Sabtu, 25 Januari 2014

Kiai Sahal, NU, dan Politik 2014

Kiai Sahal, NU, dan Politik 2014

Muhammadun   ;    Analis studi politik di program Pascasarjana UIN Jogjakarta
JAWA POS,  25 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, rais aam PB NU dan ketua umum MUI Pusat, meninggalkan bangsa Indonesia pada Jumat dini hari (24/1). Kiai Sahal, panggilan akrabnya, merupakan sosok kiai berpengaruh yang sangat sederhana. Badannya kurus, tetapi pemikirannya sangat mendalam. Gerakan pemberdayaan yang dia lakukan sangat berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat. 

Kiai Sahal adalah pemimpin tertinggi dalam organisasi NU sehingga suaranya selalu ditunggu, apalagi menghadapi situasi genting. Sejak memegang tampuk kepemimpinan tertinggi pada 1999 di Lirboyo, Kediri, Kiai Sahal dikenal sangat tegas dan teguh pendirian dalam menjaga Khitah 1926. Ketika Gus Dur menjadi presiden dan mengunjungi Kiai Sahal pada hari kedua setelah terpilih, Kiai Sahal tidak tergoda memanfaatkan peluang kekuasaan yang berada di depan mata. Dia teguh menjaga diri dan menjaga NU sesuai dengan garis perjuangan.

Terpaan ujian juga dilalui dalam Pemilu 2004. Waktu itu, Kiai Hasyim Muzadi maju menjadi cawapres mendampingi Megawati. Pada saat bersamaan, Gus Sholah mendampingi Wiranto. Praktis, pada 2004 itu NU berada dalam persimpangan. Untungnya masih ada Kiai Sahal yang duduk dengan teguh menjaga khitah NU. Walaupun banyak pengurus NU yang terlibat dalam politik pilpres, keteguhan Kiai Sahal menjadi cermin yang membuat para pengurus NU kembali menjaga mandatnya.

Dalam berbagai pilkada, NU juga sering diseret dalam kepentingan politik. Lagi-lagi Kiai Sahal menjadi referensi utama yang tidak tertandingi. Pidato-pidatonya dalam muktamar dan munas selalu menegaskan bahwa NU adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang memihak kepentingan rakyat, bukan alat untuk meraih keuntungan kekuasaan. 

Politik Tingkat Tinggi 

Dalam khotbah iftitahnya sebagai rais aam PB NU saat Rapat Pleno PB NU di Wonosobo, September 2013, Kiai Sahal menegaskan bahwa politik yang diperankan NU adalah politik tingkat tinggi (high politics), bukan politik praktis atau politik rendah (low politics). Politik tingkat tinggi tersebut, bagi Kiai Sahal, berpegang pada politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.

Pertama, politik kebangsaan. Bagi Kiai Sahal, itu berarti NU harus konsisten dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Kedua, politik kerakyatan, bagi Kiai Sahal, antara lain, bermakna bahwa NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak mana pun.

Ketiga, etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya serta masyarakat dan bangsa pada umumnya agar tercipta kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.

Dengan politik tingkat tinggi itulah Kiai Sahal melihat NU akan mampu menjalin persaudaraan di lingkungan warga nahdliyin dan warga negara Indonesia. Sebaliknya, ketika NU terseret dalam jerat politik rendah, persaudaraan antarwarga NU bisa tercabik-cabik. Kalau warga NU sudah tercabik-cabik, agenda-agenda besar NU yang sudah diamanatkan para pendiri NU dan muktamar bisa terabaikan dan dilalaikan. 

Politik tingkat tinggi disampaikan Kiai Sahal dengan penuh integritas dan ketulusan. Walaupun kondisi fisiknya sudah lemah, semangat perjuangannya untuk terus mengabdi kepada NU dan bangsa tidak pernah padam. Tak salah kalau kemudian Kiai Sahal semakin populer di mata masyarakat dan namanya semakin menjulang. Tetapi, di tengah puncak karirnya, Kiai Sahal justru tetap hidup sangat sederhana di sebuah desa dengan para santri dan masyarakat. Dia tidak tergiur godaan Jakarta. Bagi dia, bersama santri dan masyarakat menjadi prioritas untuk menjaga kejernihan batinnya.

Godaan Politik 2014 

Kiai Sahal telah pergi. Tetapi, godaan politik 2014 jusru berada di depan mata. Itulah tantangan sangat serius para pemimpin NU untuk melanjutkan perjuangan konsisten Kiai Sahal dalam menjaga Khitah 1926 dan bergerak dalam politik tingkat tinggi. KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus), wakil rais aam PB NU, serta KH Said Aqil Siraj, ketua umum PB NU, diuji untuk menjaga dengan sungguh warisan politik tingkat tinggi yang sudah ditinggalkan Kiai Sahal.

Gus Mus maupun Kiai Said adalah tokoh yang integritasnya sudah dikenal. Tetapi, tantangan politik 2014 tidaklah ringan, apalagi syahwat politik warga NU sangat tinggi. Salah pernyataan sedikit saja bisa menjadi bumerang yang merusak tatanan sosial kemasyarakatan warga NU. Partai politik sudah menyiapkan jutaan strategi untuk merayu politik pemimpin NU. Gus Mus, Kiai Said, dan pemimpin NU lainnya harus membuktikan bahwa NU netral dan tidak bisa diseret dalam kepentingan politik rendah dalam Pemilu 2014.

''Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan, dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman ahlussunnah wal jamaah di bumi Nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya.'' Demikian pesan Kiai Sahal agar menjadi pegangan warga NU dan pemimpin NU dalam menghadapi godaan politik 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar