“Gue” Begini, “Elu” Mau Apa?
Jean Couteau ;
Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
26 Januari 2014
Bila tabloid bisa menjadi
sumber pemikiran kultural, ialah perihal seks. Dan, dengan bantuannya, tak
ada yang lebih asyik daripada melihat ”seks Barat” dari perspektif ”Timur”
dan ”seks Timur” dari perspektif ”Barat”.
Prinsip Barat dalam bidang
seks, ialah ”Gue begini, elu mau apa”. Kebebasan pribadi mutlak. Batasannya
hanyalah prinsip hukum yang tegas: cukup umur, yaitu mampu mengambil
keputusan sendiri; tidak terdapat paksaan fisik atau psikologis; tidak
mengganggu ketertiban umum, serta terdapat persamaan hak total
antarjender–yang kini diperluas menjadi tiga, dengan dimasukkannya kaum
homoseksual.
Di dalam pengertian di
atas ini, semua perilaku seksual adalah ”sah” dari sudut hukum; meski
terdapat pihak yang tidak setuju dari segi ’moral’, moralitas dianggap
bersifat pribadi dan sanksinya hanya menyangkut kalangan sefaham. Akibatnya,
”kumpul kebo”, pernikahan pasangan homoseksual, pesta seks, penggunaan bank
sperma bagi wanita mandul, ”farming” rahim wanita untuk mendapatkan anak, dan
lainnya, semuanya bisa dan boleh dilakukan. Tubuh menjadi bidang terakhir
dari perluasan kebebasan, yang merupakan ciri khas dunia Barat itu; bahkan
hal ini tengah merambat ke rekayasa genetis, demi memungkinkan reproduksi di
luar seks kelak. Menarik, kan! Tak ayal, alhasil seluruh sistem kekeluargaan
dan reproduksi manusia bakal dirombaknya. Tetapi boleh jadi juga mengerikan!
Dampak terhadap sistem sosial dan bangunan psikologis masyarakat belum
terbayangkan bakal sejauh mana arahnya kelak.
Dari perspektif Timur, ada
situasi-situasi yang aneh. Clinton tidak dikecam karena puasnya dengan
”job-”nya Monika Lewinsky terhadap dirinya, melainkan karena telah bohong di
hadapan hukum. Bisa juga lucu. Kini, di Perancis tidak ada lagi ibu negara,
tetapi pacar negara: presidennya tidak pernah nikah. Biarpun dia gonta-ganti
pacarnya, dan baru-baru ”tertangkap basah” oleh tabloid, tidak apa-apa–selama
tidak mencoba berkunjung ke Vatikan tanpa surat nikah yang sah. Samen
leven sah di sini, haram di
situ. Meskipun demikian, bila Kanselir Jerman, yang wanita, tertangkap basah
gonta-ganti ”jago” seperti Presiden Perancis gonta-ganti ”cewek”, pasti akan
seru!! Akan kita tahu sejauh mana sisa patriarki di negara Barat!
Tetapi jangan tertawa
sinis terhadap orang bule saja. Sebenarnya tak kurang menarik, dan lucu,
melihat situasi di Indonesia. Di sini yang berlaku ialah sistem lain: ”Agama bilang ini, gue bisa apa?”
Agama di dalam hal ini bak komputer. Tafsirannya berjubel, dengan retorika
keras atau halusnya menurut tradisi historisnya, luasnya pemikiran
penafsirnya dan adanya atau tidak maklumat terkait. Selama penerapannya
bersifat spiritual saja, oke-lah: sama-sama mencari Ilahi.
Kesulitan mulai dengan
menu kontennya. Bila di komputer yang sebenarnya ada yang asyik mencari
pornonya, di komputer dan program agama ada yang ngotot mencari segala yang
bakal memperkuat prasangka–dan terutama prasangka patriarkinya. Perihal seks
di mata pria, asal program dan menu memungkinkannya, wanita muda nan cakep
apa pun dianggap boleh dirayu dulu, lalu dilamar tanpa merasa bersalah.
Maka bila Presiden
Perancis di atas bisa ditertawakan dengan ”pacar negara-”nya, tak ayal ada
saja orang Indonesia, termasuk politikus, yang bisa disindir pula ”mata ke
ranjang-”nya! Lebih-lebih kalau tersangkut mengambil sebagai ”istri kedua”
orang dari negeri sekuler Eropa! Wanita itu tidak hanya–di negeri asalnya–,
dianggap mengambil suami orang, tetapi, dari sudut hukum Eropa, pasangan
mereka tak lebih daripada pasangan kumpul kebo, alias tidak sah nikah. Di
Eropa samen leven sah,
tetapi bukan status nikahnya. Petentang-petenteng di sini, mereka terpaksa malu di
sana. Menarik, kan? Kalau tak percaya, tanyakan saja kepada ”mertuanya” di
negara sana. Tapi itu tidak lucu, kan? Bagi ”mertua”nya itu! Eh...eh.
Maka para pembaca yang
terhormat, boleh Anda sekalian mengecam ”moralitas” orang Eropa, tetapi
silakan jangan ”moralis”. Cukup ”moral” dan bijak saja. Bila ”kebebasan”
membawa manusia entah kemana, sudah jelas bahwa tafsir patriarkis membawa
separuh manusia ke jalan yang sudah pasti juntrungannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar