Pemilih (Belum) Cerdas!
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu
Politik UI dan FISIP UMJ, Jakarta, Pengasuh Rumah Perkaderan Monash
Institute, Semarang
|
KORAN
SINDO, 25 Januari 2014
Kualitas
penyelenggara negara yang dihasilkan melalui mekanisme pemilu secara langsung
sangat ditentukan kualitas pemilih. Di antara aspek penting yang sangat
memengaruhi kualitas pemilih adalah kecerdasan dalam memahami politik.
Pemilih cerdas memahami dengan baik makna politik dan segala implikasinya terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dengan demikian, pemilih cerdas tidak akan sembarangan memberikan hak suaranya. Ia akan memberikan suaranya hanya kepada para calon yang dianggap benar-benar baik dan lebih dari itu bisa memperjuangkan perbaikan negara. Untuk itu, sebelum memberikan dukungan, ia akan melakukan kalkulasi secara komprehensif agar tidak salah memilih orang yang diberi dukungan. Namun, tetap saja pemilih cerdas bukan pasti cermat dalam menghasilkan pemimpin dengan kriteria yang diharapkan itu sebab orang jahat bisa berkamuflase menjadi orang baik. Politisi yang jahat dan secara bersamaan juga pandai bisa berpura- pura menjadi seolah-olah baik dengan menyampaikan visi yang tampak luhur. Sebaliknya, pemilih tidak cerdas tidak memahami makna dan implikasi politik. Karena ketidaktahuan itu, kepedulian kepada politik menjadi sangat minim atau bahkan sama sekali tidak ada. Karena itu, pemilih tidak cerdas tidak peduli tentang baik-buruk politisi yang mereka pilih karena tidak mampu mengimajinasikan dampak buruk ketika para penjahat menguasai medan politik. Jikapun pemilih dalam kategori ini baik, akan dengan sangat mudah ditipu oleh kamuflase politisi jahat yang berpura-pura menjadi baik sehingga lebih cenderung akan menghasilkan penguasa yang jahat. Dalam berbagai kesempatan, oleh berbagai pihak, muncul pernyataan bahwa rakyat pemilih di Indonesia sudah cerdas. Oleh kalangan yang sedang berkuasa, pernyataan ini dimaksudkan untuk mengukuhkan legitimasi. Dengan pernyataan tersebut, mereka bermaksud membangun opini bahwa mereka tampil karena dipilih oleh rakyat yang telah memiliki kesadaran tinggi dalam politik. Sedangkan oleh kalangan kritis, pernyataan tersebut biasanya dilontarkan menjelang penyelenggaraan pemilu untuk menakut- nakuti partai politik agar tidak berlaku khianat. Jika partai politik melakukannya, seolah-olah rakyat yang telah cerdas itu tidak akan memilih partai tertentu. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Jumlah pemilih yang tergolong cerdas dalam politik bisa dibilang sangat minim. Di kalangan terdidik pun bahkan masih cukup banyak yang tidak memahami hakikat politik, tidak mengerti secara komprehensif berbagai implikasinya, dan karena itu justru mengambil penyikapan yang kontraproduktif untuk perbaikan politik kenegaraan. Mengatakan bahwa pemilih telah cerdas di satu sisi memang bisa digunakan untuk menakutnakuti partai politik. Namun, di sisi lain, itu justru akan membuat partai politik memiliki kesempatan untuk menghindar dari tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik. Padahal fungsi ini termasuk fungsi yang sangat fundamental. Jika rakyat sudah cerdas, tidak perlu lagi ada pendidikan politik. Karena itu, jika partai politik tidak menjalankan fungsi pendidikan politik, partai politik tidak bisa disalahkan sebab tidak ada lagi signifikansi melakukan pendidikan politik kepada rakyat yang sudah cerdas. Gambaran bahwa mayoritas pemilih di Indonesia belum cerdas terdapat pada fakta hasil survei berbagai lembaga survei bahwa 60% pemilih menginginkan imbalan untuk memilih. Padahal metode yang digunakan dalam survei ini tatap muka. Jika tidak dengan tatap muka, sangat mungkin angka persentase pemilih yang menginginkan politik uang akan lebih tinggi. Sangat mungkin terdapat pemilih dengan jumlah yang juga cukup signifikan yang merasa malu untuk mengatakan bahwa mereka memilih karena uang. Pemilih cerdas tidak akan menjadikan uang recehan sebagai pengganti “nasib” dalam satu periode politik yang panjang. Sebaliknya, justru akan memberikan partisipasi secara sukarela untuk melakukan kerja-kerja politik agar bisa menghasilkan politisi yang memberikan harapan perbaikan negara. Mereka akan bekerja mati-matian untuk itu tanpa ingin imbalan material. Jika negara berada dalam kekuasaan politisi yang berkualitas baik, negara akan mengalami kemajuan secara akseleratif dan mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara keseluruhan. Sebaliknya, jika negara dikuasai para penjahat yang mendapatkan kekuasaan dengan cara menyuap, negara akan mengalami kemunduran dan rakyat akan berada dalam bahaya. Negara dengan segala struktur-strukturnya akan menjadi sarana untuk menindas dan menghisap rakyat. Dalam kondisi pemilih belum cerdas, sementara partai politik mengalami disfungsi dalam melakukan pendidikan politik, seharusnya ada pihakpihak lain yang mengambil peran ini. Jangan sampai terdapat banyak pemilih yang mengambil sikap untuk menjadi “golput”. Golput justru akan membuat para politisi jahat dengan sangat mudah menguasai negara. Pendidikan politik harus dilakukan untuk memberikan orientasi kepada lebih banyak orang bahwa suara mereka diperlukan untuk mendukung calon-calon yang diyakini bukan hanya baik, melainkan juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki. Pendidikan politik saat ini mesti dilakukan dengan dua orientasi yakni jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, rakyat perlu dididik untuk dibuat secara cepat memahami bahwa mereka harus menggunakan secara tepat hak pilih yang mereka miliki. Jangan sampai suara mereka diberikan kepada politisi yang sejak maju telah melakukan praktik suap-menyuap. Dalam konteks jangka panjang, pendidikan politik mesti diorientasikan untuk melahirkan calon-calon politisi pada masa depan. Yang menjadi peserta didik adalah anak-anak muda yang bisa diharapkan mampu menjalankan perjuangan politik. Mereka perlu dipersiapkan sejak dini untuk menjalani dunia politik dengan pemahaman yang komprehensif sehingga lebih bisa mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam politik di kemudian hari dengan segala persiapan yang dibutuhkan secara memadai. Dengan demikian, mereka akan lebih optimal dalam melakukan perjuangan politik untuk mengakselerasi perbaikan negara. Ketika partai-partai politik tengah mengalami kemandulan fungsi, diperlukan lembagalembaga pendidikan dan organisasi-organisasi sosial yang berorientasi memberdayakan masyarakat untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut. Mereka harus bekerja keras, terutama menjelang pemilu ini, agar politik dalam periode yang akan datang relatif lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Dalam dua atau tiga periode politik yang akan datang, kader-kader yang telah dipersiapkan sejak belia sudah mampu untuk menjalankan secara nyata perjuangan politik. Wallahu a’lam bi al-shawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar