalam lingkup hukum internasional. Karena itu, betapapun banyak jatuh korban, ”perang” di Timor Timur disebut aneksasi menurut hukum  internasional, atau Aceh disebut sebagai daerah operasi militer (DOM) menurut bahasa Pemerintah Indonesia.

Setelah perang kemerdekaan, dan sebentar saat pembebasan Irian Barat, Indonesia tidak pernah menyatakan perang dengan negara lain. Bahkan, ”perang” saat ”Ganyang Malaysia” Presiden Soekarno tak digolongkan sebagai perang secara hukum internasional. Karena itu, Pemerintah Singapura berani menghukum mati gerilyawan Indonesia  yang tertangkap.

Kalau publisis terjun sebagai partisan dalam politik militer pemerintah masa aneksasi Timtim  dan DOM di Aceh, mungkin baginya pihak ”sana” dianggap sebagai ”negara”. Bersyukurlah bahwa pemerintahan Presiden Habibie segera menarik tentara Indonesia dari Timtim sehingga kita tidak sempat berperang dengan pasukan gabungan PBB.

Apa kata dunia (meminjam film Asrul Sani, Nagabonar) kalau Indonesia, yang sering dipuji-puji sebagai pengirim pasukan PBB yang unggul, bertempur dengan pasukan gabungan PBB? Begitu juga jalan damai  yang dilakoni pemerintahan SBY-JK dapat meredam keinginan menjadi negara dengan  kemerdekaan ala Gerakan Aceh Merdeka sehingga tidak pernah sebagai belligerent yang harus diurus pasukan PBB.

Seorang militer yang ditugasi di daerah tempur  mungkin tidak perlu tahu konstelasi hukum internasional yang melingkupi operasinya.  Setiap operasi pada dasarnya berjangka pendek. Sedikit orang yang menempatkan kediriannya dalam rentang yang panjang. Untuk itu dia tidak hanya melihat dirinya dengan tujuan pragmatis, tetapi perlu memahami ruang sosial dengan perspektif yang  universal (”apa kata dunia...” kata Asrul Sani).

Seorang publisis, khususnya jurnalis, bukan militer. Dia dilatih bukan untuk memerangi musuh. Jika dia ikut sebagai partisan dalam perang negaranya, panggilan utama adalah ke dalam negeri, yaitu memupuk semangat dan moral bangsa. Demoralisasi bangsa dalam masa perang dapat menghancurkan negara.

Mungkin ada yang mau ikut berperang dengan menjalankan perang psikologis  (psychological warfare) tertuju pada musuh. Namun, dengan panggilan semacam ini harus berpindah profesi, bukan lagi sebagai jurnalis, melainkan agen rahasia.

Disiplin jurnalisme

Tanpa perang antarnegara, jurnalis mana yang mau sebagai partisan? Disiplin jurnalisme adalah obyektivitas yang selamanya dalam dua sisi: kebenaran (truth) pada obyek faktual dan netralitas pada diri jurnalis. Karena itu, bukan sekadar tujuan pragmatis dalam berkomunikasi yang perlu, tetapi menyadari keberadaan diri dan hasil kerja dalam ruang sosial.

Namun, dalam hal tertentu, media biasa mengambil posisi segaris dengan pandangan pihak tertentu, atau posisi mendukung sikap pro atau kontra dalam menghadapi isu publik yang  kontroversial atau diperdebatkan (disputed). Keberpihakan dan sikap macam apa yang dapat diterima dalam kerangka obyektivitas yang dijunjung tinggi dalam kerja jurnalisme?

Media jurnalisme tidak boleh bersifat partisan secara organis pada pihak/kelompok, sebab partisanship-nya adalah pada gagasan moral yang dijadikan dasar dalam menghadapi fakta. Karena itu, di atas episteme jurnalisme, masih ada tujuan jurnalisme yang lain, yaitu nilai kebajikan umum yang harus dijaga dan diwujudkan.

Pembelajar jurnalisme menghayati dua dimensi yang akan menjadikan media bersifat organik bagi publik secara luas, yaitu secara pragmatis sosial melalui obyektivitas dan secara kultural sebagai penjaga moral publik. Dari sini media jurnalisme menjadi ekstensi bertimbal balik dengan publik dalam platform rasionalitas.

Menjelang pemilihan presiden mungkin ada yang menghidupkan atau hidup dalam suasana perang. Jurnalis tentunya tidak terseret untuk berpandangan senaif itu sebab suatu kontestasi politik tidaklah perang antarpihak yang bermusuhan. Pihak-pihak dalam kontestasi ini adalah kandidat dan organisasi pendukungnya, masing-masing berusaha merebut perhatian publik. Jelas kiranya media independen dan non-partisan tidak akan melibatkan diri dalam perang antarpihak.

Dalam kontestasi, pemberitaan berasal dari peristiwa empiris (interaksi dengan kelompok pendukung) maupun gagasan yang dinyatakan setiap kandidat. Setiap informasi berasal dari kontestan tentang dirinya perlu diasumsikan sebagai propaganda putih, sedangkan berkaitan dengan ”musuh” sebagai propaganda hitam.

Media jurnalisme tidak perlu membuang energi memuat propaganda hitam sebab harus menyediakan porsi yang sama untuk pembelaan diri. Ofensif dan defensif dalam komunikasi setiap pihak memboroskan sumber daya media.

Kepentingan publik

Media jurnalisme pada dasarnya tidak berkepentingan dengan siapa pemenang di antara kandidat sebab sebagai tujuan tetap dan akhir (ultimate) dalam jurnalisme adalah publik, bukan penguasa. Demi kepentingan publik, dari dinamika kontestasi perlu dicari wacana yang perlu digaristebalkan. Pada setiap informasi apakah dari peristiwa dan pernyataan dalam dinamika kontestasi, dilihat gagasan moral yang terkandung maupun dinyatakan oleh pihak mana pun.

Informasi diperlakukan sebagai wacana yang kebenarannya bersifat terbuka. Dengan begitu, media dapat mengangkat gagasan moral/kebajikan umum dari setiap kandidat. Media jurnalisme dapat mengambil peran dalam menumbuhkan rasionalitas masyarakat politik di ruang publik dalam menghadapi wacana politik.

Namun, dengan alam pikiran ”perang”, platform jurnalisme
obyektivitas dan kebajikan umum tidak mendapat tempat. Bagi kalangan ini hanya ada kawan dan musuh. Media jurnalisme independen dan non-partisan dianggap tidak mendukung sehingga digolongkan sebagai musuh.

Disayangkan kaum publisis yang terlibat dalam kontestasi politik ini juga terseret dalam perang komunikasi. Akibatnya kontestan dirugikan oleh tim pendukungnya sendiri karena bersikap apriori bermusuhan dengan media. Mengusir awak media karena menganggap tidak sebagai media pendukung, siapa yang rugi?

Publisis yang ikut dalam barisan kontestan ini agaknya tidak mentaklimat tim lapangan yang menjaga pintu (gate keeper) ajang kampanye. Penjaga pintu di sini bertugas secara harfiah, tetapi sekaligus juga berfungsi komunikator. Konsep public relations yang elementer menggolongkan media tiga macam bagi klien (kontestan), yaitu favourable (menguntungkan), netral, dan unfavourable (tidak menguntungkan).

Dalam komunikasi, tidak ada musuh, tetapi bagaimana menjalankan strategi menjaga yang sudah menguntungkan dan mengubah yang belum menguntungkan agar  sesuai dengan track kontestan.

Bersama publisis yang ada sebagai pendukung, kontestan perlu menjalankan komunikasi rasional. Namun, kalau yang dijalankan komunikasi dengan strategi perang psikologis, pemahaman jurnalisme sudah tidak diperlukan. Lebih baik menjauh sebelum digebuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar