Opera Politik Oplosan
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas
Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
25 Januari 2014
TAHUN 2014 ditandai dengan
melejitnya ”oplosan”. Oplosan bukan sekadar lagu, melainkan semacam semiotika
bawah sadar masyarakat pinggiran untuk melakukan interupsi kultural atas
fenomena yang mengepungnya.
Ternyata diam-diam
negeri kepulauan yang tengah ia layari itu telah hanyut dalam arus oplosan. ”Ke mana pun terbang/kalian kan hinggap di
air mata kami/ke mana pun berlayar/kalian arungi air mata kami,” kata
Sutardji Calzoum Bachri dalam bait-bait puisinya, Tanah Air Mata.
Oplosan tanda
hilangnya jati diri. Oplosan bukan sekadar tuak dicampur nafasin yang bikin
masyarakat mati terkapar, melainkan juga metafora ihwal yang telah
terpelanting dari khitahnya, tercerabut dari alur kebenaran (verite),
dari ”ada”, ”kejadian”, dan hidup baik (vie bonne) (Alain Badiou);
lambang dari absennya kesanggupan untuk menarasikan dirinya (soi) dan yang
lian (l’autrui) dengan penuh tanggung jawab (Paul Ricoeur).
Dan peristiwa kelam
seperti ini tragisnya selalu terulang. Persis berulangnya janji kerumunan
politisi yang tidak pernah terpenuhi, kecuali memenuhi hasrat diri dan kaumnya.
Serupa pesan moral dangdut ”oplosan” yang hari ini sering diputar
dengan joget riang: Tutupen
botolmu tutupen oplosanmu/emanen nyowomu ojo mbok terus teruske/mergane ora
ono gunane.
Pada kenyataannya
”oplosan” dapat merambah wilayah yang sangat luas. Sebut saja agama ketika
kehilangan daya emansipatorisnya. Agama oplosan senantiasa berjubahkan
kebesaran masa silam, tetapi gagap saat harus merumuskan kehidupan harini dan
masa depan, ketika mesti menerjemahkan iman di tengah warga negara dalam
ruang publik yang plural. Kitab suci yang menjadi pegangannya ”dikeramatkan”
teksnya, tetapi lupa bagaimana menafsirkannya secara kontekstual agar
senantiasa kehadirannya kuasa menjawab sengkarut persoalan kekinian.
Oplosan juga
dapat mengenai wilayah ekonomi manakala deretan angka tak pernah mendistribusikan
rasa keadilan merata; wilayah sosial tatkala diharu-biru segala bentuk
kekerasan, termasuk kekerasan simbolik yang berakar dari nafsu dangkal
ingin menciptakan situasi monolitik dan menganggap orang lain sebagai
epifani wajah kesesatan; dan wilayah kebudayaan saat kehilangan visi
transendensi.
Konteks politik
Dalam konteks politik
pasca-Reformasi justru oplosan jadi arus utama. ”Yang politik” (akal budi,
kejujuran, kesederhanaan), meminjam tipologi filsuf Eropa Timur Zizek,
tergerus ”politik”: gaduh dengan tindakan korupsi, penuh drama kepura-pura-an,
surplus muslihat, dan defisit daulat rakyat. Persis apa yang ditulis Arendt,
”Ke- kuasaan dimandatkan masyarakat, tetapi masyarakat kemudian hanya
memiliki kekuasaan itu saat pemilihan umum. Setelah itu, kekuasaan berpindah
ke tangan penguasa yang mereka pilih” (2013).
Politik menjadi
semacam medan gelap belantara, tempat satu serigala dengan la- innya saling
menerkam (homo homini lupus). Dan
riwayat sahih yang selalu kita da- pati adalah justru rakyat yang acap kali
takdirnya jadi korban. Negara sebagai sang Leviathan-nya Thomas Hobbes menggambarkan
fenomena seperti ini. Negara dicip- takan untuk senantiasa berada dalam
kondisi ”darurat” karena dengan situasi ini, keterampilan mengambil
keuntungan tersalurkan amat maksimal. Kecakapan merampok hak lian mendapatkan
katupnya yang seakan-akan ”konstitusional”.
Seandainya zaman
pergerakan dan di awal-awal kemerdekaan gedung konstitu- ante ramai dengan
perdebatan mencerahkan, persoalan kebangsaan diselesaikan secara
argumentatif-diskursif, maka harini lewat gedung anggota dewan yang tersisa
adalah bancakan anggaran, perdebatan yang berujung pada kekuasaan, dan
perebutan perempuan sintal.
Sebut saja Tan Malaka,
Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Natsir, DN Aidit, Wahid Hasyim,
Otto Iskandar Dinata, dan sebagainya; mereka mengisi gelanggang politik
nasional dengan kehebatan argumennya dan kesederhanaan pola hidupnya. Kehormatan
tak ia letakkan di atas kemewahan, tapi justru pada kesetiaan, keju- juran,
pada selarasnya kata dan ucapan.
Maka, tidaklah heran
kalau M Natsir seorang perdana menteri yang jasnya ditambal; H Agus Salim
diplomat ulung yang tempat tinggalnya selalu berpindah dari kontrakan satu ke
kontrakan lainnya; Hatta tak mampu beli sepatu Bally; Sjahrir merana di akhir
hayatnya; Daud Beureuh hidup dalam serba kekurangan; Tan, Muso, dan
Amir mati mengenaskan setelah berijtihad menawarkan ideologi kiri yang
dipandang dapat mempercepat ruh revo- lusi menuju Indonesia berkeadaban.
Politik otentik
Teringat Arendt yang
melihat bahwa politik bukanlah soal keterampilan melebarkan sayap penguasaan,
mengoperasikan mesin hegemoni untuk mendapat ketundukan khalayak. Politik
sejatinya harus membebaskan dan mendorong warga berekspresi secara otentik di
ruang publik. Robohnya ruang publik politik dapat membuat hidup
berbangsa mundur.
Semacam politik
deliberatif dengan visi membebaskan individu dan masyarakat dari segala
belenggu penguasaan baik yang bersifat politik, ekonomi, religius, maupun
kultural. Politik yang mendorong warga mengekspresikan diri aktif, kreatif,
tanpa tekanan dalam ruang publik yang plural- istik. Politik harus mendorong
individu keluar dari domain individualitas, keluarga, maupun kelompok, untuk
kemudian berpartisipasi dalam perdebatan tentang persoalan di luar dirinya,
berdialog dengan yang lain, berempati pada situasi orang lain (Agus Sudibyo, Politik Otentik, 2013).
Karena politik itu
mulia, tapi praksisnya sering tergelincir jadi penuh curang, maka tak heran
seandainya persoalan ini banyak mendapat perhatian terbentang mulai dari
filsuf Yunani, Romawi, filsuf Muslim, sampai para pemikir abad 21.
Sebutlah Repu- blik Plato (428-348
SM), Politik Aristoteles (384-322 SM); al-Farabi (877-950 M), Ibnu
Sina (980-1037), Ibnu Rusydi (1126-1198); atau yang lebih mutakhir semacam
Ibnu Taimiyyah (as-Siyasah asy-Syariyyah fi Ishlahi ar-Rai wa
ar-Raiyyah), al-Bagdhadi (Ushul ad-Din), al-Mawardi (al-Ahkam as-
Sulthaniyah), al-Juwaini (Kitab al-Irsyad), al-Ghazali (at-Tibr al-Masbuk fi
Nashihat al-Muluk), dan Ibnu Khaldun dalam al- Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa-Alajam
wa al-Barbar wa man Asharahum min dzawi Sulthan al-Akbar atau Muqaddimah
Ibn Khaldun.
Semua literasi itu
dibikin dengan tujuan utama agar politik kembali ke khitahnya sebagai
alat menyejahterakan khalayak. Tahun 2014 kita kembali menggelar pesta
politik lima tahunan untuk menentukan wakil rakyat dan pemimpin nasional.
Semoga yang didapat bukan anggota dewan dan presiden oplosan, tetapi
betul-betul yang lahir dari rahim pemilu jujur adalah para pemimpin otentik
yang insaf akan hak dan kewajibannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar