Konstitusi Tak
Haruskan Pilkada Langsung
Sulardi ;
Dekan
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
|
SINAR
HARAPAN, 08 Januari 2014
Mesti dipahami bahwa penyelenggaraan (pilkada) berdasar
pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Gubernur, bupati, wali kota
dipilih secara demokratis.”
Ketentuan ini kemudian di-breakdown ke dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintah daerah menjadi, “pemilihan
kepala daerah yang kemudian disebut gubernur, bupati, dan wali kota
sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD. Pemerintah pusat hanya melantik dan
mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah yang sepenuhnya dilakukan oleh
DPRD.”
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, sesungguhnya telah
terjadi kemajuan yang berarti dalam hal pemilihan kepala daerah yang semula
sentralistik menjadi desentralisasi DPRD. Namun, pergeseran dari sentralistik
ke desentralisasi ini, belum memberikan jaminan pelaksanaan pemilihan kepala
daerah akan berjalan lebih baik.
Justru, berdasar UU ini, pelaksanaan pemilihan kepala
daerah banyak terjadi masalah serius, antara lain terjadinya distorsi antara
siapa yang diinginkan rakyat dengan apa yang menjadi pilihan anggota-anggota
DPRD. Hal tersebut terjadi karena masih kuatnya dominasi pemimpin partai
politik (DPP) yang memberikan restu kepada calon yang boleh diajukan dalam
arena pemilihan kepala daerah.
Dalam hal ini, DPP partai politik dalam pelaksanaan
pemilihan kepala daerah turut
menentukan siapa yang akan dicalonkan dan yang
akan dipilih. Sayangnya, anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik
di partainya, ketimbang suara rakyat yang diwakilinya.
Juga terjadi politik uang pada proses pendaftaran hingga
pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, mengingat yang menentukan siapa
yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah fraksi-fraksi di DPRD.
Beberapa masalah itu kemudian digagas pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat, dikonkretkan dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan hukum
pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah.
Semula pilkada dilakukan atas dasar pencalonan
fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih anggota-anggota DPRD, menjadi dicalonkan oleh
partai politik yang memperoleh suara 15 persen dari jumlah kursi DPRD,
kemudian dipilih langsung oleh rakyat.
Dominasi pemerintah pusat memang berkurang, namun semangat
sentralistik masih terasa. Hal itu masih dirasakan cara-cara partai politik
mengajukan calon gubenur, bupati, atau wali kota yang masih membutuhkan restu
dari DPP partai politik yang berkantor di Jakarta.
Harus dipahami juga, jika gagasan Kemendagri diterima akan
terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Jika bupati/wali kota dipilih
rakyat, bupati/wali kota bertanggung jawab kepada rakyat.
Dengan demikian, jika dipilih DPRD maka bupati/wali kota
bertanggung jawab kepada DPRD. Dari pengalaman tahun tahun lalu, ketika
bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, bupati/wali kota
cukup repot menghadapi manuver politik dari anggota DPRD saat menyampakain
laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini cukup
mengganggu jalannya pemerintahan.
Selain itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung
beberapa kelemahan, yakni akan terjadi ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan
antara kepala daerah selaku penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD
sebagai lembaga legislatif. Dapat dipastikan akan terjadi model pemerintahan
yang berbentuk legislative heavy,
karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD.
Jika ini yang terjadi justru bertolak belakang dengan
gagasan demokratisasi yang menghendaki adanya check and balances berbasis
trias politica. Kepala daerah akan diperlakukan sebagai “bawahan” DPRD dan
dipermainkan DPRD, jika kepala daerah tidak mengakomodasi kepentingan politik
dari anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kondisi ini akan mempersempit kebebasan
kepala daerah dalam berinovasi membangun daerahnya.
Dari uaraian di atas, ternyata masalah yang terjadi antara
kepala daerah dipilih rakyat dengan kepala daerah dipilih DPRD, jauh lebih
bermasalah jika kepala daerah dipilih DPRD.
Dengan demikian, perubahan-perubahan untuk kebaikan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah memang harus selalu dilakukan, tetapi
tidak harus secara revolusioner. Perubahan cukup dilakukan secara gradual
untuk mengurangi akibat negatif dari pemilihan kepala daerah dipilih secara
langsung.
Merujuk pada dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18
Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu kata pun bahwa pilkada
diselenggarakan secara langsung. Yang ditemukan adalah “dipilih secara
demokratis”.
Dengan demikian, perlu dukupas lebih jauh makna kata
“demokratis” sebab bisa dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara
perwakilan, atau secara progresif dapat diartikan disetujui seluruh rakyat
secara aklamasi.
Secara demikian, pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati
sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 diselenggarakan secara langsung, kini
perlu dipikirkan. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, dapat dilakukan
dengan tiga cara; demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung
oleh rakyat, atau secara aklamasi. Khusus untuk pemilihan gubernur bisa dengan
alternatif gubernur dipilih DPRD provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten
dalam wilayah provinsi.
Namun, pertanggungjawaban tetap pada rakyat. Dengan
demikian, gagasan ini bisa dijadikan jalan lain antara pemilihan gubernur
oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara aklamasi. Cara-cara
tersebut tidak melampaui makna dipilih secara demokratis sehingga tidak
melanggar ketentuan yang termuat dalam UUD 1945.
Untuk menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung,
perwakialan, atau aklamasi dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah
masing masing. Selama ini pilkada yang diselenggarakan secara langsung sudah
berjalan dengan baik maka terus diselenggarakan secara langsung. Yang
masih berujung konflik massif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
Pemerintah daerah bersama DPRD dan segenap komponen
masyarakat, diberi kebebasan penuh untuk menentukan apakah penyelenggaraan
pilkada akan dilakukan langsung, perwakilan, atau aklamasi. Pemilihan
gubernur bisa dilakukan dengan cara alternatif, dipilih oleh anggota DPRD
provinsi dan anggota DPRD kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berdasar pada
kemauan dan kesiapan masing-masing daerah, dapat dipastikan penyelenggaraan
pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai nilai
demokrasinya.
Sekarang tinggal daerah mana yang mencoba pilkada sesuai
kodisi masyarakat setempat. Pada hakikatnya rakyat Indonesia menghormati dan
menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar