Kamis, 05 September 2013

Karakteristik Ekonomi Kedelai

Karakteristik Ekonomi Kedelai
Sapuan Gafar ;  Mantan Sekretaris Menteri Negara Pangan dan Wakil Kepala Bulog
KOMPAS, 05 September 2013


Dampak liberalisasi perdagangan kedelai tahun 1998—berupa hancurnya produksi kedelai dalam negeri, yang kemudian diikuti dengan ketergantungan pasokan pada kedelai impor, dan akhirnya penghamburan devisa—semakin kita rasakan.

Ternyata pelajaran berharga dari sifat industri tempe dan tahu adalah industri ini rentan terhadap gejolak harga karena merupakan industri kecil.

Pengalaman menunjukkan bahwa komoditas kedelai memiliki karakteristik khusus: dia memerlukan agroekologi yang spesifik, petaninya sendiri juga spesifik, pedagang dan industrinya juga mempunyai karakteristik sendiri. Ternyata tidak semua tanah cocok ditanami kedelai, tanaman kedelai memerlukan tanah yang gembur, tidak becek dan drainasenya cukup baik, serta tidak masam.

Tanaman kedelai juga memerlukan ketersediaan air dan penyinaran matahari yang cukup. Suhu yang diperlukan 23-28 derajat celsius agar kedelai dapat tumbuh optimal. Benih kedelai sendiri daya kecambahnya terbatas, tidak dapat disimpan lama, dan peka dalam angkutan jarak jauh. Di samping itu, tanaman kedelai juga perlu pupuk dan cara pemupukan yang tepat. Selain itu, tanaman kedelai juga sangat peka terhadap serangan hama dan penyakit sehingga memerlukan obat-obatan pembasmi hama yang cukup mahal.

Dengan karakteristik seperti di atas, tidak semua lahan cocok ditanami kedelai. Selain itu, tidak semua petani cocok menanam kedelai. Hanya petani yang rajin dan tekun yang tahan menanam kedelai. Sifat seperti ini hanya dipunyai petani dari Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Pengalaman penulis tahun 1980-an di Punggaluku, Sulawesi Tenggara, petani transmigran asal Lamongan, Jawa Timur, dapat menghasilkan kedelai 2 ton per hektar. Adapun petani lokal hanya menghasilkan 8 kuintal per hektar karena setelah kedelai ditanam, tanaman tidak dirawat, mereka melaut mencari ikan. Selain itu, pertimbangan petani untuk menanam kedelai lebih banyak didasari pada pertimbangan komersial, mereka menanam jika harga menarik, iklim cocok (misalnya bukan pada musim hujan), atau tanaman lain sedang tidak bagus harganya.

Tidak semua pedagang bahan pangan mampu berdagang kedelai lokal karena pedagang kedelai harus memiliki jaringan kuat, modal yang besar, dan memiliki risiko tinggi. Pedagang kedelai umumnya dipegang pedagang etnis Tionghoa karena memiliki jaringan kuat antara pasar dan para pengguna kedelai. Cara mereka berdagang umumnya hanya berdasarkan kepercayaan, tidak ada ikatan kontrak dan dapat mengambil barang dengan membayar belakangan. Dengan kondisi seperti ini, tidak semua pedagang mampu berdagang kedelai.

Untuk kedelai impor juga memerlukan importir dengan modal kuat. Untuk efisiensi dalam pengangkutan kedelai, importir menggunakan kapal dengan daya angkut 20.000 ton-30.000 ton untuk sekali angkut. Dengan demikian, tidak banyak importir yang dapat mengimpor kedelai, mereka terseleksi oleh pasar. Untuk penjualan, sebagian importir menggunakan jaringan pedagang yang sudah ada dan sebagian membangun jaringan baru sampai bawah. Jaringan yang dibangun Bulog dalam penyaluran kedelai tahun 1980- 1998 melalui Primkopti sudah nyaris bubar. Saat ini jaringan sudah dikuasai pedagang kedelai yang melayani langsung ke perajin tahu dan tempe. Malahan sebagian pedagang membuat semacam kios di sentra produsen tempe yang dibangun Primkopti tahun 1980-an. Yang membedakan dengan Bulog, pedagang kedelai ini dapat melayani industri tempe dan tahu selama 24 jam dan dapat mengambil barang dengan membayar belakangan.

Industri pengguna kedelai ternyata juga spesifik, lebih dari 80 persen merupakan industri tempe dan tahu. Industri tempe merupakan industri kecil berskala rumah tangga dengan SDM yang pas-pasan, tidak memerlukan jaringan pasar yang luas, daya tahan produksi terbatas dan merupakan industri spesifik etnis Jawa atau orang yang pernah tinggal di Jawa. Adapun industri tahu skala industrinya lebih besar, jaringan pasarnya lebih luas, dan daya tahan produk terbatas yang sebagian diawetkan dengan formalin. Semula industri tahu merupakan industri spesifik etnis Tionghoa, tetapi sekarang mereka yang nonetnis Tionghoa juga mampu membuat tahu. Berdasarkan pengalaman dalam melayani penyaluran kedelai oleh Bulog tahun 1980-1997, ternyata mereka ini perlu kestabilan harga kedelai karena yang dihadapi industri ini adalah konsumen kecil yang rentan terhadap kenaikan harga.

Oleh karena harga kedelai internasional fluktuatif, kebijaksanaan Bulog tidak melayani penuh kebutuhan kedelai Primkopti dan hanya menyalurkan kedelai untuk daerah nonprodusen tempe dan tahu saja. Pada saat harga kedelai dunia naik, Bulog dapat menyalurkan kedelai dengan tidak menaikkan harga karena memiliki cadangan dana sewaktu harga kedelai dunia sedang rendah. Hal tersebut dapat dilakukan karena impor kedelai berada pada satu tangan, yaitu Bulog.

Sejak tahun 1998, monopoli impor kedelai oleh Bulog dicabut, seharusnya masih ada mekanisme mengatur jumlah impor dan juga harga jual yang hal ini akan ditentang oleh penganut paham pasar bebas. Kebijakan yang bisa ditempuh bisa seperti komoditas gula, jumlah impor dibatasi dengan kuota yang ditetapkan setiap tahun. Apabila diperlukan, mereka yang dapat mengimpor kedelai diberikan persyaratan tertentu, misalnya tentang harga jual yang tetap untuk mengantisipasi fluktuasi harga kedelai dunia.

Konfigurasi ekonomi kedelai kita

Dari uraian di atas, dapat disarikan bahwa dari sektor produksi, petani yang terlibat jumlahnya relatif kecil dan tanaman kedelai bukan merupakan tanaman pokok, hanya tanaman tumpangsari atau untuk pergiliran tanaman. Tanaman kedelai merupakan tanaman spesifik petani asal Jawa karena menanam kedelai memerlukan ketekunan tersendiri. Akibatnya, produksi kedelai domestik lebih fluktuatif.

Dari sektor distribusi, kedelai juga bukan dagangan utama kecuali untuk kedelai impor. Perdagangan kedelai lokal umumnya dilakukan pedagang etnis Tionghoa karena mereka memiliki jaringan khusus. Adapun untuk sektor industri, umumnya merupakan industri kecil skala rumah tangga yang rentan terhadap fluktuasi harga. Industri tempe merupakan pengguna kedelai terbesar sekitar 70 persen, sedangkan pembuat tempe merupakan industri spesifik orang Jawa atau mereka yang pernah tinggal atau berhubungan dengan orang Jawa. Industri tahu merupakan pengguna kedelai terbanyak kedua, sebagian merupakan mata pencaharian keturunan Tionghoa. Sebagian kecil pengguna kedelai adalah untuk industri kecap, tauco, susu kedelai, snack, dan kecambah kedelai. Penduduk yang terlibat dan terkait dalam industri dengan bahan baku kedelai relatif banyak.

Untuk sektor konsumsi, penduduk yang terlibat atau terkait cukup banyak. Kedelai dan produk kedelai merupakan sumber protein murah dan sehat bagi penduduk dan dengan teknologi yang sederhana penduduk dapat memanfaatkannya. Hasil olahan kedelai dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat dan umumnya dipakai sebagai lauk atau camilan.

Dengan karakteristik dan konfigurasi ekonomi kedelai seperti diuraikan di atas, pengambil kebijaksanaan cenderung bias ke sektor konsumsi. Akibatnya, sektor produksi terabaikan serta sektor industri dan konsumsi yang harus menanggung fluktuasi harga kedelai dunia. Saat ini merupakan saat yang tepat untuk membenahi kebijaksanaan dengan memperhatikan kepentingan semua sektor dengan sasaran mengurangi ketergantungan akan kedelai impor. Namun, harapan ini tampaknya akan kandas karena kuatnya lobi kepentingan negara eksportir kedelai, seperti pada kebijakan untuk mengatasi akibat krisis kedelai tahun 2012.

Semoga kita semua masih sepakat untuk menolong petani kedelai, industri tempe dan tahu kita, serta konsumen yang umumnya kelas menengah dan bawah. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar