|
Peringatan
HUT TNI tahun ini sedikit berbeda. Kini, landasan udara Halim Perdanakusuma,
tempat parade dan defile pasukan TNI, disemarakkan empat unit tank tempur utama
(MBT) jenis Leopard. Hal ini jadi daya tarik sendiri, tidak hanya bagi undangan
sipil, tetapi juga mereka yang berseragam.
Masih
hangat ingatan kita, dua tahun terakhir ini berkembang polemik tentang konsep
modernisasi untuk memenuhi postur kekuatan TNI yang ideal, termasuk pro kontra
pembelian Leopard. Sejumlah politisi dan pengamat pertahanan mempertanyakan
urgensi pembelian tank berat kelas 60 ton itu. Kontur medan, termasuk kondisi
infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia, dianggap tidak cocok bagi
manuver MBT.
Akan
tetapi, pendukung modernisasi TNI dari sejumlah elemen masyarakat juga cukup
kuat suaranya. Mereka berharap TNI semakin profesional dan selalu siap dengan
skenario terburuk ke masa depan. Realisasi bertahap kontrak pembelian 100 tank
paling canggih itu merupakan wujud nyata derasnya dukungan itu.
Dengan
memiliki 100 Leopard dan alat utama sistem senjata (alutsista) modern lainnya,
TNI menjadi kekuatan tangkal efektif. Kekuatan TNI ini juga menjadi salah satu
instrumen bargaining
power dalam
kerangka resolusi damai. Artinya, paradoks ”militer yang kuat ditujukan bukan
untuk perang, tapi untuk mencegah terjadinya perang” tetap relevan.
Sejalan
dengan konsep pimpinan TNI, pembangunan kekuatan militer ke depan tidak hanya
diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum saja, tapi juga fokus
pada menjawab tantangan geopolitik dan keamanan di kawasan.
Militer modern
Sebagai negara besar, baik segi demografi, wilayah, maupun
kekayaan alam, tentu sangat rasional jika Indonesia berkepentingan membangun
kekuatan militer yang modern. Tujuannya, selain menjamin keutuhan dan
kedaulatan NKRI, juga mencegah terjadinya kerugian ekonomi akibat pencurian
sumber daya alam oleh pihak tertentu.
Pembangunan
kekuatan TNI ini tentu mengedepankan konsepsi regional
balance of power agar kita
tidak terjebak untuk membentuk kekuatan militer agresif serta cermat dalam memproyeksikan
penggunaan kekuatan TNI di masa mendatang.
Di sisi
lain, kita memahami, perang dan damai ditentukan oleh manusia, bukan senjata.
Karena itu, baik memenangi peperangan atau memelihara perdamaian, sangat
dibutuhkan kehadiran prajurit-prajurit yang cerdas, loyal, dan andal di
lapangan. Kecanggihan senjata tentu penting untuk dikalkulasi, tetapi jadi
kurang relevan ketika sumber daya manusia yang mengawakinya lemah.
Hal ini
semakin nyata ketika kita memahami anatomi tantangan keamanan pada abad XXI
yang kompleks dan penuh ketidakpastian. Dengan demikian, dalam pembangunan
kekuatan TNI modern, penguatan aspek hard
power harus
mencakup pengembangan dan peningkatan kualitas prajurit TNI.
Untuk
mewujudkan itu, ada tiga aspek penting yang perlu disiapkan. Pertama, kapasitas
intelektual. Melalui pendidikan dan latihan, TNI dapat mencetak
prajurit-prajurit profesional, yang memiliki kecakapan dan keterampilan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
Namun,
keterampilan militer semata tidak cukup untuk menjawab kompleksitas
permasalahan yang dihadapi. Sebagai contoh, ketika mengemban misi perdamaian
PBB di Lebanon Selatan, pasukan TNI harus dapat memahami sejarah konflik antara
Israel dan Hizbullah. Insiden kecil yang diakibatkan kesalahan prajurit dalam
berinteraksi dengan pihak bertikai, dapat mencederai upaya perdamaian.
Tantangan
terbesar tentunya pada perbedaan bahasa dan budaya. Karena itu, selain
disiapkan untuk tugas taktis, setiap prajurit wajib dibekali kemampuan
komunikasi, diplomasi, dan negosiasi, termasuk bagaimana memenangi hati dan
pikiran masyarakat lokal.
Jati diri TNI
Kedua,
jati diri TNI. Prajurit TNI adalah prajurit pejuang, yang memiliki ketahanan
mental untuk tidak pernah menyerah dalam kondisi apa pun. Di tengah kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dan sehebat apa pun kekuatan
militer kita ke depan, setiap prajurit harus senantiasa membumi, karena pada
hakikatnya TNI berasal dari rakyat serta berjuang untuk rakyat dan kepentingan
nasional. Karakter dan jati diri itu tidak boleh luntur dan harus
ditumbuhkembangkan dari generasi ke generasi TNI selanjutnya.
Ketiga,
nilai-nilai kepemimpinan. Militer itu bisnisnya adalah kepemimpinan dan
pemimpin itu bisnisnya adalah mengambil keputusan. Walaupun kerap dihadapkan
pada situasi yang sulit dan berbahaya, pemimpin militer pada level apa pun
wajib mengambil risiko. Terlambat mengambil keputusan dapat berakibat fatal,
yaitu gagalnya tugas, bahkan gugurnya prajurit di medan pertempuran.
Sebaliknya,
keberhasilan operasi militer umumnya ditentukan oleh kepemimpinan yang
berkualitas. Pemimpin yang efektif dapat menentukan visi dan menjabarkan misi
secara gamblang kepada pengikutnya. Tidak hanya itu, ia juga mampu membekali
pengikutnya dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas pokoknya.
Selanjutnya,
untuk mengatasi ketidakpastian global, pemimpin militer abad XXI wajib memiliki
sejumlah kemampuan serta adaptif dalam mengelola berbagai skenario operasi,
dari pertempuran hutan sampai pertempuran kota, dari lawan insurjensi sampai
lawan terorisme, dari penanggulangan bencana alam sampai pemeliharaan
perdamaian dunia.
Akhirnya,
untuk mewujudkan kekuatan TNI modern di masa depan, TNI tidak dapat berdiri
sendiri. Karena itu, di hari yang bersejarah ini, tepat kiranya jika TNI
melakukan refleksi dan kontemplasi untuk meningkatkan kinerja serta memantapkan
komitmen untuk bersinergi dengan seluruh komponen bangsa dalam rangka menjawab
berbagai tantangan keamanan pada abad XXI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar