Pemilu 2014 dan Kepercayaan Publik
Joko Wahyono ; Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 25 Januari 2014
“Masyarakat semakin melebarkan jarak
dari parpol dan bujuk rayu pemilu.”
Tak kurang dari enam bulan lagi
Pemilu 2014 akan digelar. Berbagai macam lobi dan negosiasi politik secara
intensif dilakukan para elite maupun kandidat politik yang akan bertarung.
Penetrasi politik ini semakin tampak nyata ketika berbagai varian media
nyaris tanpa jeda memberitakannya.
Mulai dari iklan politik,
rapimnas parpol, agenda “silaturahmi” dengan para tokoh nasional, organisasi
sosial-keagamaan dan kemasyarakatan, hingga gerak-gerik elite politik itu
sendiri dibingkai menjadi arus utama (mainstream)
pemberitaan. Tak dapat dimungkiri memang falsafah pemenang terletak pada
siapa saja yang mempersiapkan segala sesuatu secermat mungkin.
Namun, di tengah gaduhnya
panggung politik tersebut, kepercayaan publik terhadap parpol justru berada
di titik nadir. Hal ini sebagaimana digambarkan hasil survei yang dilakukan
Lembaga Survei Cirus Surveyors Group beberapa waktu lalu.
Di sebutkan tingkat kepercayaan
publik terhadap parpol hanya 9,4 persen. Sementara itu, 39,2 persen kurang
percaya, 40 persen tidak percaya, dan 11,4 persen menyatakan tidak tahu,
Minggu (5/1). Degradasi kepercayaan publik ini jelas menjadi alarm bagi
Pemilu 2014.
Apalagi kinerja mereka selama
ini gagal menginjeksi harapan baru di tengah depresi massal akibat
kesejahteraan tak kunjung berpihak kepada rakyat. Parpol sebagai
infrastruktur demokrasi juga terlihat absen dalam memperkuat partisipasi
publik sehingga terjadi penggerusan kepercayaan dan penurunan kerja politik.
Proses transisi demokrasi ke
arah konsolidasi akan menjadi terhambat. Demokrasi elektoral melalui arena
pemilu terancam akan kehilangan efektivitasnya. Ini karena ketiadaan korelasi
positif antara pemilu langsung dengan kesejahteraan yang benar-benar
dirasakan rakyat.
Sebaliknya, buruknya kinerja
parpol dan disparitas antara agenda parpol dengan konstituen semakin
memperkuat persepsi bahwa mereka tidak sepenuhnya berpikir tentang
kepentingan publik.
Relasi Terputus
Kenyataan ganjil ini semakin
mengonfirmasi adanya keterputusan relasi antara wakil elite politik dengan
yang terwakili (rakyat). Keterputusan relasi ini, menurut Guillermo O’Donnell
(1994), disebut sebagai bentuk demokrasi delegatif, wakil rakyat atau
pemimpin yang muncul hanya sebatas delegasi tanpa mandat. Dengan ungkapan
lain, demokrasi melalui arena pemilu dengan ongkosnya yang mahal gagal menegakkan mandat,
akuntabilitas, dan keterwakilan politik. Ruang politik masih didominasi
relasi politik oligarki dengan kulturnya yang transaksional.
Tak mengherankan jika masyarakat
semakin melebarkan jarak dari parpol dan bujuk rayu pemilu. Mereka akan
mengalkulasi, betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih,
tidak akan berdampak pada diri mereka. Seseorang akan tetap mencari nafkah
atau tetap melanjutkan tidurnya ketika hari pemilu.
Mereka berpaling karena menilai
kehadirannya selama ini hanya dilihat sebagai angka untuk pemenangan kursi
kekuasaan elite politik. Klaim bahwa demokrasi akan menjadikan suara rakyat
sebagai panglima hanyalah utopia. Demokrasi hanya ditafsir sebatas menghitung
jumlah kepala, tanpa memperhitungkan isi kepala (aspirasi) rakyat.
Mengelola Harapan
Di ujung degradasi moral dan
watak elite politik yang buruk itu, sebenarnya bangsa ini hanya butuh
pemimpin atau wakil rakyat yang punya kapasitas “orang baik” tanpa
prasyarat apa pun dan tanpa
embel-embel kepentingan apa pun. Meski terkesan deontologis dan ahistoris,
justru di situlah kiranya letak kekuatan dan relevansinya di tengah tuntutan
orientasi demokrasi (melalui pemilu) yang berkualitas dan bermakna bagi
keadaban publik.
Momentum Pemilu 2014 menjadi
satu-satunya harapan, sekaligus titik penentu (decisive point) nasib bangsa
Indonesia ke depan. Untuk itu, sisa harapan publik itu harus dikelola dengan
baik. Jangan sampai harapan yang sudah sedemikian langka itu dikacaukan
retorika politik citra dan rayuan gosip politik murahan para elite yang
saling menjatuhkan.
Hak untuk menentukan calon
pemimpin harus dikembalikan kepada rakyat sebagai subjek pemilu. Rakyat harus
diposisikan sebagai raja pada tataran massa yang lebih tertarik atau ingin
diperlakukan secara proporsional dengan didengar apa kebutuhan dasarnya (basic need).
Mereka sudah jenuh dengan
visualisasi citra kandidat politik melalui iklan, spanduk, baliho, poster,
atau brosur yang sarat rekayasa. Oleh karena itu, kerja kampanye para
kandidat politik harus emansipatif dengan bertumpu pada penggalian nalar,
aspirasi, perspektif, persepsi, kualitas argumentasi masyarakat, serta
harapan yang melekat di dalamnya.
Mereka harus mampu menciptakan
ruang yang memungkinkan publik untuk berpendapat, menyatakan opini, dan
mempersoalkan segala isu.
Isu tersebut relevan dengan
kepentingan mereka dalam suasana interaksi yang dialogis, berkesinambungan,
dan penuh simpati membaca kondisi serta espektasi konstituen. Upaya inilah
yang dipandang Jurgen Habermas (1995) sebagai syarat lahirnya demokrasi
deliberatif yaitu pemilu merupakan hasil pemakaian publik atas hak-hak
komunikatif itu secara terus-menerus.
Tak kalah penting adalah upaya
parpol untuk menghadirkan tokoh yang bisa menginjeksi harapan baru. Mereka
adalah calon wakil rakyat “tanpa syarat” yang mau bekerja memberi jalan
penyelesaian (Jawa; mrantasi) atas
kompleksitas persoalan yang kini membelit bangsa. Kehadiran mereka akan
menyulutkan kembali kepercayaan serta gairah partisipasi publik di ajang
demokrasi elektoral lima tahunan itu.
Perlu diketahui, selain
menyuburkan kompetisi, khittah demokrasi sejatinya memperluas partisipasi
politik publik. Baik buruknya nasib demokrasi tidak hanya bertumpu pada elite
politik, tetapi juga sejauh mana masyarakat turut merawatnya.
Pemilu 2014 akan menguji sejauh
mana mereka mampu memainkan peranan itu. Jika gagal, demokrasi melalui arena
pemilu hanya akan menguras ongkos, bukan mengeruk keuntungan dengan hadirnya
pemimpin pengemban mandat dan tanggung jawab terhadap rakyat demi kepentingan
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar