Rabu, 18 September 2013

Politik Pembiaran Kedelai

Politik Pembiaran Kedelai
Khudori ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014) 
REPUBLIKA, 16 September 2013


Suatu ketika, Presiden Sukarno menyeru, "Kita bukan bangsa tempe." Saat itu, sebutan bangsa tempe memang buruk. Bangsa tempe identik dengan citra yang serbajelek dan buruk. Citra buruk tempe ternyata masih lestari sampai sekarang, seperti tecermin pada ungkapan `mental tempe', mental lemah. Boleh jadi, karena citra buruk itu, kita tidak pernah serius mengembangkan kedelai, bahan inti tempe-tahu.

Kini, terbukti, kita bukan bangsa tempe. Ketika harga kedelai naik tinggi, tempe- tahu hilang di pasaran. Selama tiga hari, Senin-Rabu (9-11/9), produsen tahu dan tempe mogok berproduksi. Kenaikan harga kedelai memang jauh dari toleransi para produsen tahu-tempe. Dibandingkan pada Januari, kini harga kedelai naik lebih dari 40 persen.

Jalan menekan margin keuntungan dan kapasitas produksi, mengurangi ukuran dan menurunkan mutu produk tidak lagi mampu menolong. Dari sisi input, semua bahan perantara industri ini harganya naik, seperti terigu, gula, dan telur. Di sisi lain, menaikkan harga terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula, tidak seperti sektor yang entry-exit barrier-nya tinggi, konsumen tahu dan tempat amat peka terhadap harga. Ketika harga naik, permintaan akan turun atau konsumen lari. Jika itu terjadi, satu-satunya jalan yang ada: menutup usaha.

Jika itu terjadi, barisan penganggur akan bertambah. Sebab, sektor ini menghidupi jutaan rakyat jelata, dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap, pedagang tahu-tempe, hingga penjual gorengan pinggir jalan. Dari sisi kesehatan dan sumber daya manusia, peran tahu-tempe amat strategis.
Kandungan gizi dan vitamin tahu-tempe amat tinggi. Ia bisa jadi makanan diet, pengganti makanan kaya lemak. Profesor Hembing Wijayakusuma menjuluki tempe makanan super--karena tak tertandingi makanan sejenis. Dari sisi harga, protein dari tempe jauh lebih murah ketimbang telur dan daging. 

Karena itu, tempe sebenarnya bisa jadi solusi masalah kekurangan energi protein warga miskin.
Di Belanda, AS, Malaysia, Jepang, dan Singapura, tempe dikembangkan besar-besaran sejak 1980-an. Dengan de lapan asam amino esensial--di antaranya thianisin (vitamin B1), ribovlafin (B2), asam pantotenat, asam nikotinat, pirodiksin (B6), dan vitamin B12--dan antioksidan isoflavon, vitamin D, E, dan sterol, tempe bisa diracik sebagai makanan diet, makanan antidegeneratif, antikanker, dan tumor. Tidak seperti di sini yang wujudnya dari zaman dulu tidak berubah (generasi I), di luar negeri tempe diproduksi secara industrial ke generasi II dan III. Di Jepang, misalnya, tempe telah diolah jadi miso tempe.

Itu menandakan, ada sentuhan ilmu, ada rakitan teknologi dalam produksi tempe. Ada keseriusan untuk mengembangkan tempe menjadi makanan bermutu tinggi dengan sentuhan ilmu teknologi. Karena itu, tidak heran, meski tempe ditemukan di Jawa (baca: Encyclopedia van Nederlandsch Indie, 1922), hanya ada tiga paten tempe yang terdaftar atas nama periset/perekayasa asal Indonesia. Sedangkan, yang dikantongi Jepang, AS, dan Jerman sebanyak 15 buah paten.

Ketidakseriusan mengembangkan tempe-tahu, jejak-jejaknya tampak jelas pada kedelai. Meminjam istilah Prof Pantjar Simatupang (2012), yang terjadi saat ini adalah fenomena `dekedeleisasi'. Dekedeleisasi terjadi lantaran tiga segitiga berikut ini: penurunan hasil relatif kedelei, penurunan harga relatif, dan serbuan impor. Penurunan hasil relatif kedelai terjadi karena daya saing kedelai terhadap jagung, tebu, dan padi merosot. Produktivitas dan harga relatif menurun. Ujung- ujungnya, usaha tani kedelai tidak menguntungkan. Ini yang membuat petani domestik meninggalkan kedelai.

Emoh menanam kedelai ini sudah amat gawat. Pada 1992, luas panen kedelai masih 1.665.706 hektare (ha), turun jadi 1.279.079 ha, dan tinggal 567.624 ha pada 2012 (34 persen dari 1992). Ka - rena produktivitas naik lambat, konsekuensinya, produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,843 juta ton (2012) atau tinggal 45 persen. Ini terjadi karena jalinan dua faktor: liberalisasi dan senjang hasil penelitian-adopsi petani. Penurunan harga relatif terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai, seperti beras atau gula.

Saat Orde Baru, harga kedelai diatur 1,5 dari gabah. Pada saat sama, produk impor yang sebagian besar dari Amerika Serikat dan transgenik lebih murah. Ini tak lepas dari kebijakan ofensif AS yang memberikan subsidi (langsung dan ekspor) amat besar. Kini, ketika nilai tukar rupiah melemah dan harga kedelai di pasar dunia cenderung naik, kita merasakan dampaknya. Tidak ada kata mudah untuk ke luar dari masalah ini. Politik pembiaran (hands-of economic policy) telah menghancurkan modal sosial petani kedelai.


Liberalisasi tidak terkendali berujung pada destabilisasi harga. Pembebasan bea masuk dipastikan tidak banyak menolong. Untuk keluar dari masalah ini, tak ada cara lain, harus dirakit kebijakan komprehensif di level usaha tani, distribusi, stok, dan perdagangan. Tanpa itu, gonjang-ganjing kedelai di republik ini selalu berulang.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar