Jumat, 10 Januari 2014

Genealogi Radikalisme Agama

                                  Genealogi Radikalisme Agama

Mohammad Takdir Ilahi  ;   Mahasiswa Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  07 Januari 2014

                                                                                                                       


Lahirnya gerakan radikalisme memang tidak lepas dari akar persoalan politik, agama, ekonomi, dan aspek lain yang mendorong terciptanya tindakan kekerasan semakin subur di tengah kompleksitas persoalan bangsa ini. Isu sentral yang berkembang adalah munculnya gerakan Islam yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita mendirikan “negara Islam”.

Penggerebekan sekelompok teroris di Ciputat baru-baru ini, menunjukkan adanya gerakan “radikalisme agama” yang menjadi sebuah kekuatan laten, muncul tiba-tiba dan berbahaya bagi keamanan masyarakat sekitar.

Kekerasan atas nama agama mengakibatkan situasi ketika agama kini sedang mengalami kecaman bertubi-tubi, dan pengujian sejarah secara kritis oleh banyak kalangan, terutama dunia Barat.

Fenomena radikalisme sudah sangat lama terjadi, dan ancaman terorisme semakin merajalela. Bahkan, radikalisme sering dijadikan alat ampuh untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok, terhadap masalah yang begitu kompleks. Ternyata radikalisme juga menghinggapi agama-agama.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme ialah paham atau aliran yang menghendaki perubahan sosial dan politik, dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap benar.

Dari sini, radikalisme bisa dipahami sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan revolusi besar-besaran, sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan yang signifikan. Definisi yang terakhir ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan besar bagi peradaban dunia.

Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias politik maupun ekonomi, pada dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganutnya, yang memiliki argumentasi berbeda untuk memaknai gerakan radikalisme yang tumbuh pesat di kalangan umat Islam. Tidak heran bila pandangan positif dan negatif terhadap munculnya gerakan radikalisme sangat tergantung pada keyakinan dasar penganutnya.

Biasanya, kaum establishment amat alergi dengan isu radikalisme yang menuntut adanya perubahan sosial dan politik, sehingga gerakan radikalisme tersebut masih dianggap wajar bila disalurkan melalui jalur yang benar dan tidak menimbulkan istabilitas politik dalam negeri.

Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial-politik yang berdampak positif dan mempercepat kemajuan suatu bangsa. Perubahan yang cepat dan selalu diikuti dengan kekacauan politik dan anarkistis, biasanya merupakan bagian dari radikalisme yang berdampak negatif bagi perubahan sosial suatu bangsa (Ja’far Umar Thalib, 2005).

Genealogi Radikalisme

Radikalisme yang dianggap positif maupun negatif kerapkali dipersamakan sebagai sebuah tindakan di luar batas kemanusiaan. Ini karena keduanya pada dasarnya menghendaki perubahan total secara sosial maupun politik.

Akan tetapi, tidak semua gerakan yang dilakukan harus dianggap sama, karena keduanya sangatlah konfrontatif dan kontraproduktif. Penjabaran mengenai terbentuknya radikalisme yang ekstrem harus dilihat dari konteks sejarah awal pertama kali muncul, sebagai sebuah gerakan yang dianggap melebihi batas-batas kemanusiaan.

Pada aspek tataran global, akar radikalisme bisa ditelusuri melalui nasib Palestina yang dizalimi Israel yang didukung penuh Amerika Serikat. Sebagai penguasa tunggal dunia, Amerika Serikat sebenarnya berperan strategis menyelamatkan peradaban umat manusia yang mulai tersungkur oleh kebengisan akhlak dan moral, sehingga bisa mengembangkan sebuah kultur kearifan global (a culture of global wisdom).

Harapan itu tidak terjadi karena politik luar negeri Amerika Serikat sangat pro-Israel. Ini mengakibatkan permasalahan kemanusiaan global tidak dapat dipecahkan secara berkelanjutan (Muhammad Hanif Hasan, 2007).

Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana kekejaman Amerika Serikat terhadap rakyat Irak dan Afganistan. Mohammad Abu Kazleh (2003), penulis asal Yordania, mengungkapkan rasa dukanya terhadap tragedi yang menimpa rakyat Irak akibat diinvansi Amerika Serikat.

Sekalipun adanya tantangan terhadap perang di kalangan Barat, pemimpin-pemimpin Arab gagal mencapai persetujuan agar tidak memberikan fasilitas kepada Amerika Serikat. Kegagalan ini berujung pada radikalisme perang yang dilakukan Amerika Serikat, sehingga memberi rasa ketakutan bagi bangsa Irak yang mulai terancam keselamatan jiwa mereka.

Radikalisme yang menimbulkan sikap ekstremis tersebut pada gilirannya akan memperkeruh suasana tidak kondusif bagi keutuhan umat Islam. Ini bisa saja mencoreng kesucian agama yang transendental. Yang paling penting adalah kita harus menjaga sakralitas agama pada satu komitmen, untuk memperteguh keyakinan pada nilai-nilai dasar agama yang paling fundamental.

Suasana yang tertekan dan goncangan batin yang begitu mendalam, membuat seseorang yang menganut prinsip radikalisme akan terus berupaya mencari titik temu sebuah kebenaran yang mereka anut.

Atas nama agama, seseorang sering mengabaikan dimensi keluhuran kemanusiaan yang menjadi fitrah manusia itu sendiri, sehingga tindakan kekerasan menjadi pilihan yang paling ideal untuk memperkuat jaminan kehidupan selanjutnya.

Kalau kita lebih rinci menganalisis sejarah munculnya radikalisme yang mengatasnamakan agama, ternyata ada satu tesis yang patut kita pertimbangkan secara matang terkait fanatisme, terhadap ideologi yang dilakukan sekelompok aliran politik tertentu yang meresahkan keamanan dunia. Radikalisme agama pada dasarnya berujung pada sebuah kegagalan yang kemudian melahirkan kebencian, dendam, maupun fanatisme.

Barangkali kita harus menyadari, pendukung radikalisme agama tidak mampu memberikan tawaran untuk mencapai kesepakatan damai maupun keinginan melakukan dialog partisipatif demi memecah kebuntuan.

Ketika jalan damai tidak tercapai, jalan pintas berupa self-defeating (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama, yang dipahami dalam suasana jiwa yang sakit dan tertekan, kerap dilakukan sebagai bentuk kepuasaan pribadi.

Menyadari peliknya permasalahan radikalisme yang berbuntut panjang pada harmonisasi agama, segenap tokoh agama perlu menyatukan pendapat dan pandangan agar tidak saling mengklaim kebenaran masing-masing.

Pada intinya, gerakan radikalisme yang menyudutkan kaum muslim tidak layak diperbincangkan dalam konteks ranah teologis maupun ideologis, tetapi harus mengacu pada kontekstualisasi ranah global yang memberikan tekanan bagi doktrin ajaran agama tertentu, yang dianggap mewadahi gerakan ekstrem maupun tindakan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar