Sial di Media Sosial
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus Fakultas Psikologi UGM; Analis di PoliticaWave
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Januari 2014
SEPERTINYA semua setuju, kaum hawa
adalah figur peneduh, pengasuh, dan pengasih. Rentetan julukan tersebut
tampaknya dilandaskan pada asumsi bahwa kendali diri perempuan lebih baik.
Stabilitas emosi mereka pun demikian. Tapi banyak riset justru menyimpulkan
bahwa perempuan lebih rentan mengalami stres berkadar lebih tinggi ketimbang
lelaki. Bahkan pada kenyataannya, anggapan sedemikian rupa terhadap perempuan
justru mempertinggi bobot stres mereka. Itu karena kemudian seakan merupakan
tabu besar bagi kaum hawa untuk mengekspresikan perasaanperasaan negatif
mereka. Dengan kata lain, sudah rentan terkena stres, perempuan masih harus
menekan ataupun mengabaikannya pula.
Situasi kian buruk ketika kaum
yang lebih berisiko mengalami stres itu menjadi pusat perhatian publik.
Dengan status sebagai istri presiden, misalnya. Beratnya beban suami, mau tak
mau, juga menggelayuti batin sang fi rst lady. Keluarga istana niscaya juga
dituntut publik menjadi contoh keluarga idaman dan rumah tangga teladan.
Konsekuensinya, nyonya presiden harus berikhtiar membangun nama baik
keluarganya agar selaras dengan standar ideal yang masyarakat tetapkan.
Presiden stres, istri presiden
juga stres. Dan stres bisa diungkapkan dalam bentuk kekerasan lisan. Cacian
bahkan sumpah serapah pada dasarnya memang juga bisa bermanfaat, yakni memunculkan
perasaan berkuasa dan mampu mengontrol keadaan. Agresi verbal juga
menunjukkan kepada pihak lawan bahwa korban memiliki kekuatan untuk menyerang
balik.
Sayangnya, walau sama-sama bisa
stres dan menjulurkan lidah setajam sembilu, efek yang diterima presiden dan
istrinya akan berbeda.
Ketika seorang presiden naik
pitam, sekalipun dilakukan di hadapan jutaan pasang mata, amarah sang
presiden akan ditindaklanjuti para bawahannya. Jadi, berkat otoritas besarnya
selaku orang nomor satu di sebuah negara, presiden yang memperlihatkan tanduk
dan napas apinya di hadapan khalayak luas tetap berpeluang mendapat perasaan
adem pascangomel.
Lain cerita ketika istri presiden
yang naik darah! Apalagi jika ledakan emosi itu berlangsung di ruang publik,
siapa pun akan serta-merta mencibir, “Anda siapa?” Akibatnya, alih-alih batin
menjadi lapang, si istri presiden justru semakin naik darah karena ekspresi
kekesalannya tidak memberikan efek peredaan amarah seperti yang diharapkan.
Sudah perempuan, berisiko tinggi didera stres, berstatus sebagai first lady pula. Tekanan batin semakin
menjadi-jadi!
Netizen
Seiring tuntutan milenium, first lady juga harus melek teknologi.
Serbaneka gadget harus menjadi amunisi seharihari. Tidak mau tertinggal, ia
pun harus mengakrabkan diri dengan berbagai platform di media sosial (social
media). Bermedia sosial sejenak terasa mengasyikkan karena di situ ada
kebebasan, ruang tanpa perbatasan, berikut kesempatan untuk terus bahkan kian
memperoleh perhatian khalayak. Si nyonya presiden kini menyandang status baru
yang mentereng, yakni netizen.
Oleh si netizen tersebut, akun
Facebook, Twitter, Instagram, dan banyak lainnya dilongok secara teratur.
Status diperbarui, koleksi foto ditambah, pengalaman pribadi dibagikan.
Karena yang dinaikkan ke media sosial ialah segala hal-ihwal yang serba baik,
respons para netizen lainnya
diharapkan juga akan baik. Namun, kenyataan tidak linier dengan harapan.
Posting baik ditanggapi buruk. Posting buruk `disikat' habis-habisan semakin
buruk.
Tidak pelak, perempuan yang
dikenal sebagai ibu presiden sekaligus netizen itu menjadi korban pelecehan
dalam jaringan (daring). Privasinya
dikoyak-koyak. Semua perundungan itu berlangsung di media sosial.
Kondisi semacam itu sebangun
dengan studi-studi lainnya, bahwa alih-alih menghadirkan dunia interaksi
tanpa risiko, media sosial justru memperparah stres
atau-setidaknya--mendatangkan sumber stres baru. Sedemikian seriusnya stres
akibat menjadi bagian dari komunitas media sosial, kini diperkenalkan istilah
psikologi populer (bukan psikologi klinis), yaitu social media anxiety disorder (SMAD) ataupun social media stress disorder (SMSD).
Simtomnya, ambil misal, kegundahan
berlebihan seorang netizen akan
respons para netizen lainnya atas teks, foto, dan video yang telah dinaikkan
ke akun-akun di media sosial. Kegundahan tersebut membuat si netizen mudah
tersinggung. Ini, pada gilirannya, melatarbelakangi meletupnya tingkah laku
impulsif. Termasuk yang mewujud dalam bentuk tulisan-tulisan agresif yang
dimuntahkan ke dalam media sosial.
Diperburuk pula oleh dua
kemungkinan. Pertama, nothing to lose
attitude. Dilisankan, “Aku tidak
peduli, karena besok aku bukan first lady lagi.“ Bisa pula, kedua, everything to lose attitude, alias
kecemasan tersembunyi bahwa segala status selaku bagian dari orang nomor satu
akan lenyap. Persis indikasi postpower
syndrome.
Lalu, ketika gejala-gejala SMAD
atau SMSD sang first lady muncul
berulang di media sosial hingga dinilai publik telah mencapai level di luar
kepatutan, apa yang perlu nyonya presiden mafhumi guna mengatasi `masalahnya'
tersebut? Pertama, media sosial senyatanya merupakan dunia dua arah. Muskil
untuk berharap bahwa kedua arah itu akan selalu paralel. Bisa saja menyilang
atau lainnya. Karena sulit terprediksi, dan tidak mungkin memaksa netizen
lain untuk merespons seperti yang diharapkan, maka pengendalian lebih mungkin
dilakukan terhadap diri sendiri. Yaitu, khususnya, pengendalian terhadap
kemungkinan munculnya stres akibat keterlibatan dalam percakapan di media
sosial.
Kedua, walau mata dibuat sepet dan
kejengkelan sulit dibikin mampat, ada formula bahwa cara paling jitu untuk
menanggapi posting (baik substansi
maupun sentimen) negatif di media sosial ialah dengan tidak menanggapinya.
Begitu reaksi negatif semisal umpatan yang keluar, itu akan dikunyah sebagai
santapan empuk oleh pihak lawan dengan memanfaatkan fitur share, comment, retwitt, dan lainnya. Kembali,
ketika yang mengumpat adalah seorang first
lady, umpatan itu akan menghantam dirinya dengan magnitude jauh lebih hebat.
Ketiga, ini aji pamungkas bagi nyonya presiden yang telanjur mengalami SMAD
atau SMSD, yaitu setop berselancar di dunia maya.
Allahu
a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar