Kursi
Cadangan buat Yang Kalah
J Sumardianta ;
Guru SMA Kolese De Britto Jogjakarta,
Penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2013)
|
JAWA
POS, 06 Juli 2014
REPUBLIK Mauritius merupakan preseden politik tidak lazim. Pulau kecil
di Samudra Hindia, tempat bermukim lebih dari sejuta orang keturunan Afrika,
Eropa, India, dan Asia Tenggara. Di sini pelbagai agama, bahasa, dan tradisi
etnis bergabung dalam kultur harmonis. Tiada negeri lain di belahan dunia
mana pun yang bisa seotentik Mauritius. Negeri mungil ini merdeka dari
Inggris pada 1968. Sumber dayanya terbatas. Keragaman etnis mengancam
kelangsungan perdamaian. Mayoritas penduduk keturunan India. Kaum minoritas
khawatir dikesampingkan.
Sedari awal Mauritius diprediksi bakal hancur terjerumus kekisruhan
politik, agama, ras, dan etnis. Namun, warga Mauritius, dengan komitmen dasar
merayakan perbedaan, merancang konstitusi yang menyantuni semua warga.
Sebagian besar kursi parlemen diberikan kepada para wakil terpilih dalam
pemilu. Delapan kursi dicadangkan buat ”peserta kalah pemilu” yang menduduki
peringkat terbaik. Kursi cadangan menjamin keterwakilan seimbang kaum
minoritas.
Mauritius berhasil lolos dari konflik mendalam yang mewarnai banyak
negeri multietnis. Rakyat Mauritius tidak sempurna. Mereka mempunyai masalah
sosial pelik. Mereka sukses karena tidak membatasi prinsip keadilan dalam
kerangkeng sempit kepentingan primordial-sektarian. Mereka mendongkrak
semangat kesetaraan dengan cara baru yang kukuh. Navin Ramgoolam, pemimpin
Mauritius, mengatakan, ”Kita semua tiba dari pelbagai benua dengan kapal
berbeda. Sekarang kita semua berada di kapal yang sama.”
Mauritius, negeri mungil di Benua Afrika, teladan bagus politik
berparadigma sinergis yang menyantuni para pihak yang bakal kalah dalam
pemilu. Di Indonesia, pemilu presiden (pilpres), sejak diselenggarakan secara
langsung pada 2004, baru kali ini terasa genting dan darurat. Maklum,
kandidat yang maju hanya dua pasang.
Pilpres 2014 secara ekonomi biayanya lebih murah karena hanya
berlangsung satu putaran. Namun, ongkos sosial-politiknya terkesan mahal.
Masing-masing pasangan capres-cawapres didukung partai koalisi yang
kepentingan politiknya berseberangan. Mereka memiliki pendukung setia dan
fanatik. Tujuan meraih kemenangan lalu menghalalkan segala cara.
Badai pilpres 9 Juli mendatang dikhawatirkan bakal membuat persaudaraan
membelasah berserakan hanya karena kedua pasang kandidat berikut tim sukses
dan pendukungnya tidak sanggup menghadapi kekalahan. Bahagia mendapati
kesuksesan dan kemenangan sudah biasa. Bisa menemukan kebahagiaan dalam
nestapa kekalahan baru bisa disebut manusia luar biasa. Diktum inilah yang
mesti diperhatikan capres-cawapres, parta peserta koalisi, tim sukses, dan
pendukung fanatik masing-masing kandidat.
Pilpres dijamin lancar jaya tanpa rusuh dan nir gugatan ke Mahkamah
Konstitusi jika selisih kemenangan telak atau relatif besar. Misalnya di atas
10 persen. Sejumlah survei memprediksi selisih suara kedua kandidat
capres-cawapres sangat tipis: 3 sampai 7 persen. Kemenangan tipis, meminjam
ungkapan Mohammad Hatta, bisa mengubah ”persatuan nasional” menjadi
”persatean nasional”.
Studi tentang aritmatika mental yang dilakukan Danah Zohar dan Ian
Marshal, pasangan suami-istri filsuf-psikiater Universitas Oxford Inggris,
pada 2004 menunjukkan bahwa individu maupun kelompok yang mengalami kekalahan
dalam kontestasi politik cenderung mengamuk karena skala motivasi yang
menggerakkan hidup mereka rendah (minus): 0 netral; –1 penonjolan diri; –2
kemarahan; –3 keserakahan; –4 ketakutan; –5 keresahan; –6 apatisme; –7
skrupelan; dan –8 depersonalisasi.
Individu maupun kelompok bisa tetap tenang, kalem, penuh percaya diri,
dan menerima kekalahan bila mampu menggeser skala motivasi rendah mereka
menjadi bermotivasi tinggi (surplus): 0 netral; +1 eksplorasi; +2 kooperasi;
+3 kekuatan dari dalam; +4 penguasaan diri; +5 generativitas; +6 pengabdian
demi kebaikan lebih tinggi; +7 jiwa dunia; dan +8 pencerahan.
Skala motivasi rendah bisa digeser dengan kecakapan atau keprigelan
lunak yang secara naluriah melekat dalam kepribadian individu maupun
kelompok. Ada 12 soft skill yang terus-menerus mesti diasah agar masyarakat
sehat secara spiritual dan tidak gampang terjerumus dalam amarah amuk massa:
memiliki kesadaran diri; spontanitasnya kuat; hidup terbimbing visi dan
nilai; berjiwa besar; mampu berempati; bisa merayakan keragaman; independen
terhadap lingkungan; berpikir mendasar; mampu membingkai ulang persoalan; mengambil
manfaat dari kekalahan; kerendahan hati; dan keterpanggilan.
Mengambil manfaat dari kekalahan bagi capres-cawapres dan pendukung
setianya berarti menerima fakta tragis tapi indah bahwa tidak semua masalah
memiliki solusi, tidak semua perbedaan bisa didamaikan, dan tidak semua
kompetisi bisa dimenangi. Mampu menanggung kesedihan yang bersemayam di
jantung kreativitas. Tegar menerima tragedi dan kegagalan. Tetap kalem dan
percaya diri untuk hidup bersama dalam ketidakpastian.
Individu atau kelompok kontestan yang tidak bisa mengambil manfaat dari
kekalahan terperosok ke dalam sikap mengasihani diri sendiri, merasa
dikorbankan, dan mengambinghitamkan pihak lain. Ketidakmampuan menerima
kekalahan menimbulkan keputusasaan. Frustrasi dan depresi masal itulah yang
mendorong terjadinya kegaduhan dan kerusuhan.
Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) teladan negarawan yang menerima
kekalahan tanpa harus menjadi pecundang. Gus Dur itu pemaaf dan cinta damai.
Saat didongkel dari kursi kepresidenan, Gus Dur melarang kaum nahdliyin Jawa
Timur nggruduk Jakarta agar tidak terjadi banjir darah. Gus Dur memaafkan
rival-rival politiknya. Gus Dur bahkan menjenguk mantan Presiden Soeharto
saat tergolek sakit. Padahal, pada zaman Orde Baru, Soeharto mempersulit Gus Dur.
Pribadi pemaaf melepaskan Gus Dur dari belenggu keterbatasan pada masa
lalu dan membuatnya kembali kuat. Dia memaafkan keterbatasanya sendiri
sehingga perasaan malu dan menyalahkan diri tidak terlalu berat ditanggung.
Dia memaafkan juga orang lain atas peran mereka dalam menghadirkan kekecewaan
dan kesedihan. Tujuan hidup Gus Dur bukan untuk memikul segala keluhan sesal,
melainkan untuk terus tumbuh.
Mereka yang kalah dalam Pilpres 2014 mendatang bukanlah korban,
melainkan pencipta masa depan demokrasi Indonesia yang damai dan bermartabat.
Menang ora umuk (menang tetap
rendah hati), kalah ora mabuk
(kalah tidak anarkistis). Diktum itulah yang harus dihidup-hidupi kedua
pasang capres-cawapres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar