Jumat, 04 Oktober 2013

Kontekstualisasi Islam dan Pancasila

Kontekstualisasi Islam dan Pancasila
Munawir Aziz  ;  Direktur Riset the North Coast Center (NCC) Staimafa Pati,
Penulis buku Dinamika Identitas Orang Pesisiran
SUARA MERDEKA, 03 Oktober 2013


PERDEBATAN tentang falsafah dasar NKRI tidak pernah surut sepanjang zaman. Persoalan ideologi negara menjadi bagian penting dalam proses yang terus menerus untuk menjadi Indonesia. Inilah tahapan kala sengketa dan kompromi politik mencipta dinamika dalam sejarah negeri ini: sebagai nation state. Kisah-kisah perdebatan pada awal masa kemerdekaan, ketika petinggi bangsa merumuskan dasar negara, sejatinya sampai saat ini masih terus berdengung.

Kampanye dan diskusi yang terkait dengan dasar negara masih mempertontonkan perdebatan yang kadang disertai ketegangan antara Islam dan Pancasila. Panggung politik masih menyediakan ruang kosong bagi perdebatan untuk merumuskan jawaban atas ideologi negara. Bahkan, pada masa  kontestasi menjelang Pemilu 2014, perdebatan tentang ideologi dasar negara, masih terus diucapkan. 

Tentu, jika diteruskan perdebatan tersebut tidak akan pernah surut. Peristiwa debat ide antara Soekarno dan Natsir, masih berkelebat dalam catatan sejarah. Pandangan Natsir tentang Islam Indonesia, yang menggunakan kerangka mayoritas, bertemu dengan perspektif Soekarno yang menjawab Islam sebagai ide dan praktik dalam bernegara.

Di panggung berbeda, perdebatan Soekarno dengan H Agoes Salim terus berdenyut. Ide-ide tentang perdebatan ini, masih berjejak dalam saripati gagasan antara pendukung Soekarno dan pengikut Agoes Salim. Bagi Agoes Salim, nasionalisme Islam menjadi pilihan penting untuk meredam aksi-aksi sektarianisme dan chauvisime.

Dasar Negara

Tentu, pilihan ini juga berjejak pada pemikiran mendalam, hasil refleksi dan diskusi dengan pelbagai peradaban dunia. Adapun Soekarno mengajukan argumentasi tentang kemungkinan negara menganut paham nasionalisme sekuler. Ide Soekarno berdialog dengan peradaban dunia, yang diambil saripatinya dalam merumuskan Pancasila.

Jika merunut catatan sejarah, terutama sidang Konstituante dalam merumuskan dasar negara, tentu mengerucut pada perdebatan tentang Islam dan Pancasila. Di tengah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada 29 Mei-1 Juni 1945, Natsir dan Kasman Singodimedjo bersikukuh mengaktualisasikan Islam sebagai falsafah negara.

Singodimedjo beranggapan Islam menjadi bagian penting dari tradisi berbangsa dan bernegara warga Indonesia. Perdebatan ini ditandai dengan peristiwa Piagam Jakarta, tentang 7 kata yang menjadi representasi kepentingan kelompok yang mengusung Islam sebagai dasar negara secara formal. 

Kubu nasionalis tetap beranggapan bahwa Islam sebagai dasar etik, yang tidak usah termaktub secara formal, tetapi menjadi bagian dari semangat keindonesiaan. Islam sebagai dasar moral, bukan secara kaku menjadi dasar hukum formal. Perdebatan ini terus meruncing, bahkan bersisa hingga saat ini.

Lalu, bagaimana merespon falsafah negara, di tengah keterkoyakan nilai-nilai Pancasila, terutama oleh kontestasi ideologi di negeri ini? Setidaktidaknya, perlu menyegarkan diskusi tentang penyegaran nilai Islam dan Pancasila.

Selain perdebatan personal, falsafah dasar negara juga menyeret pengurus Sarekat Islam (SI) untuk melangsungkan diskusi pemikiran. SI Pusat berkontestasi dalam ranah ide dengan SI Semarang. SI Pusat mengharap kehadiran negara Islam Indonesia yang kuat dengan barisan pengusaha pribumi yang kokoh. 

Adapun SI Semarang berkeinginan tidak ada kelas dalam horizon pengusaha di Indonesia. Pengusaha pribumi yang kuat memancing lahirnya kelas-kelas kapitalis baru. Dalam pandangan SI Semarang, kelas kapitalis itu sama saja dengan membunuh iklim usaha di Indonesia, yang tidak sesuai dengan prinsip kebersamaan. Demikian pula, kapitalisme dalam pandangan SI Semarang merupakan prinsip yang tidak baik.

Islam dan Pancasila

Di tengah kontestasi ideologi negara, meletakkan kembali Pancasila sebagai referensi ide menjadi bagian penting dari usaha mempertahankan NKRI. Semangat ìNKRI harga matiî yang didengungkan oleh para kiai dalam jajaran NU tidak lantas memperbandingkan dengan Islam. Justru, Pancasila dapat bersanding harmonis dengan nilai-nilai Islam, dengan perspektif yang lebih jernih dalam berbangsa dan bernegara.

Bagi Indonesia, negeri dengan keragaman budaya dan agama, tentu menjadikan Pancasila sebagai referensi ideologi politik menjadi pilihan penting. Strategi berbangsa dan bernegara, dengan tetap meletakkan prinsip saling menghormati dan mengasihi merupakan akar sejarah dari kelahiran Pancasila.

Momentum Hari Kesaktian Pancasila, dengan silang sejarah yang terus dimaknai dalam riset dan publikasi, perlu menghadirkan semangat untuk menjadikan Pancasila sebagai referensi tunggal kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, nilai-nilai agama menjadi asas bagi komunikasi antarpersonal dan komunal. 

Pada titik ini, usaha-usaha untuk merobohkan nilai-nilai keragaman budaya dan tradisi yang tercermin pada prinsip pancasila, tidak dibenarkan hadir di bumi pertiwi. Sudah saatnya, kita menyegarkan kembali pandangan atas ideologi berbangsa, dengan meletakkan secara harmonis Pancasila sebagai prinsip berbangsa dan nilai agama sebagai bagian dari komunikasi budaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar