Jumat, 10 Januari 2014

Angan-angan Swasembada Pangan 2014

                    Angan-angan Swasembada Pangan 2014

Andi Perdana Gumilang  ;   Peneliti dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB, Pegiat Jaringan Petani Sehat Indonesia (JPSI)
SINAR HARAPAN,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


Sejak pemerintahan Presiden SBY dan Kabinet Indonesia Bersatu II terbentuk, swasembada pangan, terutama untuk lima komoditas utama, seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, menjadi prioritas utama pencapaian kinerja.

Target swasembada beras berkelanjutan. Bahkan, kemudian Presiden SBY meminta surplus produksi 10 juta ton tahun 2014. Target produksi beras 45 juta ton dan konsumsi 34,9 juta ton. Target optimistis tersebut diharapkan dapat tercapai.

Selanjutnya komoditas gula, jagung, kedelai, dan daging sapi ditargetkan swasembada 2014, dengan pengertian ada toleransi impor 10 persen. Rinciannya, produksi gula 2014 ditargetkan 5,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, dan daging sapi 0,51 juta ton.

Target produksi yang ditetapkan tersebut sudah mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi, baik karena peningkatan populasi penduduk Indonesia yang rata-rata 1,49 persen maupun peningkatan konsumsi sebagai dampak pertumbuhan ekonomi nasional. Target tersebut juga tertuang dalam kontrak kinerja antara Menteri Pertanian Suswono dan Presiden SBY.

Setiap tahun progres pencapaian target tahunan dievaluasi. Ironisnya hasilnya jauh dari yang diharapkan. Bukannya target peta jalan tahunan tercapai, yang ada malah lebih suka melakukan impor bahan pangan. Untuk tahun ini impor pangan masih menjadi pilihan.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan, target Rencana Aksi Bukit tinggi bisa tercapai pada 2014, namun masih perlu mengimpor sejumlah komoditas pangan utama seperti kedelai, gula, dan daging sapi. Padahal, komoditas tersebut dapat diproduksi di negeri sendiri.

Terjebak Impor

Indonesia telah masuk fase jebakan impor pangan yang sangat mengkhawatirkan. Impor serealia (gandum, beras, kedelai, dan jagung) meningkat 61 persen periode 2011-2013 dibandingkan periode 2007-2009 (Food Outlook, FAO 2010-2013).

Persentase gandum sebagai bahan pangan pokok yang 12 tahun lalu sekitar 7,66 persen (2001) saat ini menyusun 14,59 persen makanan pokok rakyat Indonesia, meningkat hampir 100 persen dalam dua periode jabatan presiden. Tidak hanya bahan pangan pokok, ketergantungan impor kita terhadap belasan jenis pangan lainnya dari bawang hingga daging sapi perlahan-lahan juga mulai meningkat.

Bersamaan dengan itu, perdagangan pangan internasional menjadi suatu keniscayaan dan ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO.

Perubahan konsep dan tata nilai tentang pangan dan pertanian telah berdampak luar biasa bagi negara berkembang. Banyak pangan dan budaya pangan lokal musnah. Di samping itu, banyak lahan pertanian yang tergerus.

Praktik pertanian yang mengandalkan keselarasan alam dan harmoni kehidupan 
menjadi rusak tergantikan praktik pertanian ”modern” yang padat energi dan bahan beracun. Hubungan sosial, keselarasan, dan semangat gotong royong antarpetani semakin tergantikan dengan hubungan berkarakter kapitalistis dan individualistis.

Para ekonom liberal, termasuk di Indonesia, bersikukuh perdagangan pangan internasional merupakan hal terbaik bagi negara berkembang yang punya keunggulan komparatif di bidang pertanian.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Negara berkembang yang awalnya eksportir pangan utama berubah jadi importir pangan dengan kerugian sekitar US$ 50 miliar per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka (Brown, 2012).

Tantangan

Swasembada pangan yang ditargetkan 2014 tampaknnya hanya akan menjadi angan-angan semata. Swasembada sepertinya sangat sulit diwujudkan pada tahun politik ini. Untuk gula misalnya, Kementerian Pertanian merevisi target produksi 2014 dari 5,7 juta ton menjadi 3,1 juta ton. Alasannya, tidak ada penambahan lahan dan revitalisasi industri gula juga tidak jalan.

Kedelai sulit karena butuh tambahan produksi 3,1 juta ton (mengacu target awal) untuk mencapai swasembada. Jagung juga butuh tambahan 10 juta ton. Bisa dipastikan, untuk komoditas gula, kedelai, dan jagung akan gagal 100 persen.

Swasembada beras berkelanjutan juga sudah 100 persen gagal. Sebab, tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013 secara berturut-turut Indonesia mengimpor beras. Surplus produksi beras 10 juta ton juga akan sulit dicapai sekalipun sudah mengundang korporasi masuk dalam budi daya.

Tahun 2014 tampaknya akan menjadi tahun yang lebih berat bagi Kementan. Pemilihan umum yang semakin dekat dan rivalitas antarpartai politik peserta pemilu semakin terang-terangan. Bukan tidak mungkin ini akan menjadi batu sandungan dalam pencapaian berbagai target sektor pertanian, terutama swasembada, juga sektor lainnya yang kementeriannya dinakhodai kader parpol.

Tarik ulur kepentingan politik bakal kian kuat. Di sisi lain jargon swasembada pangan 2014 akan menjadi kata-kata yang lebih sering diucapkan atau diperdengarkan ketimbang aplikasi di lapangan.

Meski begitu, masih ada kesempatan bagi Kementan untuk memperbaiki sektor pertanian, misalnya menghentikan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Peran Kementan harus nyata dan aktif, tak cukup hanya dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan peraturan pemerintah pendukungnya.

Meskipun peluang menuju swasembada pangan tahun ini belum terpenuhi, pemerintahan baru perlu serius menggarap sektor pertanian secara berkelanjutan, di antaranya melalui percepatan cetak sawah baru, peningkatan daya saing buah dan sayur, penguatan kelembagaan pertanian untuk mendongkrak posisi tawar petani, perbaikan jaringan irigasi dan infrastruktur dasar lain, perakitan benih yang lebih unggul, peningkatan kinerja industri benih nasional, pengembangan transgenik pada tingkat penelitian, juga mendorong percepatan transformasi pekerja dari sektor pertanian ke industri, jasa, dan perdagangan.

Selain itu, lebih penting adalah mengakhiri impor bahan pangan dan mendorong lebih banyak lagi tumbuhnya industri pengolahan berbasis sumber daya pertanian lokal, sehingga kesejahteraan petani menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar