Jumat, 10 Januari 2014

Konstitusi Tak Haruskan Pilkada Langsung

              Konstitusi Tak Haruskan Pilkada Langsung

Sulardi  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
SINAR HARAPAN,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


Mesti dipahami bahwa penyelenggaraan (pilkada) berdasar pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Gubernur, bupati, wali kota dipilih secara demokratis.”

Ketentuan ini kemudian di-breakdown ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah menjadi, “pemilihan kepala daerah yang kemudian disebut gubernur, bupati, dan wali kota sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah yang sepenuhnya dilakukan oleh DPRD.”

Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, sesungguhnya telah terjadi kemajuan yang berarti dalam hal pemilihan kepala daerah yang semula sentralistik menjadi desentralisasi DPRD. Namun, pergeseran dari sentralistik ke desentralisasi ini, belum memberikan jaminan pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan berjalan lebih baik.

Justru, berdasar UU ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah banyak terjadi masalah serius, antara lain terjadinya distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat dengan apa yang menjadi pilihan anggota-anggota DPRD. Hal tersebut terjadi karena masih kuatnya dominasi pemimpin partai politik (DPP) yang memberikan restu kepada calon yang boleh diajukan dalam arena pemilihan kepala daerah.

Dalam hal ini, DPP partai politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah turut 
menentukan siapa yang akan dicalonkan dan yang akan dipilih. Sayangnya, anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik di partainya, ketimbang suara rakyat yang diwakilinya.

Juga terjadi politik uang pada proses pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, mengingat yang menentukan siapa yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah fraksi-fraksi di DPRD.

Beberapa masalah itu kemudian digagas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, dikonkretkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah.

Semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih anggota-anggota DPRD, menjadi dicalonkan oleh partai politik yang memperoleh suara 15 persen dari jumlah kursi DPRD, kemudian dipilih langsung oleh rakyat.

Dominasi pemerintah pusat memang berkurang, namun semangat sentralistik masih terasa. Hal itu masih dirasakan cara-cara partai politik mengajukan calon gubenur, bupati, atau wali kota yang masih membutuhkan restu dari DPP partai politik yang berkantor di Jakarta.

Harus dipahami juga, jika gagasan Kemendagri diterima akan terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Jika bupati/wali kota dipilih rakyat, bupati/wali kota bertanggung jawab kepada rakyat.

Dengan demikian, jika dipilih DPRD maka bupati/wali kota bertanggung jawab kepada DPRD. Dari pengalaman tahun tahun lalu, ketika bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, bupati/wali kota cukup repot menghadapi manuver politik dari anggota DPRD saat menyampakain laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini cukup mengganggu jalannya pemerintahan.

Selain itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung beberapa kelemahan, yakni akan terjadi ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan antara kepala daerah selaku penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif. Dapat dipastikan akan terjadi model pemerintahan yang berbentuk legislative heavy, karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD.

Jika ini yang terjadi justru bertolak belakang dengan gagasan demokratisasi yang menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica. Kepala daerah akan diperlakukan sebagai “bawahan” DPRD dan dipermainkan DPRD, jika kepala daerah tidak mengakomodasi kepentingan politik dari anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kondisi ini akan mempersempit kebebasan kepala daerah dalam berinovasi membangun daerahnya.

Dari uaraian di atas, ternyata masalah yang terjadi antara kepala daerah dipilih rakyat dengan kepala daerah dipilih DPRD, jauh lebih bermasalah jika kepala daerah dipilih DPRD.

Dengan demikian, perubahan-perubahan untuk kebaikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah memang harus selalu dilakukan, tetapi tidak harus secara revolusioner. Perubahan cukup dilakukan secara gradual untuk mengurangi akibat negatif dari pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung.

Merujuk pada dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu kata pun bahwa pilkada diselenggarakan secara langsung. Yang ditemukan adalah “dipilih secara demokratis”.

Dengan demikian, perlu dukupas lebih jauh makna kata “demokratis” sebab bisa dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau secara progresif dapat diartikan disetujui seluruh rakyat secara aklamasi.

Secara demikian, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 diselenggarakan secara langsung, kini perlu dipikirkan. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, dapat dilakukan dengan tiga cara; demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh rakyat, atau secara aklamasi. Khusus untuk pemilihan gubernur bisa dengan alternatif gubernur dipilih DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi.

Namun, pertanggungjawaban tetap pada rakyat. Dengan demikian, gagasan ini bisa dijadikan jalan lain antara pemilihan gubernur oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara aklamasi. Cara-cara tersebut tidak melampaui makna dipilih secara demokratis sehingga tidak melanggar ketentuan yang termuat dalam UUD 1945.

Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, perwakialan, atau aklamasi dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing masing. Selama ini pilkada yang diselenggarakan secara langsung sudah berjalan dengan baik maka terus diselenggarakan secara langsung. Yang masih berujung konflik massif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat, diberi kebebasan penuh untuk menentukan apakah penyelenggaraan pilkada akan dilakukan langsung, perwakilan, atau aklamasi. Pemilihan gubernur bisa dilakukan dengan cara alternatif, dipilih oleh anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berdasar pada kemauan dan kesiapan masing-masing daerah, dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai nilai demokrasinya.

Sekarang tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kodisi masyarakat setempat. Pada hakikatnya rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar