2014, Era Berakhirnya Kebijakan UN
Sudaryanto ; Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta
|
HALUAN,
25 Januari 2014
Awal tahun 2014 ini,
berembus kabar bahwa Ujian Nasional (UN) di tingkat sekolah dasar akan
dihapus. Jika kabar ini benar, maka pertanyaan yang muncul: mengapa UN di SMP
dan SMA/sederajat tidak juga dihapus? Kewenangan untuk menjawab pertanyaan
itu memang hanya ada di tangan Mendikbud. Hanya, apabila UN di SMP dan
SMA/sederajat juga dihapus tentu akan disambut baik oleh masyarakat
pendidikan.
Ada tiga alasan mengapa kebijakan UN di
semua jenjang pendidikan perlu dihapus. Pertama, UN merupakan kebijakan yang
merugikan guru-siswa dan sekolah. Mengapa? Sejak adanya UN, pembelajaran di
kelas berganti fokus menjadi latihan-latihan soal. Siswa diposisikan sebagai
objek yang harus diberikan langkah praktis dalam menjawab soal-soal UN.
Dengan kata lain, UN mereduksi makna pembelajaran sebagai proses pendidikan
sekadar latihan soal.
Sejak adanya UN pula, para guru lebih
disibukkan dengan membuat soal-soal latihan tiap minggu. Meski diiming-imingi
dengan honorarium, aktivitas membuat soal latihan UN sangat mengganggu
konsentrasi mengajar di kelas. Awalnya, pembelajaran di kelas diarahkan
untuk meningkatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tetapi, sejak
adanya UN, pembelajaran di kelas bergeser 180 derajat hanya pada aspek
kognitif semata.
Kemampuan Menghafal
Di kelas XII (SMA), IX (SMP), dan VI (SD), para
siswa hanya diajarkan hafalan demi hafalan soal dan jawaban. Segala trik,
rumus, atau langkah dibekali oleh para guru mereka. Intinya, para siswa
diminta untuk melipatgandakan kemampuan menghafal. Padahal, kata ahli pendidikan,
menghafal merupakan kemampuan mendasar di tingkat dasar. Tak pernah siswa
di kelas-kelas tadi diajarkan untuk berpikir kritis dan kreatif, termasuk
dalam pelajaran bahasa.
Di sini, saya teringat lirik-lirik puisi
Taufiq Ismail, sastrawan asal Bukittinggi, berjudul “Pelajaran Tatabahasa
dan Mengarang” (1997). Dengan gaya empatinya, Taufiq menulis begini, “Anak-anak,
bapak bilang tadi/ Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri/ Tapi tadi
tidak ada kosa kata lain sama sekali/ Kalian cuma mengulang bolak-balik yang
itu-itu juga/ Itu kelemahan kalian yang pertama/…”.
Selain guru-siswa, UN juga merugikan pihak
sekolah/madrasah. Di sektor anggaran sekolah, UN menyedot jumlah dana yang
tak sedikit. Adanya fotokopi soal-soal latihan tiap minggu, hingga penyediaan
konsumsi bagi guru yang memberikan les pengayaan tentu memboroskan anggaran
sekolah. Tak soal jika anggaran sekolah mencukupi, toh biasanya sekolah sudah
membuat anggaran tersendiri untuk hal itu. Tapi bagaimana sekolah yang
anggarannya terbatas?
Andaikan kebijakan UN dihapus, saya yakin
anggaran sekolah yang tersedot karena kepentingan UN dapat dialokasikan ke
sektor lain. Misalnya, untuk membeli buku atau bahan bacaan pelengkap mata
pelajaran yang nantinya ditaruh perpustakaan sekolah. Atau, untuk
insentif tambahan bagi para guru yang sedang/telah melakukan penelitian
tindakan kelas (PTK) dan publikasi di media massa, juga publikasi dalam
bentuk handout,
modul, ataupun buku.
Kedua, kebijakan UN mempersempit ruang
lingkup kurikulum. Dalam kurikulum yang berlaku saat ini (baca: Kurikulum
2013), pembelajaran di kelas diarahkan untuk tidak hanya menitikberatkan
pada kompetensi pengetahuan saja. Kompetensi sikap dan keterampilan juga
ikut diajarkan. Tapi, adanya pelaksanaan UN, mengubah total titik berat
pembelajaran di kelas. Titik berat yang justru lebih banyak muncul ialah
kompetensi pengetahuan, tidak lebih tidak kurang.
Sekadar contoh, dalam pelajaran Bahasa
Indonesia kelas XII SMA, siswa diajarkan untuk menulis resensi buku.
Sementara yang muncul dalam UN ialah siswa membaca nukilan resensi buku.
Secara logika, kemampuan menulis harus didahului dengan kemampuan membaca,
bukan sebaliknya. Jadi, UN justru menciptakan logika yang amburadul dari
segi keterampilan berbahasa. Tapi sayangnya, hal itu tak disadari oleh
banyak guru Bahasa Indonesia.
Tak Ada Kreativitas
Ketiga, kebijakan UN menghambat
pembelajaran yang menekankan kreativitas dan inovasi di kelas. Apabila ada
survei yang diberikan kepada para guru kelas XII (SMA), IX (SMP), dan VI (SD)
dengan pertanyaan utama: berat atau ringan mengajar di kelas-kelas tersebut,
saya yakin rata-rata akan menjawab berat. Mengapa? Selain tuntutan beban agar
para siswa harus lulus dari UN, para guru juga tidak leluasa dalam mengajar
di kelas-kelas tersebut.
Kembali saya ambil contoh pelajaran Bahasa
Indonesia kelas XII SMA. Di kelas XII, terdapat materi ajar berupa biografi
dan ditekankan pada kompetensi membaca. Guru memberikan keleluasaan kepada
siswa untuk memilih dan memilah biografi siapa pun. Dengan cara yang kreatif,
tak sedikit siswa membuat catatan-catatan biografi dengan menggunakan kartu
data berwarna-warni dan berbentuk aneka ragam. Kreatif dan unik bukan? Ya.
Sepintas, jika Anda perhatikan secara
saksama, para siswa itu betul-betul kreatif dan inovatif. Hanya, daya
kreativitas dan inovasi mereka akan sirna seketika dengan model soal evaluasi
UN yang berupa pilihan ganda (multiple choice).
Dan guru? Guru pun menjadi sosok kreator dan inovator yang dibungkam atas
hadirnya UN. Hemat saya, selama UN masih diberlakukan, selama itu pula
daya kreativitas dan inovasi para guru-siswa takkan lama menyala.
Saya sepakat dengan pendapat Dr Elin Driana
(2012) bahwa UN telah terbukti gagal dalam meningkatkan prestasi akademis
siswa kita. Alasan Elin: asesmen-asesmen internasional, seperti TIMSS,
PIRLS, dan PISA sangat tepat untuk dijadikan indikator kegagalan UN. Selain
itu, dalam pandangan saya, UN juga ikut menciptakan atmosfer pembelajaran
yang tidak sejalan dengan hakikat pendidikan yang bersifat “memanusiakan
manusia”.
Akhirnya, catatan kritis ini sampai pada kesimpulan
bahwa tahun 2014 merupakan tahun berakhirnya kebijakan UN. Saya pribadi
berharap agar Mendikbud-Baru yang terpilih kelak menyadari betapa kebijakan
UN betul-betul salah kaprah dan perlu diperbaiki. Jika selama ini pemerintah
mengklaim bahwa berkat UN siswa rajin belajar, sesungguhnya hal itu hanya
propaganda belaka. Bagai madu yang manis tapi sejatinya ia racun. Waspadalah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar