|
Naskah akademik RUU Perdagangan yang disusun dan diajukan
Kementerian Perdagangan ke DPR mencerminkan betapa buruknya apresiasi terhadap
perdagangan nasional. Bahkan, ada kecenderungan instansi itu melecehkan Pasal
33 UUD 1945. Bertolak belakang dengan sikapnya yang cenderung melecehkan Pasal
33 UUD 1945, isi naskah akademik RUU Perdagangan terhadap berbagai kesepakatan
liberalisasi perdagangan internasional cenderung sangat ramah. Pembahasan pun
tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan dengan penuh simpati
dan penghormatan.
Simak, misalnya, pembahasan mengenai hierarki berbagai
kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab
III.B.3. Berbagai kerja sama perdagangan internasional yang selama ini diikuti
Indonesia dapat disusun dalam hierarki berikut. Posisi tertinggi diduduki
Organisasi Perdagangan Dunia, menyusul Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC),
Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC, ASEAN+3, dan ASEAN+1.
Akhirnya, di bawah ASEAN+1 terdapat berbagai kerja sama perdagangan yang
bersifat bilateral.
Menurut naskah akademik RUU Perdagangan, kerja sama
bilateral sesungguhnya memiliki kelemahan. "Kelemahan kerja sama bilateral
itu adalah kemungkinan terjadinya hub-spokes problem, di mana jumlah komoditas
nasional yang akan diliberalisasikan menjadi jauh lebih banyak ketimbang bila
ia maju atas nama ASEAN. Namun, apabila kerja sama bilateral itu tidak
dilakukan, negara anggota yang tidak melakukan akan mengalami kerugian (opportunity cost) karena negara anggota
lainnya sudah terlebih dahulu (first
mover advantage) melakukan kerja sama bilateral."
Sikap hormat berlebihan itu dapat disimak pula ketika
berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut naskah akademik
RUU Perdagangan: "Pemerintah mengatur perdagangan dengan tidak melanggar
hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian internasional: WTO, GATS, ASEAN
Economic Community, dan lain-lain." Jika demikian, untuk tujuan apakah
sesungguhnya RUU Perdagangan disusun, untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 atau
untuk menyingkirkannya?
Pelecehan terhadap konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 vulgar
sejak halaman pertama. Pada Bab I.A.1 butir g mengenai Landasan Filosofis yang
mendasari penyusunan NA RUU Perdagangan. Menurut NA RUU Perdagangan:
"Market mechanism is the best mechanism for the economy." Dengan
landasan filosofis yang diadopsi secara mentah-mentah dari paham ekonomi
liberal itu, kandungan berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu tampaknya
memang disusun sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menyingkirkan Pasal
33 UUD 1945.
Dalam Bab II dan III, asas-asas yang digunakan dalam
menyusun NA RUU Perdagangan itu antara lain mengacu pada Pasal 33 UUD 1945
(hasil amandemen keempat). Sehubungan dengan itu, salah satu asas yang
digunakan adalah asas demokrasi ekonomi, yang sepintas pencantuman asas itu
memang tampak heroik, namun sesungguhnya hanya basa-basi karena tiadanya
definisi yang jelas. Bahkan, tidak berlebihan, menurut Kementerian Perdagangan,
demokrasi ekonomi sesungguhnya hanya slogan kosong yang tidak jelas
ujung-pangkalnya.
Sejalan dengan demokrasi ekonomi itu, amanat Pasal 33 UUD
1945 untuk melembagakan tiga hal berikut dalam menyelenggarakan demokrasi
ekonomi di Indonesia menjadi mudah dipahami: (1) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara; dan (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar