Genealogi
Radikalisme Agama
Mohammad Takdir Ilahi ;
Mahasiswa
Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Staf Riset The
Mukti Ali Institute Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 07 Januari 2014
Lahirnya gerakan radikalisme memang tidak lepas dari akar
persoalan politik, agama, ekonomi, dan aspek lain yang mendorong terciptanya
tindakan kekerasan semakin subur di tengah kompleksitas persoalan bangsa ini. Isu sentral yang berkembang adalah munculnya gerakan Islam
yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita
mendirikan “negara Islam”.
Penggerebekan sekelompok teroris di Ciputat baru-baru ini,
menunjukkan adanya gerakan “radikalisme agama” yang menjadi sebuah kekuatan
laten, muncul tiba-tiba dan berbahaya bagi keamanan masyarakat sekitar.
Kekerasan atas nama agama mengakibatkan situasi ketika
agama kini sedang mengalami kecaman bertubi-tubi, dan pengujian sejarah
secara kritis oleh banyak kalangan, terutama dunia Barat.
Fenomena radikalisme sudah sangat lama terjadi, dan
ancaman terorisme semakin merajalela. Bahkan, radikalisme sering dijadikan
alat ampuh untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok, terhadap
masalah yang begitu kompleks. Ternyata radikalisme juga menghinggapi
agama-agama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme ialah
paham atau aliran yang menghendaki perubahan sosial dan politik, dengan cara
menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi
keyakinan mereka yang dianggap benar.
Dari sini, radikalisme bisa dipahami sebagai paham politik
kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan revolusi besar-besaran,
sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan yang signifikan. Definisi yang
terakhir ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan besar
bagi peradaban dunia.
Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias
politik maupun ekonomi, pada dasarnya tidak lepas dari pandangan para
penganutnya, yang memiliki argumentasi berbeda untuk memaknai gerakan
radikalisme yang tumbuh pesat di kalangan umat Islam. Tidak heran bila
pandangan positif dan negatif terhadap munculnya gerakan radikalisme sangat
tergantung pada keyakinan dasar penganutnya.
Biasanya, kaum establishment amat alergi dengan isu
radikalisme yang menuntut adanya perubahan sosial dan politik, sehingga
gerakan radikalisme tersebut masih dianggap wajar bila disalurkan melalui
jalur yang benar dan tidak menimbulkan istabilitas politik dalam negeri.
Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial-politik
yang berdampak positif dan mempercepat kemajuan suatu bangsa. Perubahan yang
cepat dan selalu diikuti dengan kekacauan politik dan anarkistis, biasanya
merupakan bagian dari radikalisme yang berdampak negatif bagi perubahan
sosial suatu bangsa (Ja’far Umar Thalib, 2005).
Genealogi Radikalisme
Radikalisme yang dianggap positif maupun negatif kerapkali
dipersamakan sebagai sebuah tindakan di luar batas kemanusiaan. Ini
karena keduanya pada dasarnya menghendaki perubahan total secara sosial
maupun politik.
Akan tetapi, tidak semua gerakan yang dilakukan harus
dianggap sama, karena keduanya sangatlah konfrontatif dan kontraproduktif.
Penjabaran mengenai terbentuknya radikalisme yang ekstrem harus dilihat dari
konteks sejarah awal pertama kali muncul, sebagai sebuah gerakan yang
dianggap melebihi batas-batas kemanusiaan.
Pada aspek tataran global, akar radikalisme bisa
ditelusuri melalui nasib Palestina yang dizalimi Israel yang didukung penuh
Amerika Serikat. Sebagai penguasa tunggal dunia, Amerika Serikat sebenarnya
berperan strategis menyelamatkan peradaban umat manusia yang mulai tersungkur
oleh kebengisan akhlak dan moral, sehingga bisa mengembangkan sebuah kultur
kearifan global (a culture of global
wisdom).
Harapan itu tidak terjadi karena politik luar negeri
Amerika Serikat sangat pro-Israel. Ini mengakibatkan permasalahan
kemanusiaan global tidak dapat dipecahkan secara berkelanjutan (Muhammad
Hanif Hasan, 2007).
Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana
kekejaman Amerika Serikat terhadap rakyat Irak dan Afganistan. Mohammad
Abu Kazleh (2003), penulis asal Yordania, mengungkapkan rasa dukanya terhadap
tragedi yang menimpa rakyat Irak akibat diinvansi Amerika Serikat.
Sekalipun adanya tantangan terhadap perang di kalangan Barat,
pemimpin-pemimpin Arab gagal mencapai persetujuan agar tidak memberikan
fasilitas kepada Amerika Serikat. Kegagalan ini berujung pada radikalisme
perang yang dilakukan Amerika Serikat, sehingga memberi rasa ketakutan bagi
bangsa Irak yang mulai terancam keselamatan jiwa mereka.
Radikalisme yang menimbulkan sikap ekstremis tersebut pada
gilirannya akan memperkeruh suasana tidak kondusif bagi keutuhan umat Islam.
Ini bisa saja mencoreng kesucian agama yang transendental. Yang paling
penting adalah kita harus menjaga sakralitas agama pada satu komitmen, untuk
memperteguh keyakinan pada nilai-nilai dasar agama yang paling fundamental.
Suasana yang tertekan dan goncangan batin yang begitu
mendalam, membuat seseorang yang menganut prinsip radikalisme akan terus
berupaya mencari titik temu sebuah kebenaran yang mereka anut.
Atas nama agama, seseorang sering mengabaikan dimensi
keluhuran kemanusiaan yang menjadi fitrah manusia itu sendiri, sehingga
tindakan kekerasan menjadi pilihan yang paling ideal untuk memperkuat jaminan
kehidupan selanjutnya.
Kalau kita lebih rinci menganalisis sejarah munculnya
radikalisme yang mengatasnamakan agama, ternyata ada satu tesis yang patut
kita pertimbangkan secara matang terkait fanatisme, terhadap ideologi yang
dilakukan sekelompok aliran politik tertentu yang meresahkan keamanan dunia.
Radikalisme agama pada dasarnya berujung pada sebuah kegagalan yang kemudian
melahirkan kebencian, dendam, maupun fanatisme.
Barangkali kita harus menyadari, pendukung
radikalisme agama tidak mampu memberikan tawaran untuk mencapai kesepakatan
damai maupun keinginan melakukan dialog partisipatif demi memecah kebuntuan.
Ketika jalan damai tidak tercapai, jalan pintas berupa self-defeating (menghancurkan diri
sendiri) atas nama agama, yang dipahami dalam suasana jiwa yang sakit dan
tertekan, kerap dilakukan sebagai bentuk kepuasaan pribadi.
Menyadari peliknya permasalahan radikalisme yang berbuntut
panjang pada harmonisasi agama, segenap tokoh agama perlu menyatukan pendapat
dan pandangan agar tidak saling mengklaim kebenaran masing-masing.
Pada intinya, gerakan radikalisme yang menyudutkan kaum
muslim tidak layak diperbincangkan dalam konteks ranah teologis maupun
ideologis, tetapi harus mengacu pada kontekstualisasi ranah global yang
memberikan tekanan bagi doktrin ajaran agama tertentu, yang dianggap mewadahi
gerakan ekstrem maupun tindakan kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar