Angan-angan
Swasembada Pangan 2014
Andi Perdana Gumilang ;
Peneliti
dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB, Pegiat Jaringan Petani Sehat
Indonesia (JPSI)
|
SINAR
HARAPAN, 09 Januari 2014
Sejak pemerintahan Presiden SBY dan Kabinet
Indonesia Bersatu II terbentuk, swasembada pangan, terutama untuk lima
komoditas utama, seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi,
menjadi prioritas utama pencapaian kinerja.
Target swasembada beras
berkelanjutan. Bahkan, kemudian Presiden SBY meminta surplus produksi 10
juta ton tahun 2014. Target produksi beras 45 juta ton dan konsumsi 34,9
juta ton. Target optimistis tersebut diharapkan dapat tercapai.
Selanjutnya komoditas gula, jagung, kedelai,
dan daging sapi ditargetkan swasembada 2014, dengan pengertian ada toleransi
impor 10 persen. Rinciannya, produksi gula 2014 ditargetkan 5,7 juta ton,
jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, dan daging sapi 0,51 juta ton.
Target produksi yang ditetapkan tersebut sudah
mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi, baik karena peningkatan populasi
penduduk Indonesia yang rata-rata 1,49 persen maupun peningkatan konsumsi
sebagai dampak pertumbuhan ekonomi nasional. Target tersebut juga tertuang dalam
kontrak kinerja antara Menteri Pertanian Suswono dan Presiden SBY.
Setiap tahun progres pencapaian target tahunan
dievaluasi. Ironisnya hasilnya jauh dari yang diharapkan. Bukannya target
peta jalan tahunan tercapai, yang ada malah lebih suka melakukan impor bahan
pangan. Untuk tahun ini impor pangan masih menjadi pilihan.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, target
Rencana Aksi Bukit tinggi bisa tercapai pada 2014, namun masih perlu
mengimpor sejumlah komoditas pangan utama seperti kedelai, gula, dan daging
sapi. Padahal, komoditas tersebut dapat diproduksi di negeri sendiri.
Terjebak Impor
Indonesia telah masuk fase jebakan impor
pangan yang sangat mengkhawatirkan. Impor serealia (gandum, beras, kedelai,
dan jagung) meningkat 61 persen periode 2011-2013 dibandingkan periode
2007-2009 (Food Outlook, FAO 2010-2013).
Persentase gandum sebagai bahan pangan pokok
yang 12 tahun lalu sekitar 7,66 persen (2001) saat ini menyusun 14,59 persen
makanan pokok rakyat Indonesia, meningkat hampir 100 persen dalam dua periode
jabatan presiden. Tidak hanya bahan pangan pokok, ketergantungan impor kita
terhadap belasan jenis pangan lainnya dari bawang hingga daging sapi
perlahan-lahan juga mulai meningkat.
Bersamaan dengan itu, perdagangan pangan
internasional menjadi suatu keniscayaan dan ketahanan pangan nasional harus
diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO.
Perubahan konsep dan tata nilai tentang pangan
dan pertanian telah berdampak luar biasa bagi negara berkembang. Banyak
pangan dan budaya pangan lokal musnah. Di samping itu, banyak lahan
pertanian yang tergerus.
Praktik pertanian yang mengandalkan
keselarasan alam dan harmoni kehidupan
menjadi rusak tergantikan praktik
pertanian ”modern” yang padat energi dan bahan beracun. Hubungan sosial,
keselarasan, dan semangat gotong royong antarpetani semakin tergantikan
dengan hubungan berkarakter kapitalistis dan individualistis.
Para ekonom liberal, termasuk di Indonesia,
bersikukuh perdagangan pangan internasional merupakan hal terbaik bagi negara
berkembang yang punya keunggulan komparatif di bidang pertanian.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Negara
berkembang yang awalnya eksportir pangan utama berubah jadi importir pangan
dengan kerugian sekitar US$ 50 miliar per tahun akibat hilangnya potensi
ekspor produk pertanian mereka (Brown, 2012).
Tantangan
Swasembada pangan yang ditargetkan 2014
tampaknnya hanya akan menjadi angan-angan semata. Swasembada sepertinya
sangat sulit diwujudkan pada tahun politik ini. Untuk gula misalnya,
Kementerian Pertanian merevisi target produksi 2014 dari 5,7 juta ton menjadi
3,1 juta ton. Alasannya, tidak ada penambahan lahan dan revitalisasi industri
gula juga tidak jalan.
Kedelai sulit karena butuh tambahan produksi
3,1 juta ton (mengacu target awal) untuk mencapai swasembada. Jagung juga
butuh tambahan 10 juta ton. Bisa dipastikan, untuk komoditas gula, kedelai,
dan jagung akan gagal 100 persen.
Swasembada beras berkelanjutan juga sudah 100
persen gagal. Sebab, tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013 secara berturut-turut
Indonesia mengimpor beras. Surplus produksi beras 10 juta ton juga akan sulit
dicapai sekalipun sudah mengundang korporasi masuk dalam budi daya.
Tahun 2014 tampaknya akan menjadi tahun yang
lebih berat bagi Kementan. Pemilihan umum yang semakin dekat dan rivalitas
antarpartai politik peserta pemilu semakin terang-terangan. Bukan tidak
mungkin ini akan menjadi batu sandungan dalam pencapaian berbagai target
sektor pertanian, terutama swasembada, juga sektor lainnya yang
kementeriannya dinakhodai kader parpol.
Tarik ulur kepentingan politik bakal kian
kuat. Di sisi lain jargon swasembada pangan 2014 akan menjadi kata-kata yang
lebih sering diucapkan atau diperdengarkan ketimbang aplikasi di lapangan.
Meski begitu, masih ada kesempatan bagi
Kementan untuk memperbaiki sektor pertanian, misalnya menghentikan alih
fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Peran Kementan harus nyata dan aktif,
tak cukup hanya dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan peraturan pemerintah
pendukungnya.
Meskipun peluang menuju swasembada pangan
tahun ini belum terpenuhi, pemerintahan baru perlu serius menggarap sektor
pertanian secara berkelanjutan, di antaranya melalui percepatan cetak sawah
baru, peningkatan daya saing buah dan sayur, penguatan kelembagaan pertanian
untuk mendongkrak posisi tawar petani, perbaikan jaringan irigasi dan
infrastruktur dasar lain, perakitan benih yang lebih unggul, peningkatan
kinerja industri benih nasional, pengembangan transgenik pada tingkat
penelitian, juga mendorong percepatan transformasi pekerja dari sektor
pertanian ke industri, jasa, dan perdagangan.
Selain itu, lebih penting adalah mengakhiri
impor bahan pangan dan mendorong lebih banyak lagi tumbuhnya industri
pengolahan berbasis sumber daya pertanian lokal, sehingga kesejahteraan
petani menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar