|
Saat acara berbuka puasa dengan pimpinan media massa di
Istana Negara, Juli lalu, Presiden Yudhoyono menyampaikan lima hal yang akan
menjadi tantangan bangsa dalam menapaki perjalanan ke depan.
Lima masalah itu adalah pertama, pilihan tentang sistem
ketatanegaraan yang akan kita jalankan. Kedua, hubungan antara demokrasi,
stabilitas, dan pembangunan. Ketiga, hubungan antara negara, pemerintah, dan
masyarakat. Keempat, peta jalan menjadi negara maju. Kelima, pembagian tanggung
jawab di antara seluruh anak bangsa.
Itu juga tantangan TNI yang kini merayakan ulang tahun ke-68.
TNI harus mampu menempatkan diri dalam sistem demokrasi, khususnya memahami
perannya dalam menjalankan kebijakan politik negara.
Meski sudah 15 tahun menjalani sistem demokrasi, cara pandang
kita sering kali masih tercampur baur dengan sistem otoriter. Sejak Dekrit
Presiden 1959, kita—termasuk prajurit TNI—memang hidup dalam era kepemimpinan
yang begitu kuat sehingga sulit membedakan antara politik kepentingan pimpinan
nasional dan politik kepentingan negara.
Setelah reformasi 1998, TNI mencoba mengoreksi kekeliruan
yang pernah terjadi. Pimpinan TNI mencoba menempatkan kembali peran TNI ke
dalam proporsinya sebagai alat negara. TNI tidak boleh lagi terseret-seret ke
dalam kepentingan politik praktis dan hanya boleh melaksanakan tugas
menjalankan kebijakan politik negara.
Penegasan posisi tersebut jadi sangat penting karena tak lama
lagi kita akan menghadapi Pemilu 2014. TNI harus menjaga kepentingan bangsa dan
negara sehingga tidak boleh sampai terseret-seret oleh kepentingan politik
jangka pendek.
Setiap menyebut TNI, tersirat di benak kita suatu kekuatan
tentara warga negara Indonesia yang dipersiapkan untuk tugas pertahanan negara
yang diatur oleh undang-undang. Di sisi lain, saat menyebut politik negara,
terkandung makna prinsip supremasi sipil dalam suatu tatanan negara demokrasi
yang diatur oleh ketentuan hukum nasional berdasarkan konstitusi UUD 1945.
TNI berbeda dibandingkan dengan tentara dari negara lain. TNI
merupakan tentara yang lahir dari rakyat yang aktif mengangkat senjata dalam
kancah perjuangan merebut dan menegakkan NKRI.
Masih segar ingatan kita, di masa lalu dikenal jabatan
menteri pertahanan dan keamanan/ panglima angkatan bersenjata RI. Ketika itu
seorang perwira tinggi militer aktif ditunjuk menduduki jabatan rangkap sebagai
pejabat negara dan sebagai pejabat militer. Kondisi itu bisa berjalan karena
peraturan dan perundang-undangan serta kebijakan politik negara yang berlaku
saat itu diterapkan dalam sistem otoritarian, di mana determinasi pemerintah
menjadi titik sentral.
Setelah reformasi 1998 dan sistem demokrasi kita jalankan,
terjadi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan sampai kepenataan
kelembagaan. Hal itu berimplikasi pada TNI yang dituntut membangun dan
mengembangkan profesionalisme sesuai kepentingan politik negara. TNI harus taat
pada prinsip demokrasi dan supremasi sipil serta ketentuan hukum nasional
ataupun internasional yang diratifikasi oleh negara.
Kita tahu supremasi sipil adalah suatu kekuasaan politik yang
melekat pada pemimpin negara yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Relevansinya pada TNI, dipahami bahwa TNI harus taat kepada kebijakan dan
keputusan politik negara oleh presiden melalui mekanisme ketatanegaraan, yaitu
kebijakan politik yang diputuskan bersama oleh pemerintah dan DPR.
Mengubah
kultur
Tantangan terberat adalah bagaimana mengaplikasikan hal itu
dalam sikap dan perilaku prajurit TNI. Seluruh prajurit TNI harus benar-benar
diberikan pemahaman tentang sistem demokrasi dan tahu bagaimana politik negara
itu seharusnya dijalankan.
Kita patut memberi apresiasi bahwa TNI telah memahami status
dan kedudukannya berdasarkan UU TNI, yang menempatkan mereka di bawah presiden
dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Dalam pelaksanaannya,
presiden menugaskan menteri pertahanan untuk mengelola kebutuhan TNI berkaitan
aspek pengelolaan pertahanan negara, kebijakan penganggaran, pengadaan,
perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, dan pembinaan industri
pertahanan. Sementara panglima TNI dibantu kepala staf angkatan diberi tugas
pembinaan kekuatan TNI berkaitan dengan pendidikan, latihan, penyiapan
kekuatan, dan doktrin militer.
Ada kewajiban moral bagi para prajurit TNI yang memiliki
militansi tinggi untuk mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam sistem
pertahanan negara. Suatu keniscayaan bagi TNI untuk memahami nilai yang
mendasar dalam Pancasila dan UUD 1945, pesan kejuangan dan profesi dari Sapta
Marga dan Sumpah Prajurit, serta Delapan Wajib TNI dan nilai bangsa pejuang
yang berjiwa gotong royong. Memahami kepentingan politik negara tak berarti TNI
menyentuh politik praktis. Sebagai alat negara di bidang pertahanan, TNI tahu
dengan jelas makna tugas menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta
melindungi bangsa dan tumpah darah.
Untuk itu, prajurit TNI harus terus mengembangkan
intelektualitas dengan menggali nilai- nilai baru bagi pengembangan kemampuan
militer sesuai kebutuhan bangsa Indonesia masa kini dan masa mendatang. Pada
dimensi lain, negara diberi amanat oleh UU untuk membangun kekuatan TNI dan
membiayai TNI, baik kebutuhan dasar dan perawatan prajurit serta penggunaan
kekuatan TNI. Dengan demikian, TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan
dapat fokus menjalankan tugas negara.
Bangsa dan negara tercinta ini akan terus berkembang menjadi
keluarga besarnya yang memiliki tekad bersama. Kita sama-sama sepakat membangun
Indonesia kuat yang bermartabat, rasional dalam berdemokrasi, tumbuh pesat
ekonominya dalam meraih keadilan, serta memiliki strong defence
capabilitydalam kerangka soliditas persatuan bangsa Indonesia. Dirgahayu TNI! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar