Fikih Sosial Kiai Santun
Jamal Ma’mur Asmani ; Santri Kiai Sahal Mahfudh, Peneliti
dari Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati, Mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN
Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 25 Januari 2014
JUMAT dini hari, 24 Januari 2014, pukul
01.00 WIB, KH MA Sahal Mahfudh meninggalkan kita semua: santri, kiai, warga
NU, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seluruh anak bangsa ini berduka
cita atas kepulangan sosok pemimpin umat yang santun, sejuk, dan penuh
dedikasi. Seluruh hidupnya didarmabaktikan demi kemajuan umat dan bangsa.
Ia tak tega melihat kemiskinan di Kajen
Pati, daerah kelahirannya, dan dengan menggunakan fikih sebagai basis
keilmuan, ia melakukan perubahan besar dalam bidang ekonomi kerakyatan. Ia
berkarier dari bawah sampai pusat sehingga kepemimpinannya di NU dan MUI
sangat mengakar. Ia tak goyah oleh bujuk rayu politik praktis sampai akhir
hayatnya. Dialah penjaga khitah NU yang bergeming oleh tekanan dan desakan
dari mana pun untuk membawa NU ke ranah politik praktis.
Para kiai dan santri mengakui kepakarannya
dalam bidang fikih. Para akademisi mengapresiasi keintelektualannya karena
mampu memadukan khazanah klasik dan modern. Aktivis LSM mengagumi
mobilitasnya dalam menggerakkan perubahan ekonomi rakyat. Kalangan birokrat
memuji netralitas dan keteguhannya dalam memimpin. Bangsa ini menyanjungnya
karena ia penjaga moral bangsa di tengah demoralisasi akut.
Mbah Sahal adalah filsuf karena selalu
gelisah memikirkan kebenaran ilmu pengetahuan dan kondisi riil masyarakat
yang banyak ketimpangan. Islam, khususnya fikih, yang dipelajari sejak
muda ternyata kurang mampu menjawab problem kemiskinan, kemunduran, dan
keterbelakangan umat.
Fikih sebagai manifestasi doktrin Tuhan
dalam realitas individu dan sosial, kehilangan fungsi transformasi, baik
secara struktural maupun kultural. Fikih terjebak oleh tekstualitas,
formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain, perilaku masyarakat jauh dari
nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih. Sekularitas, hedonitas, dan
imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari bimbingan agama.
Skeptisisme dan relativisme tersebut
membawa kiai karismatis itu ke arah pergolakan intelektual masif yang
akhirnya melahirkan karya besar yang bermanfaat bagi dinamisasi keilmuan dan
kerja transformasi sosial. Maka lahirlah fikih sosial sebagai jawaban atas
kegelisahan Kiai Sahal melihat dua ketimpangan tersebut.
Secara epistemologis, fikih sosial dibangun
di atas lima metodologi transformatif, yaitu kontekstualisasi doktrin fikih;
beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi
doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah dan far’u
(instrumental) yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial;
dan mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya.
Lima metodologi ini bisa kita kaji dalam
produk pemikiran kiai khos itu, antara lain pendayagunaan zakat,
konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan integralistik,
pluralisme, pengentasan warga dari kemiskinan, dan lain-lain. Ia tetap
berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora
yang transformatif.
Fikih sosial Mbah Sahal bergerak untuk
mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran masyarakat Kajen Pati,
dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya, maju, dan,
berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah given by God. Manusia tinggal
menjalani hidup ini apa adanya, taken
for granted.
Namun kiai santun tersebut terpanggil melakukan perubahan
paradigmatik.
Ia merevolusi teologis tentang hakikat
kaya-miskin. Dengan menyitir Alquran dan hadis, Kiai Sahal mengatakan bahwa
miskin bertentangan dengan Islam. Islam menginginkan kemakmuran, kesejahteraan,
ketercukupan, dan kemajuan ekonomi. Masyarakat Kajen terhenyak menyimak
pituturnya, yang dirasa tak lazim, kontroversial, dan radikal.
Sumber
Bencana
Menjadi miskin, dalam pandangan Mbah Sahal
adalah berdosa karena miskin jadi sumber bencana, pendidikan tidak maju,
kebudayaan tak berkembang, perjuangan mengibarkan panji kebesaran Islam juga
stagnan, dan mudah tergoda pihak-pihak tidak bertanggung jawab, sampai
mengorbankan keyakinan agama.
Karakternya yang organisatoris dan aktivis
menjadikan tiap agenda pembaruannya selalu dalam naungan organisasi dengan
manajemen akuntabel dan profesional. Pesantren dijadikan lokomotif untuk
mendorong program pemberdayaan ekonomi. Tahun 1977 ia mengikutsertakan dua
santri senior mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang
diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES) Jakarta bekerja sama dengan Depag (kini Kemenag).
Praktik lapangan santri itu, menghasilkan
beberapa kegiatan konkret, antara lain kelompok usaha bersama simpan pinjam
(UBSP) yang dikelola masyarakat sekitar pesantren, sebagai rintisan. Capaian
dari manfaat itu kini dirasakan oleh masyarakat. Kegiatan awal itu mendapat
tanggapan positif dari berbagai pihak sehingga 1979 secara resmi terbentuk
Lembaga Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Hasilnya sangat
nyata, yaitu meningkatkan ekonomi rakyat Kajen dan sekitarnya.
Demikian perjuangan panjang dan melelahkan
yang dilakukan Kiai Sahal dalam mengembangkan fikih sekaligus memberdayakan
ekonomi rakyat kecil. Selamat jalan
Begawan Fikih Sosial, semoga seluruh karya intelektual dan sosial, buah dari
perjuanganmu diterima Allah Swt, dan jadi sumber inspirasi seluruh elemen
bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar