Bentrokan Emosi Regional Asia
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 Januari 2014
Mungkin Albert Einstein benar
ketika berbicara tentang nasionalisme sebagai kekanak-kanakan. ”Ini seperti penyakit campak bagi umat
manusia,” katanya. Dan ”campak” ini memuncak di kawasan Asia ketika klaim
tumpang tindih wilayah kedaulatan merembet ke isu nasionalisme, menggali luka
lama sejarah pasca-Perang Dunia II.
Nuansa ini sekarang terjadi di
kawasan Asia Timur, khususnya antara Tiongkok dan Jepang. Nasionalisme
menjadi pijakan baru dalam tata hubungan antarnegara. Yang mengejutkan,
nasionalisme ini tidak hanya terkait persoalan kedaulatan wilayah, tetapi
juga menggunakan sejarah sebagai tameng baru di kalangan orang muda pengguna
kemajuan teknologi komunikasi informasi.
Film dokumenter yang dinominasikan
sebagai pemenang penghargaan bergengsi Oscar, The Act of Killing, yang bercerita tentang peristiwa pembunuhan
massal tahun 1965 setelah peristiwa G30S/PKI, menuai kegaduhan di media
sosial di Tiongkok (Kompas, 23/1).
Muncul desakan dan tuntutan agar sejarah yang menjadi luka Indonesia itu
dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah Tiongkok karena banyaknya keturunan
Tionghoa yang menjadi korban.
Kita khawatir perilaku jingoism yang kembali menjadi
tren di abad ke-21 ini akan merusak tatanan hubungan bertetangga baik dalam
diplomasi mempertahankan keamanan dan stabilitas bersama. Perilaku Tiongkok
terhadap beberapa negara Asia, mulai dari Jepang dan Filipina karena
persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan hingga kini mengarah ke Indonesia
karena nomine Oscar film dokumenter, menjadi petualangan patriotisme sangat
berbahaya.
Indonesia pascareformasi 1998
sudah lama berusaha menghilangkan perilaku rasisme yang menyebabkan trauma
dan kehilangan besar pada warga negara kita keturunan Tionghoa. Indonesia
yang pluralistis sekarang penuh dinamika beragam kaum etnis dan kepercayaan,
memberikan berbagai kesempatan, tak hanya di bidang ekonomi dan perdagangan,
tetapi juga politik.
Mengganggu diplomasi
Sejak normalisasi hubungan
diplomatik Indonesia-Tiongkok yang akan memasuki usia 25 tahun, ternyata
masih ada beberapa persoalan yang mengganjal, khususnya berkaitan dengan
masalah etnik Tionghoa yang sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari.
Penggunaan kata ”Cina” sebelum normalisasi hubungan diplomatik sebenarnya
masih menjadi ganjalan dan dijalankan oleh diplomat kita secara ewuh pakewuh.
Masalahnya, persoalan ini dalam
perundingan normalisasi tahun 1990, almarhum Menteri Luar Negeri Ali Alatas
secara tepat mengatakan, tuntutan Tiongkok mengganti kata ”Cina” menjadi
”China” tidak tepat karena dalam tata bahasa Indonesia tidak ada dua huruf
mati berdiri secara berturut-turut (seperti negara Cile, bukan Chile). Namun,
kita pun sepakat demi hubungan baik menggunakan kata ”China” untuk
menghilangkan kesan penghinaan terhadap negara berpenduduk terbesar di dunia
ini.
Seiring jalannya waktu, harian ini
berbesar hati untuk juga menggunakan kata ”China” karena permintaan yang
disampaikan Duta Besar Tiongkok di Jakarta. Masalahnya, Beijing terasa
menjadi keterlaluan setelah memaksakan kita mengucapkan kata ”China” dengan ”caina”
seperti pengucapan dalam bahasa Inggris. Bahasa suatu negara adalah
kedaulatan sebuah bangsa yang menggunakannya, tanpa intervensi berlebihan
dari negara mana pun.
Dalam konteks film The Act of Killing yang
disutradai Joshua Oppenheimer dan sutradara Indonesia yang tak mau disebut
namanya, kegeraman dan tuntutan para pengguna media sosial Tiongkok dan
termuat di organ resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT), Renmin
Ribao (Harian Rakyat), akan menjadi pemicu yang bisa mengganggu hubungan
kedua negara.
Perlu dipahami bersama, Indonesia
adalah negara yang masih melarang ideologi dan aktivitas ataupun organisasi
komunis sesuai dengan Tap MPR Nomor XXV/MPRS/1966. Ketika Presiden Tiongkok
Xi Jinping membawa tiga anggota Komite Sentral PKT dalam perundingan bilateral
Indonesia-Tiongkok Oktober 2013, kita menganggap Beijing tidak peka terhadap
posisi Indonesia, yang bisa berdampak luas ke persoalan hukum dalam negeri
dan sejarah kelam bangsa Indonesia.
Bentrokan emosi
Mendesak jingoism berdasarkan film dokumenter bersejarah menjadi
berbahaya bagi hubungan Indonesia-Tiongkok karena memicu pertanyaan lebih
luas tentang apakah Beijing terlibat langsung dalam peristiwa G30S/PKI pada
tahun 1965 tersebut? Dan kita akan dipaksa membuka dokumen-dokumen sejarah
kita masing-masing.
Setiap negara-bangsa memiliki
sejarah kelamnya sendiri, betapa kecilnya catatan sejarah itu. Kita menunduk
meneteskan air mata bagi para korban tahun 1965 tersebut, yang masih trauma
dan mendapatkan beragam kesulitan sampai berakhirnya Orde Baru karena
ideologi pilihannya. Termasuk di dalamnya orang-orang Tionghoa yang telah
jadi bagian dari kesatuan Indonesia.
Bagi Beijing, melaksanakan
diplomasi ”politik dendam” bercampur nasionalisme di kawasan Asia akan memicu
pertikaian yang jauh lebih luas, menyulut kesalahpahaman dalam
mengejawantahkan diplomasi regionalisme yang stabil dan damai untuk dinikmati
bersama bagi kelangsungan pertumbuhan dan kesejahteraan bersama.
Mengikuti logika Samuel P
Huntington dalam bukunya The Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), kita harus
bersama-sama mampu menghindari bagian yang tidak ditulis Huntington, yakni
bentrokan emosi (clash of emotions), dalam
menghindari alienasi pada era globalisasi ini.
Bagaimanapun, hidup berdampingan
secara damai di Asia adalah warisan sejarah yang tak bisa diabaikan.
Termasuk, diaspora Tionghoa yang memilih sendiri untuk menjadi bagian
integral kesatuan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar