|
PERDEBATAN tentang falsafah dasar NKRI tidak pernah surut
sepanjang zaman. Persoalan ideologi negara menjadi bagian penting dalam proses
yang terus menerus untuk menjadi Indonesia. Inilah tahapan kala sengketa dan
kompromi politik mencipta dinamika dalam sejarah negeri ini: sebagai nation
state. Kisah-kisah perdebatan pada awal masa kemerdekaan, ketika petinggi
bangsa merumuskan dasar negara, sejatinya sampai saat ini masih terus
berdengung.
Kampanye dan diskusi yang terkait dengan dasar negara masih
mempertontonkan perdebatan yang kadang disertai ketegangan antara Islam dan
Pancasila. Panggung politik masih menyediakan ruang kosong bagi perdebatan
untuk merumuskan jawaban atas ideologi negara. Bahkan, pada masa
kontestasi menjelang Pemilu 2014, perdebatan tentang ideologi dasar negara,
masih terus diucapkan.
Tentu, jika diteruskan perdebatan tersebut tidak akan
pernah surut. Peristiwa debat ide antara Soekarno dan Natsir, masih berkelebat
dalam catatan sejarah. Pandangan Natsir tentang Islam Indonesia, yang
menggunakan kerangka mayoritas, bertemu dengan perspektif Soekarno yang
menjawab Islam sebagai ide dan praktik dalam bernegara.
Di panggung berbeda, perdebatan Soekarno dengan H Agoes
Salim terus berdenyut. Ide-ide tentang perdebatan ini, masih berjejak dalam
saripati gagasan antara pendukung Soekarno dan pengikut Agoes Salim. Bagi Agoes
Salim, nasionalisme Islam menjadi pilihan penting untuk meredam aksi-aksi
sektarianisme dan chauvisime.
Dasar Negara
Tentu, pilihan ini juga berjejak pada pemikiran mendalam,
hasil refleksi dan diskusi dengan pelbagai peradaban dunia. Adapun Soekarno
mengajukan argumentasi tentang kemungkinan negara menganut paham nasionalisme
sekuler. Ide Soekarno berdialog dengan peradaban dunia, yang diambil
saripatinya dalam merumuskan Pancasila.
Jika merunut catatan sejarah, terutama sidang Konstituante
dalam merumuskan dasar negara, tentu mengerucut pada perdebatan tentang Islam
dan Pancasila. Di tengah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK), pada 29 Mei-1 Juni 1945, Natsir dan Kasman Singodimedjo bersikukuh
mengaktualisasikan Islam sebagai falsafah negara.
Singodimedjo beranggapan Islam menjadi bagian penting dari
tradisi berbangsa dan bernegara warga Indonesia. Perdebatan ini ditandai dengan
peristiwa Piagam Jakarta, tentang 7 kata yang menjadi representasi kepentingan
kelompok yang mengusung Islam sebagai dasar negara secara formal.
Kubu nasionalis tetap beranggapan bahwa Islam sebagai dasar
etik, yang tidak usah termaktub secara formal, tetapi menjadi bagian dari
semangat keindonesiaan. Islam sebagai dasar moral, bukan secara kaku menjadi
dasar hukum formal. Perdebatan ini terus meruncing, bahkan bersisa hingga saat
ini.
Lalu, bagaimana merespon falsafah negara, di tengah
keterkoyakan nilai-nilai Pancasila, terutama oleh kontestasi ideologi di negeri
ini? Setidaktidaknya, perlu menyegarkan diskusi tentang penyegaran nilai Islam
dan Pancasila.
Selain perdebatan personal, falsafah dasar negara juga
menyeret pengurus Sarekat Islam (SI) untuk melangsungkan diskusi pemikiran. SI
Pusat berkontestasi dalam ranah ide dengan SI Semarang. SI Pusat mengharap
kehadiran negara Islam Indonesia yang kuat dengan barisan pengusaha pribumi
yang kokoh.
Adapun SI Semarang berkeinginan tidak ada kelas dalam
horizon pengusaha di Indonesia. Pengusaha pribumi yang kuat memancing lahirnya
kelas-kelas kapitalis baru. Dalam pandangan SI Semarang, kelas kapitalis itu
sama saja dengan membunuh iklim usaha di Indonesia, yang tidak sesuai dengan
prinsip kebersamaan. Demikian pula, kapitalisme dalam pandangan SI Semarang
merupakan prinsip yang tidak baik.
Islam dan
Pancasila
Di tengah kontestasi ideologi negara, meletakkan kembali
Pancasila sebagai referensi ide menjadi bagian penting dari usaha
mempertahankan NKRI. Semangat ìNKRI harga matiî yang didengungkan oleh para
kiai dalam jajaran NU tidak lantas memperbandingkan dengan Islam. Justru,
Pancasila dapat bersanding harmonis dengan nilai-nilai Islam, dengan perspektif
yang lebih jernih dalam berbangsa dan bernegara.
Bagi Indonesia, negeri dengan keragaman budaya dan agama,
tentu menjadikan Pancasila sebagai referensi ideologi politik menjadi pilihan
penting. Strategi berbangsa dan bernegara, dengan tetap meletakkan prinsip
saling menghormati dan mengasihi merupakan akar sejarah dari kelahiran
Pancasila.
Momentum Hari Kesaktian Pancasila, dengan silang sejarah
yang terus dimaknai dalam riset dan publikasi, perlu menghadirkan semangat
untuk menjadikan Pancasila sebagai referensi tunggal kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kemudian, nilai-nilai agama menjadi asas bagi komunikasi
antarpersonal dan komunal.
Pada titik ini, usaha-usaha untuk merobohkan nilai-nilai
keragaman budaya dan tradisi yang tercermin pada prinsip pancasila, tidak
dibenarkan hadir di bumi pertiwi. Sudah saatnya, kita menyegarkan kembali
pandangan atas ideologi berbangsa, dengan meletakkan secara harmonis Pancasila
sebagai prinsip berbangsa dan nilai agama sebagai bagian dari komunikasi
budaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar