Memberi Tanpa Embel-embel
R Valentina Sagala ; Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi
Sinar Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 25 Januari 2014
“Ada banyak lagi sosok luar biasa yang terus
"memberi tanpa embel-embel".
Orang tua saya sangat menekankan penanaman
nilai-nilai kemanusiaan kepada anak-anaknya sejak kecil. Dalam gambaran
sederhana mereka, menjalani hidup benar sesuai nilai-nilai cinta kasih akan
membuat hidup anak-anaknya berarti.
Salah satunya, saya dan adik-adik dididik
untuk mensyukuri hidup yang dikaruniai Tuhan, dan karenanya sudah semestinya
berkemauan “memberi” bagi sesama.
Banyak pelajaran penting tentang memberi
yang saya alami. Saya ingat, suatu ketika Ayah meminta saya memberi organ
bermerek Yamaha kesayangan saya untuk gereja. Kata Ayah, gereja membutuhkan
sebuah organ karena organ lamanya sudah sangat tua dan sering rusak.
Sempat saya bertanya, “Kenapa organku?”
Ayah hanya tersenyum. Di rumah kami ada dua organ, yang satu diberikan Ayah
khusus untuk saya, yang satunya lagi digunakan bersama oleh Ayah dan Ibu.
Dengan isi kepala dan emosi remaja belasan
tahun, saya menyimpan kesal karena tidak lagi bisa memiliki organ. Apalagi
belakangan saya tahu, organ kesayangan saya tidak diberikan untuk gereja
tempat keluarga biasa beribadah. Ayah menyumbangnya ke sebuah gereja di
daerah lain yang sampai sekarang belum pernah saya singgahi.
Ayah dan saya juga pernah membantu seorang
teman sekelas di bangku sekolah dasar dengan memberi sejumlah uang untuk
biaya sekolahnya yang tertunggak karena tak punya uang. Untuk itu, hadiah
kenaikan kelas yang dijanjikan Ayah berupa tas sekolah pun tak jadi saya
terima. Kata Ayah, “Kan kamu sudah memberi untuk yang lebih membutuhkan.”
Lama-kelamaan bersamaan dengan kedewasaan
yang bertumbuh, saya sadar dan bersyukur telah ditanamkan nilai-nilai
kebaikan yang saya yakini hingga kini. Soal memberi, yang dimaksud tentu
bukan hanya memberi barang atau uang, melainkan juga waktu, tenaga, pikiran,
perhatian, atau kasih sayang.
Hal yang paling penting dalam memberi
adalah ketulusan. Ayah memunculkan istilah “memberi tanpa embel-embel”.
Istilah Ayah merujuk pada memberi dari hati
yang tulus. Artinya, memberi tanpa mengharapkan balasan apa pun, apalagi dari
orang yang kita beri sesuatu. Memberi juga tidak perlu pakai “tapi”, seperti
“memberi tapi nanti kalau...” atau “memberi tapi hanya untuk...”.
Mengingat-ingat kembali nilai-nilai yang
diajarkan orang tua, membuat saya tersenyum. Di masa saya dewasa kini,
kebanyakan orang cenderung berlomba “menerima", bahkan merampas hak
orang lain yang seharusnya tidak diterimanya.
Konsep "memberi" pun tidaklah
sama dengan apa yang ditanamkan orang tua pada saya dulu. Sekarang ini,
memberi harus menuntut balasan atau imbalan. Saya kaget belum lama ini
membaca sebuah surat elektronik dari seorang ibu yang menuntut penghargaan
atas kesediaannya melahirkan anak. Melahirkan menjadi tindakan yang
membutuhkan imbalan. Tak beda dengan seorang perempuan yang melahirkan demi
menerima bayaran.
Selain mengharap balasan berupa penghargaan
material atau imaterial, "memberi" penuh "terms and
conditions" alias "persyaratan dan ketentuan tertentu" (sama
saja dengan embel-embel). Ada partai politik yang mau memberi bantuan bagi
korban bencana jika bendera partai politiknya berkibar di lokasi bencana.
Ada calon anggota legislatif yang memberi
bantuan cuma di daerah pemilihannya (tetangga yang jelas-jelas membutuhkan
bantuan tak dipedulikan karena bukan daerah pemilihannya). Ada juga sosialita
yang hanya mau memberi jika diliput media massa.
Betapa menyedihkannya. Memberi tidak lagi
merupakan wujud berbagi dari hati yang tulus, tanpa mengharap sesuatu.
Seorang kawan yang sedang kesulitan bahkan pernah berkata pada saya, ia takut
menerima bantuan dari keluarganya karena khawatir akan ditagih untuk
melakukan sesuatu sebagai imbalan dari bantuan yang diterimanya.
Saya jadi merenung. Dalam kultur
"memberi dengan embel-embel" sejenis ini, nilai-nilai kemanusiaan
apa yang hendak kita wariskan bagi generasi mendatang?
Meski telah memberi sepanjang hidup, tak
pernah sekalipun ayah dan ibu saya meminta-minta imbalan atau penghargaan
dari anak-anaknya dan orang lain.
Saya yakin ada banyak lagi sosok luar biasa
yang terus "memberi tanpa embel-embel". Mereka mungkin adalah
orang-orang sederhana, jauh dari ingar-bingar kekuasaan publik, sorotan
kamera, atau nafsu duniawi lain. Mereka orang-orang sederhana yang
"memberi tanpa embel-embel". Mereka tulus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar