Kamis, 05 September 2013

Stabilisasi Harga Kedelai

Stabilisasi Harga Kedelai
Iswadi ;  Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan Statistik Tanaman Pangan BPS; Alumnus The University of Queensland, Australia
KOMPAS, 05 September 2013


Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2013 menetapkan harga pembelian kedelai petani (HBP kedelai) sebesar Rp 7.000 per kilogram dengan perkiraan petani akan memperoleh keuntungan 25-30 persen.

Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan 2011 (SOUT-TP 2011) menunjukkan, dengan HBP yang ditetapkan tanggal 13 Juni 2013 tersebut, petani masih cenderung merugi. Kenyataan menunjukkan, produksi kedelai dalam negeri tidak menunjukkan peningkatan berarti pada periode 1961- 1983. Baru mulai tahun 1984 produksi kedelai Indonesia naik hingga mencapai puncaknya tahun 1992 dengan produksi 1,87 juta ton biji kering. Produksi kedelai kemudian mulai turun lagi hingga tahun 2013 hanya mencapai 847.160 ton (Angka Ramalan I-2013, BPS).

Penyebab utama turunnya produksi kedelai di negara ini adalah penurunan luas panen. Hal ini terlihat dari selarasnya perkembangan produksi dengan perkembangan luas panen. Pada tahun 1961 luas panen kedelai tercatat 625.000 hektar, naik perlahan menjadi 640.000 hektar tahun 1983. Seperti halnya produksi, luas panen mulai naik tahun 1984 hingga mencapai puncaknya tahun 1992 dengan luas panen 1,66 juta hektar untuk kemudian turun kembali hingga 572.000 hektar tahun 2013 (Aram I-2013, BPS).

Petani enggan menanam

Faktor utama penyebab turunnya luas panen kedelai adalah turunnya luas tanam yang tentu saja disebabkan perilaku petani yang lebih memilih komoditas lain untuk dibudidayakan. Beberapa alasan, seperti rendahnya keuntungan yang diperoleh petani akibat harga yang terlalu rendah, sulitnya mendapatkan bibit unggul, dan sifat tanaman yang rentan rusak akibat perubahan iklim membuat petani enggan membudidayakan kedelai. Di sisi lain, target produksi padi menjadi pesaing berat terwujudnya peningkatan produksi kedelai mengingat lahan yang digunakan untuk budidaya kedelai adalah lahan yang sama untuk budidaya padi dan jagung. Jagung sedikit beruntung karena dapat dibudidayakan pada lahan yang tidak potensial untuk budidaya padi. Karena itu, dalam perebutan lahan, padi selalu menjadi pemenang dan kedelai harus berbesar hati untuk menggunakan lahan yang disisakan padi.

Pengalaman Maret 2013, kenaikan harga kedelai impor dari Rp 6.000 menjadi Rp 7.500 per kilogram saja sudah menjadi pukulan yang sangat berat bagi pengusaha tahu dan tempe. Padahal, dengan harga Rp 7.500 per kilogram pun, petani dalam negeri masih mengalami kerugian.

Hitung-hitungan tersebut diperoleh jika menggunakan struktur ongkos usaha tani kedelai hasil SOUT-TP 2011 yang dilakukan BPS dengan penyesuaian inflasi. Dengan memperhatikan inflasi, ongkos produksi kedelai pada bulan Juli 2013 menjadi sekitar Rp 7.510 per kilogram. Ini berarti dengan HBP Rp 7.000 per kilogram, petani lokal masih mengalami kerugian sebesar Rp 510 per kilogram.

Kerugian sebesar Rp 510 per kilogram itu diperoleh dengan menggunakan struktur ongkos yang memberikan nilai pada lahan yang digunakan dalam usaha tani kedelai dengan asumsi produktivitas 1,48 ton per hektar. Hal ini untuk memberikan gambaran yang lebih rinci dan nyata akan struktur ongkos usaha tani. Jika perkiraan sewa lahan diabaikan, harga Rp 7.000 per kilogram, petani memperoleh keuntungan Rp 1.133 per kilogram atau sekitar 19.32 persen.

Tentu saja keuntungan ini sebenarnya merupakan keuntungan semu karena walaupun keuntungan itu dapat dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, sebenarnya petani telah kehilangan pendapatan senilai harga sewa lahan yang digunakan untuk usaha. Keuntungan ini dapat terkesan lebih besar lagi jika perkiraan upah pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar dikeluarkan dari ongkos produksi.
Ongkos produksi tertinggi pada usaha tani kedelai digunakan untuk upah pekerja yang menyerap sekitar 51 persen dari total ongkos usaha. Ongkos yang cukup tinggi juga dikeluarkan petani untuk sewa lahan yang menyerap sekitar 22 persen ongkos usaha. Selebihnya merupakan ongkos yang dikeluarkan petani untuk penyediaan benih, pupuk, dan jasa usaha tani lainnya.

Melihat struktur ongkos usaha yang didominasi biaya upah pekerja, dapat disimpulkan, daya saing produk kedelai petani lokal dapat ditingkatkan dengan mengurangi ongkos upah pekerja. Sebagai gambaran, dengan penurunan ongkos upah pekerja sebesar 20 persen, break-even point usaha tani kedelai dapat dicapai dengan harga jual yang lebih rendah sekitar Rp 6.750. Tentu saja harga dapat lebih rendah lagi jika pengurangan upah tenaga kerja bisa lebih banyak lagi.

Tenaga kerja dalam usaha tani kedelai digunakan pada proses budidaya, terutama pada proses pengolahan lahan, penanaman dan penyulaman tanaman rusak, pemeliharaan dan penyiangan, pemupukan, pengendalian hama atau organisme pengganggu tumbuhan, pemanenan, pengeringan, pengupasan, dan pengangkutan hasil. Jika upah pekerja pada beberapa proses dalam budidaya dapat dikurangi dengan penerapan farm mechanization yang mengadopsi teknologi biaya murah, daya saing kedelai lokal dapat ditingkatkan dan ini secara langsung dapat meningkatkan keuntungan petani pengusaha atau petani nonburuh.

Namun, masalahnya tak sesederhana itu. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2012 menunjukkan, sekitar 38,88 juta orang Indonesia menggantungkan hidup pada penghasilan dari sektor pertanian, kehutanan, serta perikanan, dan sekitar 5,34 juta orang di antaranya bermata pencaharian sebagai pekerja bebas. Seperti lazimnya masalah klasik yang selalu menyertai penerapan teknologi pertanian, pengurangan kebutuhan tenaga buruh pada usaha tani tanaman pangan—termasuk usaha tani kedelai yang sebagian besar juga merupakan buruh pada usaha tani lain, seperti padi dan jagung—dapat dipastikan akan menambah jumlah penganggur yang masih tinggi, sekitar 7,17 juta orang, pada Februari 2013.

Sebenarnya peningkatan pengangguran yang diakibatkan oleh strategi pengurangan ongkos tenaga kerja pada usaha tani kedelai masih mungkin untuk diantisipasi. Strategi pengurangan kebutuhan buruh dapat dilakukan dengan sekaligus memperluas lapangan pekerjaan di sektor industri pengolahan berbahan dasar kedelai itu sendiri.

Selain dapat menampung tenaga kerja, usaha industri ini pun dapat meningkatkan permintaan kedelai yang akan menarik petani untuk menanam kedelai karena ada jaminan pasar yang jelas. Pembukaan usaha industri pengolahan kedelai ini harus ditempatkan pada lokasi sekitar daerah sentra produksi. Selain untuk menjamin penyerapan tenaga buruh yang kehilangan pekerjaan, strategi ini juga dapat mengurangi biaya transpor kedelai mentah.

Teknologi budidaya

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penerapan teknologi budidaya kedelai yang dapat memperbaiki produktivitas. Tanaman kedelai dikenal sebagai tanaman yang sangat rentan akan perubahan iklim. Perubahan curah hujan yang sedikit ekstrem, baik terlalu kering maupun terlalu basah, dapat langsung merusak tanaman yang mengakibatkan puso. Oleh karena itu, penelitian dan penyediaan varietas kedelai yang tahan perubahan iklim menjadi satu solusi yang sangat dibutuhkan.

Benih varietas unggul dengan produktivitas tinggi harus dipastikan tersedia dan datang tepat waktu saat petani akan melakukan proses penanaman. Bantuan benih yang terlambat harus dipastikan tak terjadi lagi. Selain itu, pengembangan varietas dengan produktivitas tinggi harus disesuaikan dengan taste petani agar benih unggul yang diproduksi tidak mubazir seperti terjadi pada penyediaan benih padi yang kurang diminati petani.

Solusi lain yang dapat diterapkan adalah pemerintah atau perusahaan harus mengambil alih peran petani sebagai pelaku utama produksi kedelai. Dengan kekuatan di sejumlah faktor, seperti permodalan, penyediaan bibit unggul, penyediaan pupuk, dan sarana produksi lainnya, pemerintah atau perusahaan akan lebih kuat menghadapi risiko yang terjadi pada budidaya kedelai. Pemerintah atau perusahaan dapat menyewa lahan petani dan bertindak sebagai pengelola budidaya kedelai. Dengan kekuatan lebih besar yang dimiliki, pemerintah atau perusahaan dapat lebih berperan dalam melakukan strategi budidaya yang efisien, efektif, dan produktif. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar