|
Penangkapan
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar karena menerima sogok miliaran rupiah
menimbulkan krisis konstitusional yang mungkin belum ada presedennya di mana
pun. Ini krisis yang menimbulkan demoralisasi sekaligus merusak
konstitusionalitas dan politik kita.
MK satu-satunya
lembaga yang khusus dibentuk guna menyempurnakan dan mengawal proses amandemen
UUD 1945 selama 11 tahun terakhir. Karena itu, ada pemeo yang berlaku
universal, MK adalah ”wakil Tuhan di dunia”.
Apa lacur, MK
kita kini berada di titik nadir setelah terungkapnya korupsi Akil Mochtar
yang mind-boggling, dramatis, sensasional, dan justru memunculkan lebih
banyak pertanyaan. Pertanyaan paling pokok adalah apakah solusi yang sedang
dicari sesuai dengan aspirasi rakyat?
Kalau cuma
sekadar merembukkan krisis ini di kalangan elite, seperti apa yang dilakukan
Komite Etik MK, apakah itu mewakili aspirasi rakyat? Rakyat sudah jenuh dan
apatis dengan solusi semacam ini karena biasanya bersifat
basa-basi, ngalor-ngidul, dan sering transaksional.
Tak heran
berkembang opini di berbagai kalangan, sebaiknya MK dibubarkan saja. Mengapa
kita tidak hentikan saja proses amandemen konstitusi yang akan masuk tahap
kelima? Lagi pula, yang namanya proses amandemen konstitusi tak perlu dilakukan
sampai kiamat. Artinya, MK bukanlah lembaga permanen.
Lebih penting
lagi adalah apakah betul kita mau menyerahkan tafsir atas konstitusi kepada
hakim-hakim MK? Padahal, UUD 1945 disusun dengan tafsir yang sudah paripurna
dan tetap relevan sampai kini oleh para pendiri bangsa.
Seperti kita
ketahui, semakin banyak kritik dilontarkan ke proses amandemen konstitusi. Apa
yang diubah mungkin lebih bagus di atas kertas, tetapi banyak yang tidak
mematuhinya.
Jangan salah,
amandemen konstitusi sama sekali tidak salah. Namun, kita makin hari makin
melenceng dari apa yang ditulis dalam naskah asli UUD 1945 ataupun versi
amandemen.
Lebih dari itu,
dipertanyakan pula dengan delapan hakim konstitusi yang tersisa, sejauh mana
efektivitas MK? Apalagi rakyat sudah kehilangan trust terhadap MK dan
mulai mempertanyakan integritas delapan hakim lainnya.
Sementara ini, tugas
keseharian MK tentu masih terus berjalan. Jika kita melihat korupsi yang
dilakukan Akil Mochtar, masalah terbesar adalah bagaimana menyikapi
perkara-perkara yang terkait dengan hasil pilkada-pilkada.
Seperti
diketahui, setiap tahun ada ratusan pilkada. Data menunjukkan, lebih dari 90
persen hasil pilkada disengketakan di MK. Ternyata, hasil pilkada-pilkada
itulah yang menjadi core business MK. Wajar saja jika hal itu menjadi
bisnis yang menggiurkan karena melibatkan transaksi bernilai miliaran rupiah.
Lalu, bagaimana
dengan sengketa-sengketa yang sudah diselesaikan MK? Kini mulai dipertanyakan
pula keputusan MK atas hasil pilkada di beberapa provinsi besar belum lama ini,
seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Krisis
konstitusional yang dipicu korupsi Akil Mochtar ini otomatis memicu pula krisis
legitimasi terhadap mereka yang memenangi pilkada. Tentu tak semua hasil
pilkada yang disengketakan dan diputuskan MK melibatkan fenomena wani
piro.
Namun, harap
dimaklumi pula jika mereka yang kalah akan unjuk aksi. Kalau sebelumnya ada
anggapan yang kalah pilkada biasanya tidak mau terima kekalahan, kini ada
anggapan rupanya yang menang dengan meragukan (terutama petahana) punya
jurus wani piro.
Celakanya lagi,
keputusan-keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ya, mereka yang kalah
terpaksa ”gigit jari” saja walau mereka cuma jadi korban siasat jahat pemenang
dengan MK.
Tentu saja ini
tidak fair karena keputusan-keputusan MK mengabaikan rasa keadilan.
Bisa dibayangkan pengabaian ini menurunkan animo rakyat untuk berpartisipasi
dalam proses demokrasi kita yang masih baru.
Sekali lagi,
masyarakat kini mengalami demoralisasi akibat korupsi Akil Mochtar ini. Terus
terang, saya ragu elite penguasa merasakan demoralisasi yang serupa. Sudah
bertahun-tahun nikmatnya kuasa dan duit serta rasa tamak telah mewabahi para
pejabat publik yang kita pilih sendiri. Celakanya, korupsi yang sudah absurd
itu masih saja ditoleransi rakyat.
Lebih celaka
lagi, elite politik menganggap korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah ”permainan”.
Mereka cuma fokus pada bagaimana caranya mengutak-atik sekaligus
membagi-bagikan anggaran untuk ditilepsampai-sampai mereka alpa bekerja
untuk rakyat.
”Permainan” itu
tampaknya akan makin berlangsung seru menjelang tahun politik 2014. Kini muncul
pertanyaan yang tak kalah penting, apakah MK masih layak dipercaya jika terjadi
sengketa atas hasil Pemilu dan Pilpres 2014?
Karena itulah
muncul desakan dari beberapa kalangan aktivis agar delapan hakim konstitusi
sebaiknya mengundurkan diri saja. Namun, pertanyaannya, apakah mereka bersedia?
Sekali lagi,
rakyat sedang mengalami demoralisasi yang belum ada presedennya dalam sejarah
kita. Pertanyaannya, apakah masih ada tokoh atau institusi yang memiliki wibawa
untuk menemukan solusi yang memuaskan rakyat?
By the way, hampir dua tahun lalu saya
dikirimi surat protes dari MK. Isinya, mereka keberatan dengan apa yang saya
tulis di rubrik ini bahwa kita kini menganut ”Trias Corruptica”, bukan ”Trias Politica” sebagaimana lazimnya.
Tiga cabang kekuasaan kita adalah ”legisla-thieves”,
”execu-thieves”, dan ”judica-thieves”. Semuanya ”thieves” alias pencuri.
Saya minta MK
menulis hak jawab, tetapi mereka enggan sebab waktu itu ada ”oknum” karyawan MK
yang divonis karena korupsi keputusan sengketa pilkada. Kini, yang jadi
tersangka korupsi sang ketua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar